Skip to main content

Perundingan Anti-Deforestasi Uni Eropa Tidak Semestinya Mengabaikan Komunitas Garis Depan

Kelompok Lingkungan dan Komunitas Adat Memberikan Masukan Penting

Jauh dari garis depan tempat buldoser menghancurkan hutan tropis, pejabat Uni Eropa tengah bersiap untuk menerapkan undang-undang penting yang mengharuskan perusahaan-perusahaan yang berbasis di Uni Eropa untuk memastikan impor dan ekspor mereka “bebas deforestasi” dan tidak memicu pelanggaran hak asasi manusia. 

Dayang Ukau (Kiri) dan Celine Lim, pemimpin organisasi masyarakat adat KERUAN dan SAVE Rivers, memprotes penolakan Malaysia untuk mengizinkan masyarakat sipil untuk berpartisipasi secara langsung dalam Satuan Tugas Bersama Uni Eropa-Indonesia-Malaysia untuk Peraturan Deforestasi Uni Eropa di luar ruang pertemuan, Brussel, 12 September 2024.  © 2024 Pribadi

Dengan 10 lahan seluas lapangan sepak bola dari hutan kritis iklim yang diratakan per menit di seluruh dunia pada tahun 2023, maka pertaruhannya semakin besar.

Minggu lalu, saya bertandang ke Brussel bersama sejumlah mitra dari Malaysia dan kelompok-kelompok internasional untuk menghadiri pertemuan antara Komisi Eropa dan para pejabat pemerintah dari Malaysia dan Indonesia mengenai Undang-Undang (UU) Anti-Deforestasi (EUDR).

Setibanya di sana, kami mendapati bahwa pemerintah Malaysia dan Indonesia berusaha untuk menolak masyarakat sipil untuk masuk dan menghadiri pertemuan tersebut. Uni Eropa tunduk pada tuntutan ini, jadi alih-alih berpartisipasi secara langsung, kami menonton pertemuan tersebut dari layar di ruang terpisah.

"Kami tidak hanya ditolak untuk hadir di meja perundingan, tetapi juga dilarang memasuki ruangan tempat berlangsungnya sejumlah negosiasi penting untuk mengakhiri penggundulan hutan di Malaysia," kata Celine Lim, manajer organisasi masyarakat adat SAVE Rivers dari Sarawak, yang datang dari Malaysia bagian Kalimantan, untuk hadir.

Hal ini menghalangi kelompok masyarakat yang berada di garis depan penggundulan hutan dan berbagai organisasi yang mendukung mereka untuk memberikan masukan dan membantah klaim pejabat Malaysia dan Indonesia bahwa regulasi Uni Eropa merupakan pemaksaan yang tidak perlu.

Berikut ini adalah tiga poin penting yang ingin kami sampaikan pada pertemuan tersebut, berdasarkan pekerjaan kami dalam menangani penggundulan hutan di Malaysia:

Pertama, perusahaan kayu dan kelapa sawit di Malaysia secara rutin merambah ke wilayah adat. Undang-undang Malaysia untuk melindungi hak-hak masyarakat adat sangat tidak memadai, tetapi dalam praktiknya perlindungan yang minim itu pun sering diabaikan.

Kedua, data kehutanan pemerintah Malaysia tidak dapat diandalkan. Apa pun yang secara hukum ditetapkan pemerintah sebagai hutan alam tetap dihitung sebagai hutan alam seperti yang sudah ditaksir, bahkan jika hutan tersebut telah ditebang, sebagaimana dicatat oleh Adam Farhan selaku direktur kelompok lingkungan hidup Malaysia, RimbaWatch.

Ketiga, meskipun Malaysia bersikeras agar Uni Eropa menggunakan program sertifikasinya sebagai jaminan kepatuhan terhadap UU Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR), ada beberapa masalah yang mencolok. Misalnya, the Malaysian Timber Certification Scheme telah diganggu oleh berbagai keluhan tentang kurangnya transparansi dari para auditor dan tidak adanya sanksi bagi perusahaan yang tidak patuh. 

Agar Undang-Undang (UU) Anti-Deforestasi Uni Eropa dapat dijalankan, Satuan Tugas Uni Eropa ini perlu mendengarkan masukan dari masyarakat garis depan yang paling terkena dampak langsung dari penggundulan hutan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.