Sepuluh tahun silam pada bulan Mei ini, ribuan pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di atas perahu-perahu kayu nelayan di Laut Andaman menarik perhatian dunia terhadap krisis yang melanda lima negara. Perhatian itu hanya sesaat. Satu dekade kemudian, perjalanan berbahaya itu terus berlanjut tanpa diketahui publik.
Dari tahun 2012 hingga 2015, sekitar 170.000 Muslim Rohingya menyelamatkan diri dari penganiayaan di Myanmar serta kamp-kamp pengungsian di Bangladesh dengan perahu-perahu penyelundup yang penuh sesak. Pada bulan Mei 2015, penolakan oleh Thailand, Malaysia, dan Indonesia menyebabkan sekitar 8.000 orang Rohingya terombang-ambing di laut lepas, dengan risiko dehidrasi, penyakit, dan tenggelam. Berbagai keterangan mengerikan tentang kejamnya perdagangan manusia, kuburan massal, dan ratusan orang yang tewas di laut memicu komitmen regional dan internasional untuk melindungi migran dan korban perdagangan manusia di Asia Tenggara dengan lebih baik.
Saat ini, orang-orang Rohingya yang mencari suaka masih dipukuli, diperas, dan dibiarkan meninggal, sementara kekerasan dan penindasan yang memaksa mereka meninggalkan rumah mereka semakin menjadi-jadi. Rute perdagangan manusia pun menjadi semakin rumit dan berisiko.
Awal bulan Mei ini, diperkirakan 427 orang Rohingya tewas di lautan ketika dua perahu tenggelam selama musim hujan yang baru saja tiba. “Sejauh ini, hampir 1 dari 5 orang yang mencoba mengarungi lautan berbahaya di wilayah ini dilaporkan tewas atau hilang pada tahun 2025, menjadikan perairan Laut Andaman dan Teluk Benggala sebagai salah satu yang paling mematikan di dunia,” seperti yang dilaporkan badan pengungsi PBB, UNHCR. Selama setahun terakhir, lebih dari 1.000 orang Rohingya diketahui tewas atau hilang di laut.
Ribuan orang Rohingya menempuh perjalanan berisiko tinggi ini setiap tahun untuk menghindari penindasan dan konflik bersenjata tak berkesudahan di Negara Bagian Rakhine, serta keputusasaan serta kenekatan yang semakin menjadi-jadi di kamp-kamp pengungsian Bangladesh. Sebagian besar dari mereka ingin menyeberang ke Malaysia atau Indonesia, demi janji pekerjaan dan kebebasan yang relatif terjamin, meskipun ada ancaman penolakan terhadap perahu mereka serta penahanan imigrasi yang menanti mereka.
“Para penyelundup akan memukuli kami dengan apa pun yang mereka temukan, batang kayu atau plastik, dan tidak mengizinkan kami meninggalkan gudang,” kata seorang pria Rohingya berusia 24 tahun kepada kami. Ia mengungsi dari Negara Bagian Rakhine di barat Myanmar pada Juni 2024 bersama istrinya yang sedang hamil setelah desa mereka dibom dan dibakar. Pertempuran antara militer Myanmar dan kelompok bersenjata Tentara Arakan telah meningkat sejak November 2023, yang mengakibatkan gelombang pembunuhan, pembakaran, perekrutan paksa, serta pemindahan massal.
Pasangan itu menghabiskan waktu selama seminggu berdesak-desakan di atas sebuah perahu bersama sekitar 160 orang Rohingya lainnya sebelum menempuh perjalanan darat menuju perbatasan Thailand. Sang istri kemudian menjalani masa persalinan dan terpisah dari rombongan tersebut. Mereka bertemu kembali setelah istrinya melahirkan di sebuah gudang di sepanjang perbatasan, tempat para penyelundup menahan ketiganya selama sekitar tiga bulan karena mereka tidak punya cukup uang untuk membiayai sisa perjalanan ke Malaysia.
