Skip to main content

Myanmar: Jenderal Didikan Jepang Terkait dengan Pelanggaran

Tokyo Seharusnya Menangguhkan Pelatihan itu dan Memutuskan Semua Hubungan Militer

Personel militer Myanmar dalam sebuah parade peringatan Hari Angkatan Bersenjata di Naypyidaw, Myanmar, 27 Maret 2022. © 2022 AP Photo/Aung Shine Oo

(Tokyo) – Seorang jenderal angkatan darat Myanmar yang pernah menempuh pelatihan militer di Jepang saat ini menjabat sebagai perwira tinggi di komando daerah militer wilayah, yang terlibat dalam pelanggaran berat di Wilayah Timur, yang mengawasi operasi militer di bagian selatan Negara Bagian Shan dan Karenni (Kayah). Pasukannya bertanggung jawab atas pembantaian warga sipil dan sejumlah kasus kekejaman lainnya.

Pemerintah Jepang seharusnya segera menghentikan program pelatihan militern dengan Myanmar dan menyelidiki apakah para peserta program tersebut selama ini terlibat dalam operasi yang melanggar hukum perang.

“Pasukan tentara Myanmar yang merupakan lulusan program pelatihan militer dari Pemerintah Jepang, saat ini sedang bertugas di sejumlah daerah konflik di mana pelanggaran yang dilakukan militer Myanmar merajalela,” kata Teppei Kasai, Program Officer Divisi Asia di Human Rights Watch. “Pemerintah Jepang seharusnya berhenti bermain api dan segera mengakhiri dukungan yang diberikannya untuk militer Myanmar.”

Tin Soe, yang saat itu berpangkat Kolonel, mendapatkan pelatihan di sekolah Angkatan Darat Bela Diri Jepang sejak Agustus 2016 hingga Maret 2017, berdasarkan informasi dari Asosiasi Pertahanan Seluruh Jepang dan dokumen Kementerian Pertahanan. Tin Soe menjabat sebagai atase militer untuk kedutaan besar Myanmar di Tokyo sejak 2019 sampai 2021, kata seorang sumber yang mengetahui langsung soal ini, dan menurut laporan media pemerintah. Dua sumber tersebut mengatakan bahwa Tin Soe meninggalkan Jepang setelah kudeta militer pada Februari 2021 di Myanmar dan setelah itu pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Tin Soe ditempatkan di markas Komando Daerah Militer Wilayah Timur di Negara Bagian Shan, Taunggyi pada Agustus 2021. Pada Juli 2022, Tin Soe dipindahkan ke ibu kota Myanmar, Naypyidaw, menurut sebuah sumber.

Komando Daerah Militer Wilayah Timur, salah satu dari 14 komando wilayah angkatan bersenjata Myanmar, mengendalikan lebih dari 40 batalion infanteri di sisi selatan Negara Bagian Shan dan Karenni, di mana pertempuran meningkat sejak kudeta bermula. Sejak operasi militer digelar kembali di kawasan tersebut pada Mei 2021, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kelompok aktivis hak asasi manusia, dan media independen telah mendokumentasikan pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, penjarahan, dan pembakaran, serta serangan yang menyasar warga sipil, serangan membabi buta, dan penggunaan ranjau darat oleh pasukan Myanmar di bawah Komando Daerah Militer Wilayah Timur.

Pada 24 Desember 2021 di kota Hpruso Negara Bagian Karenni, pasukan keamanan dengan melakukan eksekusi di tempat terhadap setidaknya 39 orang, termasuk empat anak-anak dan dua anggota organisasi internasional Save the Children. Sejumlah saksi mata kepada Human Rights Watch mengatakan bahwa banyak korban yang diikat, mulutnya disumpal, dan korban yang menunjukkan tanda-tanda penyiksaan, dan beberapa mungkin telah dibakar hidup-hidup. “Ini merupakan salah satu hal paling mengejutkan dan menyedihkan yang pernah saya alami,” kata seorang dokter yang melakukan autopsi terhadap para korban.

Pada bulan Februari, Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap Brigadir Jenderal Ni Lin Aung, Koamndan Daerah Militer Wilayah Timur dan atasan Tin Soe pada saat itu, dengan menyatakan bahwa ia “secara langsung memimpin unit-unit di Negara Bagian Kayah, termasuk mereka yang bertanggung jawab atas pembantaian itu.” Uni Eropa juga menjatuhkan sanksi kepada Letnan Jenderal Aung Zaw Aye, komandan Biro Operasi Khusus No. 2, yang membawahi Komando Daerah Militer Wilayah Timur.

Batalion Infanteri Ringan 531, yang beroperasi di bawah Komando Daerah Militer Wilayah Timur, terlibat dalam pembantaian tersebut, seperti halnya Divisi Infanteri Ringan 66. Seorang komandan Divisi Infanteri Ringan 66 kepada Amnesty Internasional mengatakan bahwa semua operasi darat di Negara Bagian Karenni diawasi oleh Komando Daerah Militer Wilayah Timur.

