Skip to main content

Dua Penceramah di Indonesia Dijerat Pasal Penodaan Agama

Ulama dan Pendeta Menghadapi Hukuman Penjara Akibat Undang-Undang yang Tidak Adil

(Kiri-Kanan) Muhammed Kece, Yahya Waoni  © MuhammedKece/YouTube, Hadith TV/YouTube

Polri secara terpisah menangkap dan menahan dua penceramah atas tuduhan penodaan ​​agama.

Pada 25 Agustus lalu Muhammad Kece, seorang pendeta Kristen, ditangkap di rumah seorang temannya di Bali karena dugaan penodaan ​​terhadap Islam. Selain tuduhan itu, pihak berwenang juga menuduhnya mengubah kata “Allah” dalam kalimat salam menjadi “Yesus.” Ia ditahan di Rutan Bareskrim Polri Jakarta.

Sehari kemudian, Yahya Waloni, seorang imam Muslim, ditangkap di rumahnya di Jakarta setelah diduga mengatakan dalam sebuah khotbah bahwa Alkitab itu palsu. Waloni ditahan di RS Polri Jakarta.

Pasal penodaan ​​agama di Indonesia menghukum komentar-komentar yang dianggap menyimpang dari prinsip utama dari enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia – Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu – dengan hukuman penjara hingga enam tahun jika kejahatan tersebut dipublikasikan di internet. Hal ini sering digunakan untuk tujuan-tujuan politik dan sebagian besar terhadap kelompok rentan.

Lebih dari 150 orang, sebagian besar dari agama minoritas di Indonesia, telah dihukum berdasarkan hukum penodaan agama sejak tahun 2004. Aturan hukum tersebut paling sering digunakan terhadap orang-orang yang dianggap telah mengkritik Islam. Ini termasuk kasus mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, penganut Nasrani, yang dihukum dua tahun penjara pada 2017 dan dicopot dari jabatannya setelah kampanye kotor bermotif politik.

Dua penangkapan baru-baru ini terjadi setelah Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, meminta kepolisian agar “sama-sama” menindak dua orang dari agama berbeda yang melakukan penistaan. “Semua warga harus mendapatkan perlakuan yang adil, termasuk terkait dugaan ujaran kebencian dan penghinaan simbol agama,” katanya.

Ironisnya, Yaqut sendiri menjadi sasaran pasal penodaan ​​agama. Pada 2018, ormas Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, menuntut pelarangan kelompok agama militan Hizbut Tahrir. Sejumlah anggota GP Ansor, yang saat itu diketuai Qoumas, membakar bendera Hizbut Tahrir, bertuliskan kalimat tauhid, yang memicu protes terhadap Yaqut.

Keadilan palsu ini bukanlah jawaban, bukan pula rencana pemerintah untuk memperluas penggunaan undang-undang. Sebaliknya, pemerintah perlu segera mencabut pasal penodaan agama. Tapi hari ini, pihak berwenang perlu mencabut tuduhan terhadap kedua pengkhotbah itu dan membebaskan mereka.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country