Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berkewajiban untuk memajukan tiga isu “pilar” PBB: pembangunan, perdamaian dan keamanan, serta hak asasi manusia. Tapi, dalam kunjungannya ke Beijing akhir pekan lalu, tidak ada tanda-tanda bahwa pilar hak asasi manusia menjadi bagian dari agenda diskusi bilateral antara Guterres dengan Presiden Cina Xi Jinping.
Saat bertemu dengan Xi, Guterres secara terbuka memberi ucapan selamat atas “terpilihnya kembali” pemimpin Cina tersebut dalam pemilihan yang berlangsung baru-baru ini — meski faktanya adalah Xi tidak pernah “terpilih” secara demokratis. Selain itu, Guterres tidak memberi tanggapan apapun atas tindakan Xi yang belum lama ini menghapus batas masa jabatan kepresidenan.
Guterres kemudian “menyampaikan apresiasi atas dukungan Presiden terhadap jerih payah PBB,” padahal terus meningkatnya pelecehan yang dilakukan pemerintah Cina terhadap para aktivis asal negara itu, yang berniat menerapkan sistem PBB; sementara itu, pemerintah enggan mengizinkan beberapa penyelidik hak asasi manusia dari PBB bahkan setelah diminta berkali-kali, dan melakukan intimidasi langsung terhadap beberapa ahli PBB. Pujian tanpa henti atas kerja sama Xi dengan PBB menjadi hampa ketika pemerintahan yang dipimpinnya tidak melakukan apapun untuk menindak para pihak yang bertanggung jawab atas kematian Cao Shunli, aktivis yang meninggal dalam tahanan setelah ditangkap pada 2013, dalam perjalanannya menuju Jenewa untuk mengikuti pelatihan tentang mekanisme hak asasi manusia PBB.
Guterres pun secara terbuka tidak menyatakan apapun soal kasus emblematik Liu Xia, seniman dan janda dari Liu Xiaobo, pemenang Penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2010; yang telah menjadi tahanan rumah sejak kematian suaminya pada Juli 2017.
Bagaimana bisa masyarakat Cina meyakini bahwa PBB sungguh-sungguh peduli atas pelanggaran hak asasi yang mereka alami — mulai dari penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, hingga perampasan hak-hak politik — jika diplomat paling senior di PBB sendiri tidak menyuarakan isu-isu tersebut saat bertemu dengan pemimpin negara Cina?
Kredibilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa antara lain bergantung pada keinginan institusi ini untuk, dengan bersemangat dan terang-terangan, menentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara-negara anggotanya yang paling berpengaruh. Dalam suratnya kepada Human Rights Watch pada Agustus 2017, Guterres menegaskan kembali komitmennya terhadap diplomasi di hadapan publik dan di balik layar, dan “menekankan bahwa perlindungan dan promosi hak asasi manusia menjadi alat pencegahan terpenting.” Sayangnya, Guterres justru membasmi para aktivis hak asasi manusia di Cina— dan juga para pembela HAM dari dalam PBB— dengan melewatkan kesempatan ini untuk membuktikan komitmen tersebut.