“Dua pertiga orang di gudang itu disiksa karena tidak sanggup membayar biaya perjalanan,” kata pria berusia 24 tahun itu. “Mereka memasukkan kaki kami ke dalam beberapa alat berbahan kayu.” Ia mengatakan seluruh keluarga itu terkena kudis, termasuk putri mereka yang baru lahir. Mereka baru bisa menyeberangi perbatasan ke Thailand setelah membayar sekitar $5.000 (Rp81 juta).
Pada awal bulan Mei, otoritas India menangkap puluhan pengungsi Rohingya di Delhi, mengirim sekitar 40 dari mereka dengan kapal angkatan laut ke Laut Andaman. Menurut laporan PBB, orang-orang itu dipaksa terjun ke laut dan ditelantarkan untuk berenang ke pantai di sebuah pulau di Myanmar.
UNHCR memperkirakan sekitar 33.000 orang Rohingya mengungsi dari Myanmar dan Bangladesh dari tahun 2022 hingga 2024. Perjalanan tersebut semakin banyak dilakukan oleh perempuan dan anak-anak Rohingya, yang kini mencapai sekitar 70 persen dari mereka yang mengungsi lewat jalur laut.
Seorang bocah laki-laki Rohingya berusia 13 tahun mengungsi dari desanya pada akhir tahun 2024 karena takut direkrut secara paksa oleh militer Myanmar. Ia awalnya menempuh perjalanan dengan perahu bersama sekitar 200 orang lainnya, kemudian berjalan kaki menuju Myawaddy, dekat perbatasan Thailand. Ia juga ditahan di sebuah gudang ketika tidak sanggup membayar para penyelundup atau menghubungi keluarganya.
“Setelah dua bulan, ketika saya jelas-jelas tidak bisa membayar, saya dipukuli,” katanya kepada kami. “Saya dimasukkan ke dalam kurungan kayu yang dikunci dan tangan saya diikat dan dipukuli setiap hari, hampir selama satu bulan…. Mereka bilang, kalau saya tidak bisa membayar, mereka akan menjual kami.” Ia dan delapan orang lainnya yang tidak bisa membayar, termasuk beberapa bocah laki-laki lainnya, dijual kepada pedagang manusia lain, yang memindahkan mereka ke sebuah sel tempat mereka terus-menerus dipukuli. Mereka berhasil mengungsi setelah 10 hari, dan dia menyelamatkan diri melintasi perbatasan ke Thailand.
Pengungsi Rohingya lainnya, yang menghabiskan 10 minggu di sebuah gudang penyelundup, mengatakan ada sekitar 300 orang Rohingya ketika ia tiba, dan 400 orang lainnya yang singgah ketika ia mencoba mendapatkan uang untuk bisa pergi.
Tanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan orang-orang Rohingya tidak hanya berada di tangan Myanmar, tetapi juga di tangan negara-negara tempat mereka mencari perlindungan serta masyarakat internasional yang lebih luas – terutama ketika kondisi di Negara Bagian Rakhine saat ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali dengan selamat.
Semestinya para aktor regional dan global memanfaatkan beberapa kegiatan dalam beberapa bulan mendatang untuk mengkoordinasikan perlindungan bagi para pengungsi Rohingya di seluruh Asia dengan lebih baik, termasuk KTT ASEAN ke-46 pekan ini, dan pertemuan tingkat tinggi tentang Rohingya di Majelis Umum PBB pada bulan September.
Pemerintah negara-negara di Asia Tenggara seharusnya mengakhiri pengusiran di darat dan laut, menyaring dan mengidentifikasi korban-korban perdagangan manusia, memberi akses perlindungan kepada orang Rohingya, dan memastikan mereka tidak dikembalikan secara paksa ke Myanmar, tempat mereka menghadapi penganiayaan. Seharusnya pemerintah negara-negara lain ikut menanggung beban tersebut, termasuk dengan meningkatkan kesempatan pemukiman kembali bagi para pengungsi Rohingya.
Dan yang terpenting, pemerintah negara-negara itu perlu meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas berbagai penganiayaan tiada henti yang mereka lakukan terhadap orang Rohingya, sehingga pencarian suaka yang penuh bahaya selama satu dekade terakhir ini bisa segera berakhir.