Pada hari Rabu di Jenewa, para ahli di Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakhiri dialog mereka dengan para pejabat pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali rekam jejak negara ini dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Ketika Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB terakhir kali bertemu dengan perwakilan Indonesia pada tahun 2014, komite tersebut mendesak pemerintah untuk “meninjau dan mencabut sejumlah ketentuan … yang terbukti diskriminatif terhadap perempuan.” Komite tersebut juga meminta Indonesia agar “mengadopsi kebijakan berbasis hak asasi manusia untuk memajukan hak-hak penyandang disabilitas yang mencakup… kampanye peningkatan kesadaran untuk menghapus stigma, stereotipe dan hambatan budaya lainnya untuk secara penuh berpartisipasi dalam masyarakat.”
Sayangnya, komite ini perlu mengulangi seruan yang sama satu dekade kemudian.
Ada 73 peraturan daerah (perda) wajib jilbab yang berlaku saat ini di Indonesia yang menyebabkan perempuan dan anak perempuan berada dalam tekanan psikologis yang berat untuk mematuhinya. Mereka yang menolak untuk mematuhinya akan menghadapi hukuman dan seringkali dipaksa meninggalkan sekolah atau pekerjaan. Ada pula yang memilih berhenti daripada menanggung tekanan itu.
Pekerja rumah tangga di Indonesia, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak perempuan, tidak diakui sebagai pekerja berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan. Mereka dibiarkan tanpa perlindungan hukum mendasar terhadap tenaga kerja dan menghadapi pelecehan, eksploitasi, dan kekerasan. Hal ini bisa berubah jika Indonesia meratifikasi dan menerapkan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, sebuah perjanjian penting yang diumumkan pada 2019. Komite PBB seyogianya juga meminta Indonesia untuk mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang masih tertahan di DPR RI selama 19 tahun terakhir.
Bagi penyandang disabilitas di Indonesia, layanan kesehatan jiwa, dukungan, dan hidup mandiri berbasis komunitas masih sangat kurang. Sementara, ribuan orang dengan kondisi kesehatan mental, termasuk anak-anak, dipasung di luar kehendak mereka oleh keluarga di rumah mereka atau di institusi yang penuh sesak dan tidak sehat. Pemerintah telah melakukan upaya serius untuk mengakhiri praktik ini, namun masih banyak yang harus dilakukan.
Pekan lalu, jutaan rakyat Indonesia memberikan suara mereka untuk memilih presiden baru, yang akan mulai menjabat pada Oktober mendatang. Pemerintahan mendatang seharusnya memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi komite PBB kali ini dipertimbangkan dan ditindaklanjuti dengan cermat.