Skip to main content

Indonesia: Usulan Revisi UU TNI Membahayakan Hak Asasi Manusia

Mengembalikan Prajurit ke Jabatan Sipil akan Jadi Kemunduran Besar bagi Demokrasi Pasca-Soeharto

Pelantikan Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, di gedung DPR, Jakarta, 20 Oktober 2024. © 2024 Indonesian Parliament/ Pool/Anadolu via Getty Images

Pembaruan: Pada 20 Maret 2025, DPR RI dengan suara bulat menyetujui revisi UU TNI. Undang-undang tersebut segera dikirim ke Presiden Prabowo untuk ditandatangani.

(New York) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia seharusnya membatalkan usulan revisi UU TNI tahun 2004 yang secara signifikan akan memperluas peran militer dalam pemerintahan sipil dan melemahkan pengawasan hukum terhadap para pejabat yang melakukan pelanggaran, kata Human Rights Watch dan enam organisasi hak asasi manusia Indonesia hari ini. Undang-Undang TNI No. 34/2004, akan diajukan ke sidang paripurna DPR RI pada tanggal 20 Maret 2025, dan diperkirakan akan diajukan untuk pemungutan suara sebelum masa reses legislatif yang dimulai tanggal 25 Maret.

Rancangan revisi, yang sudah disetujui oleh Komisi I DPR RI – yang membidang urusan pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen – akan memungkinkan para pejabat untuk mengisi lebih banyak jabatan sipil dengan personel militer yang masih aktif, termasuk dalam sistem peradilan dan badan usaha milik negara. Presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo seharusnya meminta DPR untuk menunda pemungutan suara dan berkonsultasi dengan kelompok masyarakat sipil guna menjawab kekhawatiran mereka, termasuk kebangkitan “dwifungsi” TNI yang menjadi inti pemerintahan militer otoriter Presiden Soeharto dari tahun 1965 hingga 1998.

“Presiden Prabowo tampaknya berniat memulihkan peran militer Indonesia dalam urusan sipil, yang telah lama ditandai oleh pelanggaran dan impunitas yang meluas,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch. “Ketergesa-gesaan pemerintah dalam mengesahkan revisi ini melemahkan pernyataan komitmennya terhadap hak asasi manusia dan akuntabilitas.”

Lembaga-lembaga yang menyuarakan keprihatinan tersebut adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Human Rights Watch, Imparsial, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia, LBH Kaki Abu, dan Kapal Perempuan.

Saat ini, personel militer diharapkan untuk pensiun atau mengundurkan diri dari kedinasan sebelum menduduki jabatan sipil, kecuali bagi mereka yang berada di 10 kementerian dan lembaga negara, termasuk Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara, Basarnas, dan Mahkamah Agung, di mana mereka bertugas sebagai hakim militer.

Usulan revisi UU TNI ini akan memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengangkat personel militer di sejumlah lembaga lain, seperti Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

“Dengan proses pengesahan yang cepat dan gegabah, revisi ini tampaknya dimaksudkan untuk mengembalikan “dwifungsi” TNI dalam pemerintahan,” kata Dimas Bagus Arya Saputra, Koordinator KontraS. “Perluasan kewenangan angkatan bersenjata di ranah sipil akan menjadi kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.”

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, mengatakan bahwa UU TNI tahun 2004 “sudah ketinggalan zaman dan tidak efektif” dalam menerapkan norma-norma dasar kebijakan negara dan keputusan politik. Ia berpendapat revisi tersebut akan memperluas fungsi nontempur militer Indonesia, yang memungkinkan para anggotanya untuk bertugas di lembaga-lembaga yang menangani penuntutan umum, keamanan siber, penegakan hukum narkotika, dan sejumlah urusan dalam negeri lainnya.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan personel militer aktif akan “pensiun dini” dan keterampilan mereka akan diuji sebelum dipilih untuk jabatan sipil. Namun, sebuah laporan terbitan Imparsial, sebuah lembaga pemerhati keamanan dan hak asasi manusia yang berkantor di Jakarta, menemukan bahwa, bahkan sebelum revisi ini dipertimbangkan, setidaknya ada 2.569 perwira aktif masih menduduki jabatan sipil, beberapa di antaranya di luar kerangka hukum.

Sebuah koalisi yang terdiri dari 186 organisasi masyarakat sipil telah memulai petisi yang menentang revisi tersebut. KontraS mengatakan beberapa stafnya menerima ancaman setelah mereka memprotes revisi undang-undang tersebut sejak awal Maret.

Presiden Prabowo telah menunjuk beberapa orang dengan catatan hak asasi manusia yang sangat memprihatinkan masuk ke dalam kabinetnya, di antaranya adalah mantan perwira Kopassus yang terlibat dalam penculikan aktivis mahasiswa tahun 1998 dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, yang terlibat dalam tindakan keras terhadap demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada bulan Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM di Timor-Leste pada tahun 1999. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa revisi UU TNI ini akan membuka pintu bagi perwira militer saat ini yang punya catatan pelanggaran untuk bergabung dengan pemerintah.

“Revisi UU TNI, khususnya terkait perluasan jabatan sipil yang bisa diduduki oleh personel militer yang masih aktif, hanya akan melegitimasi pengangkatan personel militer yang sewenang-wenang dalam pemerintahan,” kata Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial. “DPR RI seharusnya menunda revisi tersebut karena berpotensi mengembalikan keterlibatan militer dalam ranah sosial-politik masyarakat sipil.”

Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Militer Indonesia tahun 1997, setiap personel militer, termasuk mereka yang bertugas di ranah sipil, yang terlibat dalam tindakan kriminal harus diselidiki oleh otoritas militer dan diadili, jika memang diadili, di pengadilan militer, bukan pengadilan yurisdiksi umum. Para oditur (jaksa dalam pengadilan militer) dan hakim militer melapor kepada komandan mereka masing-masing. Sistem peradilan militer Indonesia punya sejarah panjang gagal dalam menyelidiki dan mengadili personel militer, khususnya perwira tinggi, atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Sejumlah organisasi hak-hak perempuan Indonesia telah menyampaikan kekhawatiran khusus mengenai usulan revisi tersebut karena kekerasan seksual dan pelanggaran berat lainnya terhadap perempuan yang dilakukan oleh personel militer dalam menjalankan tugas sipil mereka akan masuk berada di bawah penegakan hukum militer.

“Ketidakberpihakan peradilan merupakan komponen penting dalam akses terhadap keadilan bagi perempuan,” kata Uli Arta Pangaribuan dari LBH APIK. “Revisi UU TNI, jika disetujui, akan membuat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah sipil akan ditangani dalam sistem peradilan militer.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country