Skip to main content

Myanmar: Tentara Arakan Menindas Muslim Rohingya

Pembatasan Pergerakan yang Ketat, Perampasan, dan Penganiayaan di Negara Bagian Rakhine Utara

Sebuah keluarga yang mengungsi dari Buthidaung, Myanmar, tinggal di kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh, 25 Juni 2024.  © 2024 Mohammad Ponir

(Bangkok) – Tentara Arakan, sebuah kelompok etnis bersenjata di Negara Bagian Rakhine, yang terletak di Myanmar bagian barat, telah memberlakukan pembatasan ketat dan melakukan pelanggaran berat terhadap populasi etnis Rohingya, kata Human Rights Watch hari ini.

Penaklukan teritorial Tentara Arakan di negara bagian tersebut telah disertai dengan pembatasan pergerakan, perampasan, penahanan sewenang-wenang, penganiayaan, serta kerja paksa dan perekrutan ilegal, di antara berbagai penindasan lain terhadap orang Rohingya. Militer Myanmar telah lama menjadikan orang Rohingya sasaran kejahatan keji, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan berupa apartheid yang masih berlangsung.

“Tentara Arakan menerapkan kebijakan yang penindasan terhadap orang Rohingya, serupa dengan apa yang telah lama diberlakukan oleh militer Myanmar di Negara Bagian Rakhine,” kata Elaine Pearson, Direktur Asia di Human Rights Watch. “Tentara Arakan seyogianya mengakhiri berbagai praktik diskriminatif dan semena-mena serta mematuhi hukum internasional.”

Tentara Arakan telah menjanjikan pemerintahan yang inklusif dan adil di wilayah-wilayah yang direbutnya dari junta militer Myanmar yang semena-mena, menyusul pertempuran yang kembali meletus pada November 2023. Namun, orang-orang Rohingya menggambarkan kehidupan di bawah Tentara Arakan dan sayap politiknya, Liga Arakan Bersatu, sebagai kehidupan yang keras dan mengekang, dengan berbagai peraturan dan praktik yang diskriminatif.

Sejak April hingga Juli 2025, Human Rights Watch mewawancarai 12 pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri ke Bangladesh dari Kota Buthidaung di bagian utara Negara Bagian Rakhine.

“Kehidupan di bawah kendali Tentara Arakan sangatlah mengekang,” kata seorang pengungsi Rohingya berusia 62 tahun, yang tiba di Bangladesh pada bulan Juni. “Kami tidak diizinkan bekerja, menangkap ikan, bertani, atau bahkan pindah tanpa izin. Kami mengalami kelangkaan pangan yang ekstrem, di mana banyak orang yang hidup dari saling meminta-minta.”

Orang-orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah terjebak di antara militer Myanmar dan Tentara Arakan, di mana kedua pasukan sama-sama melakukan pelanggaran berat, termasuk pembunuhan di luar proses hukum, pembakaran besar-besaran, serta perekrutan ilegal. Sejak akhir tahun 2023, lebih dari 400.000 orang telah mengungsi secara internal di Negara Bagian Rakhine dan Chin, sementara sebanyak 200.000 orang telah menyelamatkan diri ke Bangladesh.

Seorang pria Rohingya, yang juga berusia 62 tahun, mengaku telah mengungsi bersama istri dan dua anaknya sebanyak lima kali dalam setahun terakhir. “Saat ini hidup sangatlah sulit,” ujarnya. “Perjalanan antardesa dibatasi, sehingga membutuhkan izin yang jarang diberikan.”

Penduduk desa Rohingya mengatakan bahwa izin untuk perjalanan antardesa di Buthidaung, yang hanya berlaku satu hari, seharga 3.000 hingga 5.000 kyat (Rp23.000-Rp40.000) dan memerlukan tanda tangan dari administrator Muslim setempat dan Tentara Arakan atau sayap politiknya. Mereka mengatakan bahwa Tentara Arakan memberlakukan jam malam. “Jika mereka menemukan seseorang di luar rumah, tentara akan menangkapnya,” kata pria itu. “Dan keberadaan mereka tidak akan diketahui lagi.”

Pembatasan yang diberlakukan Tentara Arakan terhadap mata pencarian dan pertanian, ditambah dengan perampasan dan harga yang selangit, telah memperparah kelangkaan pangan yang serius dan blokade bantuan yang diberlakukan junta militer sejak akhir 2023. Sejumlah orang Rohingya mengaku bertahan hidup dengan meminta-minta dari keluarga yang menerima uang dari kerabat mereka di luar negeri. Sejumlah orang lain bekerja sebagai buruh harian dengan upah yang sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak dibayar.

“Kami berjuang keras agar bisa bertahan hidup,” ujar seorang pria Rohingya usia enam puluhan tahun yang tiba di Bangladesh pada bulan Mei. “Saya bekerja sebagai buruh, menerima pekerjaan apa pun yang ditawarkan oleh Tentara Arakan.... Awalnya, mereka membayar kami setengah [gaji harian], tetapi kemudian, mereka sama sekali tidak membayar kami lagi.”

Penduduk desa Rohingya mengatakan Tentara Arakan telah menyita lahan pertanian, rumah, ternak, hasil tangkapan ikan, kayu bakar, dan bahkan lahan pemakaman. Dua pria dari Kin Taung di Kota Buthidaung mengatakan bahwa Tentara Arakan menghancurkan tempat pemakaman mereka pada bulan Mei, memerintahkan mereka agar menggunakan sawah sebagai tempat pemakaman.

Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) dan beberapa kelompok bersenjata Rohingya lain —setelah bertempur bersama militer Myanmar pada tahun 2024—kembali mengerahkan pasukan dalam bentrokan melawan Tentara Arakan di wilayah utara Negara Bagian Rakhine. Pertempuran tersebut, serta perekrutan paksa penduduk desa Rohingya oleh Tentara Arakan, telah memperburuk ketegangan komunal antara orang-orang Rohingya yang sebagian besar Muslim dan orang-orang Rakhine yang mayoritas beragama Buddha.

Kata tiga orang Rohingya, mereka melarikan diri demi melindungi putra-putra mereka, termasuk anak-anak, dari perekrutan paksa oleh Tentara Arakan. Seorang pengungsi Rohingya berusia 57 tahun tiba di Bangladesh bersama keluarganya pada bulan Juni setelah Tentara Arakan mulai mencari putranya yang berusia 17 tahun. “Waktu itu saya harus menyembunyikannya di beberapa desa berbeda selama dua bulan,” katanya.

Seorang pria berusia 62 tahun mengatakan bahwa putranya dipilih untuk direkrut oleh administrator Desa Kin Taung pada bulan April. “Saya terus-menerus hidup dalam ketakutan ketika mereka berusaha memaksanya untuk bergabung,” katanya. “Mereka mengincar anak-anak dari keluarga miskin. Putra saya takut direkrut dan melarikan diri dari desa 45 hari yang lalu. Sejak itu dia menghilang.”

Tentara Arakan menangkap pria itu ketika mereka tidak dapat menemukan putranya dan menahannya selama 35 hari, bersama dua orang lainnya. “Mereka terus-menerus memukuli saya,” katanya. “Saya baru dibebaskan setelah berjanji akan membawa putra saya kepada mereka.” Ketika dia malah bersembunyi, Tentara Arakan membakar rumah keluarga itu. Dia mengatakan tidak punya pilihan selain menyelamatkan diri ke Bangladesh.

Tentara Arakan telah memperlakukan Rohingya yang dicurigai bekerja sama dengan ARSA atau militer Myanmar dengan sangat kejam. Mereka menangkap seorang pria Rohingya berusia 35 tahun pada bulan Desember 2024 dari Desa Keya Zinga Para. “Mereka menuduh saya bekerja sama dengan tentara dan mengikuti pelatihan militer, padahal itu tidak benar,” katanya. “Saya dibawa ke Kota Buthidaung, ke kantor polisi di Distrik 3. Mereka sering memukuli saya dengan tongkat bambu. Sampai sekarang saya masih kesulitan berjalan.”

Seorang pria Rohingya berusia 19 tahun tinggal bersama Tentara Arakan selama lima bulan setelah diculik dari Desa Nga Yat Chaung pada Mei 2024 untuk kerja paksa ilegal. Ia mengatakan bahwa orang-orang Rohingya sering dikirim ke garis depan sebagai “tameng hidup”. “Jika ada yang melawan, mereka dipukuli dan diolok-olok,” katanya. “Kami bertanya apakah kami bisa diperlakukan setara. Mereka bilang akan memperlakukan kami seperti yang dilakukan oleh [etnis mayoritas] Burma, memanggil kami ‘Bengali kalar,’” sebutan hinaan untuk Muslim.

Hukum humaniter internasional yang berlaku, terutama Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 dan hukum kebiasaan internasional, melarang penyiksaan dan perlakuan buruk lain terhadap tahanan, perampasan, perekrutan anak di bawah usia 18 tahun, dan kerja paksa yang berbahaya, di antara berbagai pelanggaran lain.

Tentara Arakan dan kelompok bersenjata Rohingya, keduanya bekerja sama dengan jaringan penyelundup, mendapatkan keuntungan dari eksodus warga ke Bangladesh. Orang-orang Rohingya mengaku membayar antara 800.000 hingga 1,25 juta kyat (Rp6,2 juta-Rp9,7 juta) per orang untuk perjalanan tersebut.

Bangladesh mencatat ada 120.000 pendatang baru di sejumlah kamp sejak Mei 2024, sementara puluhan ribu lainnya masih belum tercatat. Para pendatang baru tersebut mengaku tidak menerima bantuan atau dukungan resmi. Pihak berwenang Bangladesh menegaskan bahwa repatriasi orang-orang Rohingya ke Myanmar adalah satu-satunya solusi. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintahan negara-negara yang peduli seyogianya menggarisbawahi bahwa kondisi untuk pemulangan yang aman, berkelanjutan, dan bermartabat belum terwujud saat ini.

“Para donor dan pemerintahan negara-negara yang berpengaruh perlu berbuat lebih banyak untuk melindungi orang-orang Rohingya, termasuk hak mereka atas keamanan dan kebebasan, baik di Myanmar maupun Bangladesh,” kata Elaine Pearson. “Mereka juga seharusnya mendesak Tentara Arakan agar menghormati hak-hak semua komunitas di Negara Bagian Rakhine.”

GIVING TUESDAY MATCH EXTENDED:

Did you miss Giving Tuesday? Our special 3X match has been EXTENDED through Friday at midnight. Your gift will now go three times further to help HRW investigate violations, expose what's happening on the ground and push for change.
Region / Country
Tags