(Brussel) – Semestinya Komisi Eropa melibatkan kelompok masyarakat sipil independen dalam berbagai perbincangan penting yang sedang berlangsung dengan Malaysia dan Indonesia mengenai aturan anti-deforestasi, demikian dikatakan sebuah delegasi yang terdiri dari organisasi masyarakat adat, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup hari ini.
Pada Juni 2023, kedua negara Asia Tenggara itu membentuk sebuah satuan tugas dengan Komisi Eropa untuk menyelesaikan ketegangan terkait diterapkannya undang-undang Uni Eropa baru sekaligus amat penting untuk mengatasi deforestasi global. Tetapi beberapa organisasi garda depan yang mewakili hak-hak masyarakat yang terdampak oleh deforestasi sebagian besar tidak diikutsertakan dari pertemuan satgas tersebut.
"Kami berharap bahwa Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa akan mendukung kami untuk memajukan hak asasi manusia dan lingkungan hidup di tingkat lokal, terutama karena kebijakan untuk melindungi hak-hak ini masih sangat kurang," kata Celine Lim, Direktur Pelaksana SAVE Rivers, sebuah organisasi masyarakat adat dari Sarawak, Malaysia.
Delegasi, yang bertemu dengan pejabat Uni Eropa di Brussels hingga 31 Mei 2024 ini, mencakup beberapa perwakilan dari SAVE Rivers, RimbaWatch, Bruno Manser Fonds, KERUAN, dan Human Rights Watch.
Undang-Undang Bebas Produk Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang diadopsi pada Mei 2023, membatasi penjualan produk-produk tertentu di pasar UE jika punya keterkaitan dengan deforestasi atau pelanggaran hak atas tanah atau hak asasi manusia. Malaysia dan Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia sekaligus eksportir kayu yang signifikan ke UE. Peraturan ini mencakup kedua komoditas tersebut.
Satgas gabungan itu bertemu di Jakarta pada Agustus 2023 dan sekali lagi di Brussels pada Februari 2024, dengan pertemuan lain ditetapkan untuk Brussels pada September. Satgas itu perlu mendengar dari masyarakat garis depan yang paling terdampak deforestasi serta berbagai organisasi lingkungan hidup di negara mereka untuk benar-benar memahami dampak dari industri kelapa sawit dan kayu, menurut keterangan delegasi itu.
“Sangat penting bagi masyarakat sipil Malaysia untuk terlibat dalam proses EUDR guna memastikan bahwa implementasi undang-undang itu didukung oleh transparansi dan fakta,” kata Adam Farhan, direktur kelompok nirlaba lingkungan RimbaWatch, yang berkantor di Kuala Lumpur, Malaysia. “Sebagai pemerhati iklim, kami menemukan bahwa otoritas Malaysia sangat minim melaporkan laju deforestasi: melalui konsultasi dengan masyarakat sipil, kesenjangan data seperti ini dapat diatasi.”
Kelompok-kelompok lokal di Indonesia dan Malaysia telah melakukan pekerjaan penting terkait isu-isu terkait aturan tentang produk bebas deforestasi, seperti memantau wilayah-wilayah yang berisiko terdampak deforestasi, menyelidiki kelemahan dalam skema sertifikasi minyak kelapa sawit dan kayu, serta membantu masyarakat dalam pemetaan tanah leluhur. Penelitian mereka secara konsisten menunjukkan bahwa regulasi dan pengawasan yang buruk terhadap industri kayu dan minyak kelapa sawit telah memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk secara rutin merambah wilayah-wilayah adat dan melanggar hak-hak.
Penelitian oleh RimbaWatch yang menggunakan data sumber terbuka (open-source) menunjukkan sedikitnya 3,2 juta hektar hutan alam masih terancam alih fungsi di Malaysia, jauh melewati batas waktu peraturan Eropa, yaitu 31 Desember 2020. SAVE Rivers telah menginisiasi sebuah kampanye, Stop the Chop, yang menyerukan diakhirinya penebangan di wilayah adat di Sarawak. The Borneo Project dan Bruno Manser Fonds menerbitkan sebuah laporan pada November 2023 yang menemukan bahwa kayu Malaysia dapat menerima sertifikasi keberlanjutan meskipun dilaporkan dipanen di atas lahan yang diklaim oleh masyarakat adat.
Pada tahun 2023, Human Rights Watch meneliti berbagai dampak industri penebangan dan kelapa sawit terhadap hak-hak masyarakat adat di Malaysia dan bertemu dengan kementerian Perkebunan dan Komoditas Malaysia di Kuala Lumpur.
"Masyarakat sipil memiliki kapasitas untuk mengumpulkan data lapangan, mendokumentasikan pelanggaran, dan melaporkannya," kata Sayyidatiihayaa Afra, peneliti di Satya Bumi. "Tidak melibatkan masyarakat sipil dalam proses implementasi EUDR menghambat penyelesaian masalah teknis dan faktual di lapangan."
Di Indonesia, Satya Bumi, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang lingkungan hidup, menemukan bahwa sistem penelusuran negara tidak dapat mencegah pencampuran antara komoditas legal dan ilegal, dan bahwa 2,6 juta hektar hutan alam berada di bawah izin yang dapat membuka jalan bagi deforestasi di masa depan. Human Rights Watch sebelumnya telah mengungkap bagaimana perusahaan minyak kelapa sawit telah menggunduli wilayah-wilayah tradisional, dengan mengakibatkan kemiskinan bagi sejumlah masyarakat adat di Kalimantan dan Sumatra, Indonesia. Praktik pengeringan lahan gambut oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia semakin berkontribusi terhadap dampak negatif iklim industri.
"Satgas ini perlu mendengar dari masyarakat garis depan yang paling terkena dampak langsung oleh deforestasi di Indonesia dan Malaysia, dan para pencinta lingkungan yang bekerja untuk melestarikan warisan alam negara mereka yang tak ternilai," kata Luciana Téllez Chávez, peneliti senior bidang lingkungan hidup di Human Rights Watch.