(New York) – Sidang banding Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada 18 Juli 2023, mengonfirmasi dimulainya kembali penyelidikan oleh jaksa penyidik mahkamah atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan di Filipina, kata Human Rights Watch hari ini. Putusan itu adalah langkah maju menuju keadilan bagi ribuan korban pembunuhan di luar proses hukum dan keluarga mereka dalam “perang melawan narkoba” yang dilancarkan pemerintah Filipina.
Presiden Ferdinand Marcos Jr. seharusnya mendukung pertanggungjawaban atas kejahatan berat di Filipina dan menjunjung tinggi kewajiban negara berdasarkan Statuta Roma, yang jadi dasar pendirian ICC, untuk bekerja sama dengan ICC.
“Keputusan majelis banding ICC menolak klaim pemerintah Filipina bahwa ICC tidak seharusnya melakukan penyelidikan di negara itu,” kata Bryony Lau, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. “Presiden Marcos seharusnya menunjukkan komitmennya terhadap hak asasi manusia melalui kerja sama dengan jaksa penuntut di ICC.”
Putusan tersebut menyusul banding yang diajukan pemerintah Filipina atas keputusan yang dikeluarkan majelis praperadilan ICC pada 26 Januari yang mengesahkan dimulainya kembali penyelidikan jaksa penuntut di Filipina. Pada November 2021, pemerintah Filipina telah meminta jaksa ICC agar menunda penyelidikannya, yang dibuka pada September 2021, dengan mengklaim bahwa otoritas nasional telah memulai penyelidikan mereka sendiri atas kasus pembunuhan di luar proses hukum yang dikaitkan dengan kepolisian selama operasi “perang melawan narkoba”.
Namun, pada Juni 2022, jaksa penuntut, Karim Khan, meminta majelis hakim ICC agar mengizinkannya melanjutkan penyelidikan. Dia mengatakan bahwa pemerintah Filipina belum membuktikan permintaan penangguhannya dan bahwa proses domestik yang disebutkan “[tidak] cukup mencerminkan penyelidikan pengadilan.”
Dalam bandingnya untuk mendapatkan otorisasi guna melanjutkan penyelidikan ICC, pemerintah Filipina berpendapat bahwa dalam keputusan 26 Januari mereka, para hakim ICC secara keliru menyatakan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi atas situasi di Filipina, meskipun Filipina menarik diri dari Statuta Roma, pada Maret 2019, dan bahwa mereka keliru dalam menilai proses nasional yang sedang berlangsung.
Dalam keputusannya, mayoritas hakim majelis banding menolak semua argumen pemerintah Filipina. Secara khusus, mayoritas menolak pernyataan pemerintah baprhwa majelis praperadilan telah keliru dalam menilai keberadaan proses domestik yang akan menjamin penangguhan penyelidikan kepada otoritas domestik melalui investigasi dan penuntutan yang sebenarnya atas kejahatan di bawah yurisdiksi pengadilan. Mayoritas hakim juga memutuskan bahwa hal itu tidak dapat mengatasi masalah yurisdiksi yang diajukan oleh pemerintah Filipina pada saat ini; mereka mencatat bahwa majelis praperadilan dalam keputusannya pada 26 Januari tidak membuat temuan positif tentang masalah ini dan sebaliknya hanya menarik kembali kesimpulan sebelumnya, pada saat mengizinkan dibukanya kembali penyelidikan pada September 2021. Hal ini tidak menghalangi masalah yurisdiksi akan diajukan kembali pada tahap selanjutnya dalam persidangan, misalnya jika sebuah kasus pada akhirnya dibawa ke pengadilan. Dua hakim tidak setuju dengan suara mayoritas dan menyatakan bahwa majelis banding seharusnya membahas masalah itu pada tahap ini dan mencatat bahwa dalam pandangan mereka, pengadilan tidak memiliki yurisdiksi atas situasi ini karena jaksa ICC meminta otorisasi untuk membuka penyelidikannya setelah penarikan diri Filipina dari ICC sudah berlaku.
Meski Marcos telah secara terbuka mengakui “kekeliruan” dalam “perang melawan narkoba” yang dilakukan oleh pendahulunya, mantan Presiden Rodrigo Duterte, dia tak lagi mengecam pembunuhan terhadap lebih dari 6.200 orang selama penggerebekan narkoba oleh polisi. Sejumlah pejabat pemerintah telah mengecam ICC, menuduh mahkamah itu mencampuri urusan dalam negari Filipina. Sejak menjabat setahun lalu, pemerintahan Marcos tidak berbuat banyak untuk memajukan pertanggungjawaban atas pembunuhan di luar proses hukum ini dan mengakui penderitaan para korban serta keluarga mereka.
“Keputusan ICC merupakan satu langkah menuju keadilan bagi para korban pembunuhan di luar proses hukum,” kata Bryoni Lau. “Ini juga merupakan kesempatan bagi Presiden Marcos untuk mengubah arah dan melepaskan diri dari budaya pelanggaran serta impunitas yang telah lama melanda Filipina.”