(Bangkok) - Pihak berwenang Burma seharusnya tidak mengajukan tuntutan pidana berdasarkan Undang-Undang Hak Privasi Burma terhadap para pengguna Facebook, karena memuat kritik terhadap seorang menteri negara, kata Human Rights Watch hari ini.
Parlemen semestinya segera mengubah UU itu, yang diberlakukan pada Maret 2017, untuk menghilangkan sejumlah ketentuan yang mengkriminalisasi pencemaran nama baik.
“Benar-benar tak masuk akal bahwa Burma menggunakan undang-undang yang melindungi hak privasi sebagai sebuah tongkat pemukul untuk menghukum orang yang mengkritik kinerja pejabat pemerintah,” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia. “Polisi seharusnya menolak untuk melanjutkan kasus ini dan parlemen semestinya mengubah undang-undang tersebut, guna mencegah kasus semacam ini terjadi di masa depan.”
Awal bulan ini, Aung Ko Ko Lwin, dari kota Thaton di Negara Bagian Mon, mengirim sebuah potongan video Menteri Luar Negeri Mon, Dr. Aye Zaw, yang mendesak penduduk kota Thaton untuk “hanya makan sepiring kari” pada waktu makan, agar dapat menurunkan harga pangan. Ia juga memuat komentar yang mengkritik menteri, karena gagal menanggapi permintaan trafo listrik untuk pasar sentral di kota itu dan sinyal keamanan LED di persimpangan kereta api yang kerap menjadi lokasi kecelakaan.
Seorang anggota komite urusan etnis di Negara Bagian Mon, Saw Kyaw Moe, melaporkan Aung Ko Ko Lwin berdasarkan Bab 8 (f) dari Undang-Undang Perlindungan Hak Privasi dan Keamanan Warga Negara (UU Hak Privasi), dengan tuduhan bahawa komentar itu “merusak citra kota.”
Bab 8 (f) dari UU Hak Privasi itu menyatakan bahwa “tidak seorangpun boleh secara tidak sah mengusik masalah pribadi atau keluarga warga negara atau bertindak dengan cara apapun untuk memfitnah atau mencemarkan nama baik mereka.” Pelanggaran terhadap UU ini diancam hukuman hingga tiga tahun penjara dan denda hingga 1,5 juta kyat (Rp 14 juta). Ketentuan tersebut, pada dasarnya, adalah UU Tindak Pidana Penghinaan yang keempat di Burma. Negara itu telah mengatur sanksi pencemaran nama baik dalam hukum pidana, di bab kontroversial 66 (d) UU Telekomunikasi, dan dalam UU Media. Bab 66 (d), khususnya, telah berulang kali digunakan untuk menghukum mereka yang secara kritis membicarakan pemerintah atau pejabat pemerintah.
Sejak pemerintahan pimpinan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) berkuasa pada Januari 2016, setidaknya 95 orang dilaporkan karena melakukan tindak pidana penghinaan berdasarkan pasal 66 (d), menurut sebuah kajian terbaru dari kelompok Free Expression Myanmar. Dalam sebagian besar kasus, penggugat adalah pejabat pemerintah. Meski parlemen mengubah UU Telekomunikasi pada Agustus 2017, ketentuan tentang penghinaan tetap dibiarkan dan setidaknya sembilan laporan baru telah diajukan sejak saat itu. Bagaimanapun, amendemen tersebut membatasi orang-orang yang dapat mengajukan pengaduan pada orang-orang yang diduga telah mencemarkan nama baik, yang berarti bahwa Saw Kyaw Moe tak bisa menggunakan pasal 66 (d) sebagai dasar laporannya.
Penggunaan UU Tindak Pidana Penghinaan ini bertentangan dengan meningkatnya pengakuan internasional bahwa menjatuhkan hukuman pidana karena penghinaan tidak dapat dibenarkan karena merupakan pembatasan terhadap kebebasan berbicara. Semua UU Tindak Pidana Penghinaan harus dihapuskan dan, bila perlu, diganti dengan UU Penghinaan Sipil. Kasus-kasus pencemaran nama baik yang melibatkan tokoh masyarakat yang biasanya paling bermasalah, memungkinkan mereka yang berkuasa ini menghukum para pengkritik mereka atau mereka yang berusaha untuk mengekspos pelanggaran hukum yang dilakukan para pejabat.
“Mengkritik kinerja pejabat pemerintah merupakan unsur penting dari demokrasi yang menghormati hak, dan seharusnya tidak menjadi dasar penuntutan pidana,” kata Robertson. “UU Hak Privasi Burma adalah bencana bagi kebebasan berekspresi, dan parlemen seharusnya cepat bergerak untuk mengubahnya agar sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.”