Skip to main content

Filipina: Hentikan Kasus Para Pengkritik Sebelum Kunjungan ke AS

Penganiayaan terhadap Mantan Senator dan Peraih Nobel Menodai Pertemuan Marcos-Biden

Beberapa kelompok aktivis menggelar aksi protes di Plaza Miranda Manila saat pelantikan Ferdinand Marcos Jr. sebagai Presiden Filipina, 30 Juni 2022. © 2022 Sipa via AP Images

(Washington, DC) – Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr.  seharusnya mengakhiri penuntutan bermotif politik terhadap dua pengkritik pemerintah sebelum bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan para anggota Kongres di Washington, DC, kata Human Rights Watch hari ini. Pertemuan dengan Biden dijadwalkan pada 1 Mei 2023.

Mantan senator dan Menteri Kehakiman Leila de Lima telah menghabiskan enam tahun terakhirnya sebagai tahanan di markas besar kepolisian nasional di Manila atas tuduhan palsu yang  diatur oleh mantan Presiden Rodrigo Duterte. Maria Ressa yang adalah peraih Hadiah Nobel Perdamaian, pemilik paspor AS dan Filipina, sekaligus CEO situs berita Rappler, menghadapi gangguan dan penuntutan di bawah pemerintahan Duterte. Dia dan seorang rekannya di Rappler dinyatakan bersalah karena pencemaran di dunia maya atau cyber-libel pada tahun 2020 dan sekarang mengajukan banding. De Lima telah menjadi seorang kritikus vokal  terhadap "perang melawan narkoba" pemerintah  yang telah mengakibatkan pembunuhan di luar hukum terhadap ribuan orang Filipina sejak 2016. Laporan Rappler  tentang kampanye kejam itu membuat Duterte marah.

"Presiden Biden seharusnya secara terbuka meminta Presiden Marcos untuk mengakhiri penuntutan yang sewenang-wenang terhadap Leila de Lima dan Maria Ressa," kata John Sifton, direktur advokasi Asia di Human Rights Watch. "Gedung Putih seharusnya hanya menyetujui pertemuan Biden-Marcos dengan syarat bahwa de Lima pertama-tama akan dibebaskan dari penahanan."

Sejak menjabat pada Juni 2022, Marcos tidak melakukan apa pun untuk mengakhiri pelanggaran sejumlah hak yang disandang oleh de Lima dan Ressa. Dari tiga kasus pidana yang diajukan terhadap de Lima, satu telah dicabut sementara dua kasus lainnya tetap aktif. Dia terus-menerus ditolak untuk mendapatkan jaminan bahkan setelah beberapa saksi utama menarik kembali kesaksian mereka.

Ressa dan Rappler juga sedang menghadapi kasus pajak dan mengajukan banding atas putusan Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina (SEC) yang memerintahkan penutupan situs verita Rappler. Pada bulan Januari, pengadilan pajak membebaskan Ressa dan Rappler dari tuduhan penggelapan pajak. Kedua kasus ini dan kasus-kasus sebelumnya secara luas diyakini sebagai pelecehan pembalasan atas liputan kritis mengenai Duterte dan "perang melawan narkoba" yang dilancarkannya.

Banyak pelanggaran HAM selama masa jabatan Duterte sebagai presiden, dari 2016 hingga 2022, masih berlanjut di bawah pemerintahan Marcos. Kampanye antinarkoba telah menewaskan ribuan orang dan mendorong penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Beberapa pelanggaran lainnya termasuk pembunuhan di luar hukum terhadap aktivis, jurnalis,  dan pemimpin adat; pelecehan terhadap para pengkritik dengan melabeli mereka sebagai militan komunis dalam praktik yang dikenal sebagai  "penandaan merah" atau “red-tagging”; kekerasan politik kronis  yang meningkat selama masa pemilu; dan serangan terus-menerus terhadap kebebasan pers.

Aparat kepolisian, militer, dan pasukan pemerintah lainnya tanpa henti melakukan pelanggaran serius, sering kali dalam operasi militer melawan pemberontakan komunis yang telah berlangsung selama setengah abad. Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat telah mendokumentasikan banyak pelanggaran ini dalam laporan hak asasi manusia tahunannya.

Sejak terpilihnya Presiden Marcos pada 9 Mei 2022, AS telah meningkatkan bantuan secara signifikan kepada Filipina, terutama melalui belanja pertahanan. Pemerintah AS baru-baru ini mendukung latihan militer gabungan terbesar antara angkatan bersenjata Filipina dan AS sejak Manila menuntut AS meninggalkan sejumlah pangkalan militernya di Filipina pada 1990-an. Keterlibatan baru ini telah mengarah pada pendirian pangkalan baru di beberapa wilayah negara teresebut yang sekarang dapat digunakan militer AS untuk menggelar latihan pada masa mendatang.

Pada masa lalu, pemerintah AS telah mengondisikan bantuan militer untuk Filipina dengan syarat pemerintah membuat kemajuan dalam menuntut pertanggungjawaban pelanggar hak asasi manusia. Namun, bantuan kini telah berkembang, bahkan ketika pemerintah Filipina gagal mengadili para pihak yang bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran serius.

"Presiden Biden dan para anggota Kongres AS seharusnya menjelaskan kepada Presiden Marcos bahwa hubungan bilateral yang lebih baik hanya dapat dipertahankan jika kemajuan substantif dalam melindungi HAM," kata Sifton. "Tempat yang baik untuk memulai adalah bagi Marcos untuk memastikan bahwa para pembela HAM seperti de Lima, Ressa, dan lainnya dilindungi, tidak dikejar-kejar atau ditahan."

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country