Presiden Indonesia, Prabowo Subianto Djojohadikusumo, akan menjadi tamu utama pada perayaan Hari Republik India pada tanggal 26 Januari. Ia juga akan mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Narendra Modi. Ini merupakan kesempatan bagi kedua raksasa demokrasi di Asia untuk mempromosikan nilai-nilai yang dianut bersama tentang hak asasi manusia.
Indonesia baru-baru ini bergabung dengan BRICS, sebuah kelompok yang salah satu anggota pendirinya adalah India, yang mengupayakan kerja sama multilateral termasuk untuk memajukan kesehatan, pendidikan, dan "memerangi kemiskinan dan kesenjangan sosial." Semua ini merupakan inisiatif penting yang juga semestinya diterjemahkan ke dalam kebijakan dalam negeri di kedua negara.
Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Modi, keduanya mulai memangku jabatan menyusul pemilu yang memecah belah pada tahun 2024. Meskipun politik mayoritas dapat memenangkan suara, namun hal ini dapat memecah belah masyarakat, dan sering kali menimbulkan risiko diskriminasi dan kekerasan.
Kedua pemimpin tersebut memimpin masyarakat yang sangat beragam, dan mereka perlu segera mengadopsi kebijakan yang melindungi kelompok-kelompok yang paling rentan, bukan malah memberi ruang bagi ekstremisme agama. Sebagai contoh, beberapa pendukung Modi menginginkan larangan jilbab (pakaian perempuan Muslim yang menutupi kepala, leher, dan dada), sementara banyak pendukung Prabowo mempromosikan peraturan wajib jilbab.
Alih-alih membiarkan para ekstremis di kedua belah pihak mendikte dan mengendalikan apa yang semestinya dikenakan perempuan, kedua pemimpin sepatutnya secara terbuka membela hak perempuan untuk memilih, dan secara lebih luas berupaya melindungi kelompok minoritas. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Muslim Sunni, hukum penodaan agama dan apa yang disebut peraturan kerukunan beragama sering digunakan untuk mendiskriminasi kelompok minoritas non-Muslim seperti Hindu dan Kristen. Pihak berwenang di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu telah mengadopsi undang-undang dan kebijakan yang secara sistematis mendiskriminasi kelompok minoritas, khususnya Muslim.
India dan Indonesia, masing-masing bekas jajahan Inggris dan Belanda, mewarisi tuntutan kompleks untuk penentuan nasib sendiri di Jammu dan Kashmir serta Papua Barat. Hal ini telah menyebabkan pelanggaran serius hak asasi manusia oleh pasukan keamanan yang jarang dituntut atas kejahatan mereka, dan pelanggaran oleh kelompok bersenjata. Pemerintah kedua negara seharusnya mengatasi berbagai keluhan historis, ketimbang menghukum orang karena menggunakan hak-hak dasar mereka untuk kebebasan berekspresi, berasosiasi, dan berkumpul secara damai.
Kedua negara telah lama menganut prinsip non-blok untuk melindungi rakyat mereka dari ketidakpastikan perselisihan di antara bangsa-bangsa yang kuat. Namun, ini bukan lagi dunia di mana prinsip-prinsip non-blok dapat diterjemahkan menjadi non-keterlibatan. Pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan konflik, migrasi, penyakit, kemiskinan, atau perubahan iklim, cenderung mengabaikan perbatasan.
Alih-alih mengeluh tentang standar ganda Barat yang mungkin benar, India dan Indonesia dapat mengambil peran kepemimpinan dalam hal keadilan, kesetaraan, dan akuntabilitas. Dunia sedang bergejolak dan orang-orang terbunuh, terluka, diperkosa, dan disiksa baik di Timur Tengah, Sudan, Ukraina, atau di Myanmar. Modi dan Prabowo menolak untuk memihak dalam perbedaan baru-baru ini yang melanda Amerika Serikat dan Eropa di satu sisi, serta Tiongkok dan Rusia di sisi lain. Namun, mereka dapat menunjukkan komitmen universal terhadap hak asasi manusia, demokrasi, dan aksi kemanusiaan.
Misalnya, warga India dan Indonesia yang khususnya fokus pada kekejaman di Gaza. Dengan persetujuan otoritas Israel dan Hamas untuk gencatan senjata multi-fase, Modi dan Prabowo seharusnya meminta Israel untuk mencabut blokade, mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan dalam skala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak, dan memastikan bahwa layanan dasar seperti listrik dan air dipulihkan. Mereka semestinya meminta kelompok bersenjata Palestina agar segera dan tanpa syarat membebaskan semua warga sipil yang disandera. Mereka juga semestinya mendukung berbagai upaya untuk meminta pertanggungjawaban para pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan keji dan mengatasi akar permasalahannya, termasuk apartheid Israel terhadap warga Palestina.
Di Myanmar, militer junta telah meningkatkan taktik "bumi hangus" terhadap daerah oposisi di tengah meningkatnya perlawanan bersenjata dan kerugian teritorial, dengan serangan udara dan artileri menggunakan senjata peledak di daerah berpenduduk, meningkatkan risiko bahaya bagi warga sipil. Orang-orang Rohingya terus melarikan diri secara berbondong-bondong, sering kali berakhir sebagai pengungsi di India dan Indonesia, karena mereka berusaha menghindari pembunuhan, perekrutan paksa, dan serangan pembakaran oleh pasukan junta dan Tentara Arakan oposisi. Lebih dari satu juta orang tetap tinggal di Bangladesh, tanpa akses yang layak ke pendidikan atau mata pencaharian, menjadi mangsa kekerasan oleh kelompok bersenjata. Indonesia telah memberikan perlindungan kepada pengungsi Rohingya, tetapi seharusnya melindungi mereka dari diskriminasi dan serangan oleh masyarakat tuan rumah. India seharusnya menghentikan penahanan serta deportasi sewenang-wenang terhadap para pengungsi Rohingya.
Prabowo dan Modi juga seyogianya menyadari bahwa krisis Rohingya membutuhkan solusi yang langgeng di Myanmar, dan mendorong pemerintah daerah lain untuk melibatkan pihak oposisi, alih-alih memprioritaskan perundingan hanya dengan junta, yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung. Pemerintah kedua negara sebaiknya mendesak agar para pelaku kejahatan serius dimintai pertanggungjawaban.
Kedua pemimpin juga seharusnya menyuarakan keprihatinan mereka terhadap mitra BRICS mereka, Rusia. Sejak perang di Ukraina, yang telah mengakibatkan penderitaan yang mengerikan, akhir-akhir ini jarang sekali para pemimpin negara demokrasi besar mengunjungi Rusia. Namun, baik Modi maupun Prabowo telah melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu Presiden Vladimir Putin. Rusia sangat ingin membangun hubungan komersial dan militer dengan negara-negara seperti India dan Indonesia untuk menghindari sanksi keuangan dan kontrol ekspor Barat. Namun, Prabowo dan Modi juga tidak semestinya ragu untuk menekan Putin agar mengakhiri pelanggaran yang dilakukan pasukannya terhadap warga Ukraina.
Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Modi adalah pemimpin yang populer. Mereka seharusnya menggunakan mandat itu untuk memperjuangkan hak asasi manusia baik di dalam maupun luar negeri. Dunia membutuhkan kepemimpinan yang manusiawi untuk melawan perpecahan dan kebencian yang semakin meningkat. Jika tidak, merayakan konstitusi yang independen hanya akan menjadi ajang berfoto.