Skip to main content

KASAD Menghentikan ‘Tes Keperawanan’ Karena Tidak Ilmiah

Rekrutmen Perempuan Menjadi Sasaran Praktik Diskriminatif dan Melecehkan selama Puluhan Tahun

Sejumlah anggota Polwan dan Kowad mengawal ratusan perempuan yang memadati area di depan Istana Negara di Jakarta, pada 8 Maret 2020, dalam peringatan Hari Perempuan Internasional.   © 2020 Kuncoro Widyo Rumpoko/Pacific Press/Sipa USA/AP Images

Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Andika Perkasa pada Juli lalu mengatakan kepada para komandan di jajaran TNI AD bahwa pemeriksaan kesehatan yang diperlukan dalam proses rekrutmen untuk prajurit Korps Wanita TNI Angkatan Darat (Kowad) harus sama dengan tes kesehatan prajurit TNI AD laki-laki. Hal ini menandakan akhir dari apa yang biasa disebut “tes keperawanan.”

KASAD mengatakan para pelamar seharusnya hanya boleh dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk ambil bagian dalam pelatihan fisik. Ia juga menambahkan bahwa permohonan yang diajukan personel TNI Angkatan Darat laki-laki untuk menikah sekarang hanya mencakup “urusan administrasi”, tanpa memerlukan pemeriksaan medis atas calon mempelainya.

Hal ini mengacu pada keputusan untuk menghentikan “tes keperawanan” yang menghina, tidak ilmiah, dan diskriminatif yang telah digunakan oleh semua satuan militer Indonesia selama berpuluh-puluh tahun dalam merekrut prajurit perempuan. Dalam beberapa kasus, persyaratan ini telah diperluas bagi tunangan perempuan dari prajurit.

“Tes keperawanan” adalah bentuk kekerasan berbasis gender dan merupakan praktik yang secara luas merusak kehormatan. Tes tersebut mencakup praktik invasif memasukkan dua jari ke dalam vagina untuk menilai apakah seorang perempuan sebelumnya pernah berhubungan seks. Pada November 2014, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan pedoman yang menyatakan, “Tidak ada tempat untuk tes keperawanan (atau tes ‘dua jari’); hal itu tidak memiliki validitas ilmiah.”

Human Rights Watch pertama kali mengungkap penggunaan “tes keperawanan” oleh pasukan keamanan Indonesia pada 2014. Tetapi, meski kepolisian telah menghentikan tes itu, pemerintah gagal menghentikan praktik tersebut di jajaran TNI. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap diam dan tidak pernah menuntut militer untuk menghentikan prosedur tersebut pada para pelamar perempuan.

Sejumlah dokter, termasuk mereka yang bekerja di TNI, secara berkala memberikan informasi kepada Human Rights Watch tentang praktik yang berkelanjutan ini. Puluhan perempuan yang menjadi sasaran “tes keperawanan” ketika mereka menikah dengan keluarga TNI di Indonesia juga diam-diam menentang praktik tersebut.

Jenderal Andika mengatakan bahwa petugas medis dan Kepala Kesehatan Daerah Militer (Kakesdam) atau kepala rumah sakit TNI akan menginformasikan para komandan di setiap satuan tentang prosedur baru tersebut.

Pimpinan TNI AD sudah melakukan hal yang benar. Hal ini sekarang menjadi tanggung jawab para komandan wilayah dan batalion agar menaati perintah, dan mengakui sifat tidak ilmiah, penyalahgunaan hak dari praktik tes keperawanan ini. Peningkatan tekanan juga perlu difokuskan pada para komandan tertinggi di TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara agar mengikuti jejak TNI AD, dan mengakhiri praktik tes keperawanan ini.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country