Skip to main content

Tahta Suci: Tinjau Ulang Kesepakatan Vatikan-Tiongkok

Paus Leo Seharusnya Mendesak Beijing terkait Persoalan Kebebasan Beragama dan Membebaskan Para Uskup

Paus Leo XIV, yang baru saja terpilih, saat berada di beranda tengah Basilika Santo Petrus di Vatikan, 8 Mei 2025.  © 2025 Domenico Stinellis/AP Photo

(London) – Paus Leo XIV, yang baru saja terpilih, seharusnya segera meninjau ulang kesepakatan Vatikan dengan pemerintah Tiongkok tahun 2018 yang mengizinkan Beijing mengangkat uskup untuk tempat-tempat ibadah yang disetujui pemerintah, kata Human Rights Watch hari ini. Paus juga semestinya mendesak pemerintah agar mengakhiri penganiayaan terhadap gereja-gereja bawah tanah, para klerus, dan umat.

Pemerintah Tiongkok terus mengangkat para klerus yang patuh pada Partai Komunis Tiongkok. AsiaNews melaporkan selama masa berkabung untuk Paus Fransiskus, yang meninggal pada 21 April 2025, pemerintah Tiongkok tetap melanjutkan pengangkatan uskup auksilier di Shanghai dan uskup di Xinxiang, Provinsi Henan.

“Paus Leo XIV punya kesempatan untuk memulai awalan baru dengan Tiongkok guna melindungi kebebasan beragama umat Katolik di Tiongkok,” kata Maya Wang, Direktur Muda Urusan Tiongkok di Human Rights Watch. “Semestinya Paus baru ini mendesak digelarnya perundingan yang dapat membantu memperbaiki hak beribadah bagi semua orang di Tiongkok.”

Pemerintah Tiongkok telah lama membatasi sekitar 12 juta umat Katolik di negara itu untuk beribadah di gereja-gereja resmi di bawah kepemimpinan Asosiasi Katolik Patriotik Tiongkok, dan menganiaya umat Katolik yang menghadiri misa di “gereja-gereja rumah” bawah tanah atau hanya berjanji setia kepada paus. Pemerintah selama ini sering melakukan penggerebekan di gereja-gereja bawah tanah dan menangkap umat serta para imam yang tidak disetujui pemerintah.

Paus Leo seyogianya mendesak pemerintah Tiongkok untuk segera membebaskan sejumlah imam Katolik yang dalam beberapa tahun terakhir dipenjara, dihilangkan secara paksa, atau menjadi sasaran tahanan rumah dan tindakan kekerasan lainnya, kata Human Rights Watch. Mereka termasuk James Su Zhimin, Augustine Cui Tai, Julius Jia Zhiguo, Joseph Zhang Weizhu, Peter Shao Zhumin, dan Thaddeus Ma Daqin, sebagaimana dilaporkan oleh Hudson Institute.

Perjanjian Sementara tahun 2018 tentang Pengangkatan Uskup, yang teks lengkapnya tidak pernah dipublikasikan, mengakhiri kebuntuan selama puluhan tahun mengenai siapa yang berwenang menunjuk uskup di Tiongkok. Berdasarkan perjanjian tersebut, Beijing mengusulkan nama-nama uskup masa depan, dan Paus memiliki hak veto atas penunjukan tersebut.

Sejak perjanjian tahun 2018 itu, kedua belah pihak telah sepakat mengangkat 10 uskup, yang mencakup sekitar sepertiga dari lebih 90 keuskupan di Tiongkok yang belum memiliki uskup. Namun, Vatikan tidak pernah menggunakan hak vetonya, bahkan ketika pemerintah Tiongkok melanggar perjanjian tersebut dengan menunjuk uskup secara sepihak pada tahun 2022 dan 2023, penunjukan yang kemudian diterima oleh Paus Fransiskus.

Dalam sebuah siaran pers tahun 2024 yang memperbarui perjanjian tahun 2018, Vatikan menyatakan bahwa perjanjian tersebut bertujuan untuk “memberikan manfaat bagi … Gereja Katolik di Tiongkok dan masyarakat Tiongkok secara keseluruhan.” Takhta Suci dan pemerintah Tiongkok telah memperbarui kesepakatan tersebut sebanyak tiga kali.

Pemerintah Tiongkok, yang membatasi semua praktik keagamaan terhadap lima agama yang diakui secara resmi di negara tersebut, mengatur bisnis resmi gereja dan memegang kendali atas pengangkatan staf, publikasi, keuangan, dan pendaftaran seminari.

Kesepakatan Tahta Suci-Tiongkok tahun 2018 dicapai selama upaya Presiden Xi Jinping untuk memperketat kontrol yang sudah ketat terhadap agama-agama di Tiongkok atas nama “Sinifikasi” agama. Dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang telah menghancurkan ratusan bangunan gereja atau salib di atasnya, mencegah para penganutnya berkumpul di gereja-gereja yang tidak diakui negara, membatasi akses untuk mendapatkan Alkitab, menyita materi keagamaan yang tidak diizinkan oleh pemerintah, dan melarang aplikasi Alkitab dan aplikasi yang berkaitan dengan agama.

Kesepakatan Tahta Suci-Tiongkok tahun 2018 dicapai selama periode penindasan yang semakin intensif, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, terhadap orang-orang Uighur yang sebagian besar beragama Islam. Sejak 2017, otoritas Tiongkok di wilayah Xinjiang telah menahan secara sewenang-wenang sekitar satu juta orang Uighur, sebagian besar di antaranya karena mengamalkan agama Islam, dan telah merusak atau menghancurkan dua pertiga masjid di wilayah tersebut, menurut sekelompok ahli di Australian Strategic Policy Institute. Ratusan ribu orang Uighur masih dipenjara di Tiongkok dan dikontrol secara ketat.

Sinifikasi agama oleh pemerintah Tiongkok berarti penindasan yang kejam terhadap agama Buddha di Tibet, di mana otoritas Tiongkok telah memberlakukan kontrol ketat atas proses pemilihan lama atau pemimpin spiritual agama Buddha Tibet, termasuk dengan menghilangkan paksa Panchen Lama yang berusia enam tahun sejak 1995, dan dengan mengendalikan proses pemilihan Dalai Lama di masa mendatang.

“Umat Katolik Tiongkok yang beribadah di gereja-gereja bawah tanah termasuk di antara ‘orang-orang biasa’ yang menurut Paus Leo semestinya menjadi fokus perhatian Gereja,” kata Maya Wang. “Sangat penting bagi kebebasan beragama di Tiongkok bahwa Gereja Katolik berdiri di pihak mereka, dan bukan di pihak para penindas mereka.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country