Bentuk kekerasan lain terhadap warga sipil selama ini telah dilaporkan dalam operasi militer yang menyasar kelompok militer bersenjata anti-junta dan pasukan etnis di Negara Bagian Karenni. Pelapor khusus PBB untuk Myanmar melaporkan pada bulan Maret, “Alih-alih membatasi serangan terhadap para petempur dari kelompok-kelompok ini, militer telah menyasar warga sipil, termasuk dengan menyerang kota-kota yang lebih besar. Pihak militer juga memburu warga sipil yang melarikan diri, dan melancarkan serangan ke tempat-tempat di mana para pengungsi internal (IDP) sedang berlindung.”

Pada bulan Mei, Amnesty Internasional melaporkan berbagai pelanggaran yang dilakukan selama operasi Komando Daerah Militer Wilayah Timur termasuk “serangan tidak sah, pembakaran desa, penjarahan, penghilangan paksa, penyiksaan dan tindakan kejam lainnya, serta persekusi terhadap komunitas etnis Karenni.” Batalion Infanteri 102, di bawah divisi tempur Komando Daerah Militer Wilayah Timur, melakukan beberapa serangan penembakan tanpa pandang bulu. Amnesty International juga melaporkan digunakannya ranjau darat anti-personil oleh militer “dalam skala besar” di Negara Bagian Karenni, yang menurut Kelompok Hak Asasi Manusia Karenni bertanggung jawab atas pembunuhan atau cedera serius pada setidaknya 20 warga sipil sejak Juni 2021.

Pada bulan Mei, Yayasan Hak Asasi Manusia Negara Bagian Shan mengidentifikasi empat batalion infanteri di bawah Komando Daerah Militer Wilayah Timur yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia di kota Ywangan Negara Bagian Shan selatan, termasuk pembantaian terhadap sembilan penduduk desa pada pertengahan April.

Sejak tahun 2015, pemerintah Jepang telah menerima taruna dan perwira dari Myanmar berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Pasukan Bela Diri, yang mengizinkan pelatihan dan pendidikan bagi warga negara asing dengan menggunakan fasilitas Kementerian Pertahanan dengan persetujuan menteri pertahanan. Pada tahun 2021, setelah kudeta Myanmar, Jepang menerima dua taruna dan dua perwira dari Myanmar. Pada tahun 2022, Jepang kembali menerima dua taruna dan dua perwira dari Myanmar untuk mengikuti pelatihan militer.

Sebelumnya, Human Rights Watch dan Justice For Myanmar mengidentifikasi Hlwan Moe, seorang letnan kolonel Angkatan Udara Myanmar yang dilatih oleh pemerintah Jepang dan bertugas di Pangkalan Udara wilayah Magway. Pesawat dari pangkalan udara tersebut terlibat dalam kemungkinan serangan udara membabi buta sejak awal kudeta. Militer Myanmar juga telah melakukan eksekusi di tempat, pembakaran, dan tindakan kekerasan lainnya di wilayah Magway.

Pada Desember 2021 Human Rights Watch menerangkan bahwa pemerintah Jepang seyogianya segera menangguhkan program pelatihan militer karena berisiko membuat Jepang terlibat dalam kekejaman militer. Seorang pejabat Kementerian Pertahanan Jepang merespon bahwa kementerian tersebut tidak memiliki informasi tentang apa yang dilakukan para taruna dan perwira yang pernah dilatih di Jepang saat mereka kembali ke Myanmar.

Namun, pada 26 April, saat sesi komite parlemen yang membahas soal keamanan, seorang pejabat kementerian pertahanan mengatakan kementerian “tahu sampai batas tertentu” terkait “posisi” apa yang dipegang oleh para peserta program ini, tetapi menolak untuk memberikan rincian apa pun karena “hubungan” diplomatik Jepang dengan “negara lain.” Pada 22 Juni, dalam pertemuan para menteri pertahanan ASEAN, Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi mengatakan akan “sulit untuk menerima” para perwira untuk pelatihan militer jika mereka “terlibat dalam penindasan terhadap warga sipil” saat mereka kembali ke Myanmar.

Selama puluhan tahun, militer Myanmar telah bertanggung jawab atas kejahatan perang dalam konflik bersenjata yang telah berlangsung lama dengan kelompok etnis bersenjata, serta kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, kata Human Rights Watch.

Pemerintah Jepang telah menyerukan pemulihan pemerintahan demokratis di Myanmar dan pembebasan pejabat pemerintahan terpilih, termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin Myanmar de facto sebelum kudeta terjadi. Pada 28 Maret 2021, Kementerian Pertahanan Jepang mengeluarkan pernyataan bersama dengan 11 negara lain yang mengkritik serangan militer terhadap “warga sipil tak bersenjata.” Pemerintah Jepang menghentikan proyek Bantuan Pembangunan Pemerintah non-kemanusiaan yang baru pada awal tahun 2021 dan pada saat yang bersamaan mengizinkan proyek bantuan yang ada untuk dilanjutkan. Parlemen Jepang mengeluarkan resolusi pada Juni 2021 yang mengutuk kudeta tersebut dan menyerukan "segera dipulihkannya sistem politik demokratis."

“Semakin lama pemerintah Jepang melanjutkan pelatihan bagi tentara dan perwira Myanmar, semakin merugikan reputasi Jepang di dunia internasional, demikian halnya kehidupan rakyat Myanmar,” kata Kasai. “Sebagai negara yang ingin diakui karena mendukung hak asasi manusia, Jepang harus membela hak-hak rakyat Myanmar dan memutuskan hubungan pertahanan dengan junta militer Myanmar.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country