Mahkamah Konstitusi Indonesia kembali menghantam kebebasan beragama yang sebelumnya sudah rapuh di Indonesia saat lembaga itu menolak menolak permohonan uji materi pasal 1, 2, dan 3 UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Gugatan ini diajukan oleh sembilan anggota dari komunitas Ahmadiyah yang dipersekusi di Indonesia, yang berupaya mengajukan penghapusan undang-undang ini dengan alasan bahwa ia menyulut diskriminasi dan penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas agama. Pada Senin 23 Juli, Mahkamah Konstitusi menolak uji materi ini, dan memutuskan bahwa penindasan-penindasan yang terjadi tak ada kaitannya dengan undang-undang penodaan agama itu sendiri, melainkan berhubungan dengan sejumlah peraturan turunan dari undang-undang itu serta “peraturan-peraturan daerah” lainnya. Gugatan uji materi ini menjadi kegagalan ketiga yang dialami mereka yang berupaya menggugat pasal itu sejak tahun 2010.
Pasal 156a dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menghukum penyimpangan terhadap ajaran-ajaran inti dari enam agama yang resmi diakui di Indonesia, dengan ancaman hukuman pidana enam tahun penjara. Undang-undang ini telah digunakan untuk menuntut dan memenjarakan para anggota kelompok minoritas agama, termasuk tiga mantan pimpinan komunitas Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar. Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Purnama, beragama Kristen, dijatuhi hukuman pidana dua tahun penjara dengan dakwaan penodaan agama pada 2017 karena mengutip sebuah ayat Al-Quran dalam salah satu pidatonya di hadapan publik.
Para ahli hak asasi manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa serta organisasi-organisasi seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia telah mengkritisi penggunaan undang-undang ini yang diskriminatif. Meski demikian, Kementerian Agama Indonesia tetap berupaya untuk menegakkan dan memperluas cakupan undang-undang ini melalui Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Umat Beragama.
Komunitas Ahmadiyah di Indonesia khususnya rentan menjadi sasaran pelanggaran kebebasan beragama di bawah undang-undang penodaan agama beserta sejumlah peraturan diskriminatif lainnya. Pada 2008, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu menandatangani keputusan yang memerintahkan komunitas Ahmadiyah untuk “menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam.” Setelah keputusan tersebut diterbitkan, kelompok-kelompok Islamis militan melancarkan beberapa serangan terhadap warga Ahmadiyah, termasuk penyerangan di desa Cikeusik pada Februari 2011 yang menewaskan tiga laki-laki Ahmadiyah. Lebih dari 100 warga Ahmadiyah hingga kini masih telantar di Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat, setelah para Islamis militan mengusir paksa mereka dari desa kediaman mereka pada 2006 lalu.
Lalu pada Mei tahun ini, sekelompok massa tak dikenal di Pulau Lombok menyerang tujuh keluarga Ahmadiyah dan mengusir paksa keluarga-keluarga ini dari rumah mereka sendiri.
Penolakan pemerintah untuk menghapus undang-undang ini menimbulkan berbagai kekhawatiran mendalam tentang komitmen negara terhadap hak asasi manusia bagi seluruh warga Indonesia. Indonesia tak dapat mengklaim sebagai negara Muslim yang toleran, sementara diskriminasi agama dan pelanggaran hak terus terjadi dan malah difasilitasi dengan undang-undang penodaan agama.