Skip to main content

Filipina: Marcos Gagal dalam Penegakan Hak Asasi Manusia

Setahun Berlalu, Diperlukan Langkah Koreksi

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. Saat untuk kali pertama menyampaikan pidato kenegaraan di Quezon City, Filipina, 25 Juli 2022. © 2022 Aaron Favila/AP Photo

(New York) – Presiden Ferdinand Marcos Jr. yang akan menandai tahun pertamanya menjabat pada 30 Juni 2023, tidak berbuat banyak untuk meningkatkan perlindungan bagi hak asasi manusia di Filipina, kata Human Rights Watch hari ini. Marcos mengambil alih kekuasaan dari Rodrigo Duterte, yang pemerintahannya meninggalkan warisan berupa sejumlah serangan terhadap aktivis sayap kiri, lingkungan dan masyarakat adat, pemberangusan terhadap media, dan ribuan pembunuhan di luar proses hukum terkait dengan “perang melawan narkoba” yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Marcos tidak berbuat banyak untuk mengatasi masalah-masalah hak asasi manusia yang tertunda. Pihak kepolisian dan agen-agen mereka melanjutkan pembunuhan dalam rangka “perang melawan narkoba”, meski pada tingkat yang lebih rendah kalau dibandingkan dengan selama Duterte memerintah. Pihak berwenang tetap bertanggung jawab atas pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, dan penangkapan sewenang-wenang terhadap para aktivis dan pengkritik yang blak-blakan. Dan penuntutan tak berdasar terhadap mantan Senator Leila de Lima, yang masih ditahan, dan jurnalis Maria Ressa terus berlanjut.

“Presiden Marcos perlu melakukan lebih dari sekadar mengeluarkan pernyataan tentang demokrasi dan supremasi hukum untuk menunjukkan komitmennya yang tulus terhadap hak asasi manusia,” kata Bryony Lau, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. “Tanpa tindakan nyata untuk menghentikan berbagai pola pelanggaran lama dan menjamin pertanggungjawaban atas kejahatan masa lalu, kata-katanya nyaris tak bisa dipercaya.”

Marcos sudah berusaha meredakan kekhawatiran pemerintah sejumlah negara, dengan menyatakan bahwa Filipina berada dalam kondisi yang baik di bawah kepemimpinannya. Dalam perjalanan ke luar negeri dan pertemuan dengan sejumlah duta besar, dia telah berjanji untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia, sesuatu yang menuai pujian dari para diplomat di Manila dan pejabat di luar negeri.

Tetapi hanya sedikit pencapaian hak asasi manusia yang terlihat, kata Human Rights Watch. Pusat Studi Dunia Ketiga di University of the Philippines melaporkan pada 26 Juni, bahwa telah terjadi 336 pembunuhan “terkait narkoba” sejak Marcos menjadi presiden, sebagian besar terjadi dalam operasi penegakan hukum anti-narkoba. Dari ribuan kasus pembunuhan perang melawan narkoba sejak 2016, hanya tiga kasus yang berujung pada penghukuman terhadap petugas kepolisian.

Marcos belum membatalkan perintah dan pernyataan kebijakan lainnya yang mendukung “perang melawan narkoba” Duterte. Dia seharusnya secara resmi mengumumkan penghentian “perang melawan narkoba”, memerintahkan penyelidikan terhadap para pejabat yang terlibat dalam pembunuhan ilegal, dan memenuhi janjinya untuk menggunakan metode tanpa kekerasan untuk menangani obat-obatan terlarang. Instansi-instansi pemerintah seharusnya memberikan dukungan memadai dan konsisten kepada keluarga korban “perang melawan narkoba”, terutama anak-anak.

Baik pasukan keamanan pemerintah maupun Tentara Rakyat Baru yang berhaluan komunis telah bertanggung jawab atas pelanggaran serius selama konflik bersenjata puluhan tahun. Pemerintahan Marcos telah meningkatkan "penandaan merah "atau “red-tagging” yang terkadang fatal dan membahayakan para aktivis yang dianggap mendukung kelompok pemberontak. Sejumlah pejabat – termasuk wakil presiden Marcos, Sara Duterte, yang juga menjabat sebagai menteri pendidikan – telah memberi tanda merah para jurnalis, pengguna media sosial, dan guru. Marcos seharusnya menghentikan penandaan ini dan pelecehan lainnya, dan memerintahkan pihak berwenang untuk menemukan sejumlah aktivis yang dilaporkan hilang.

Pihak berwenang masih secara sewenang-wenang menangkap dan menahan para aktivis dan pengkritik pemerintah, dan terkadang melakukan penghilangan paksa. Para korban dan saksi membuat tuduhan tepercaya tentang penyiksaan, penganiayaan, dan kekerasan seksual. Kepolisian Nasional Filipina, yang punya sejarah panjang pelecehan dan korupsi, bertanggung jawab atas banyak pelanggaran ini.

Pemerintahan Marcos tidak mengambil tindakan apapun untuk mengakhiri penuntutan bermotif politik atau bahkan merekomendasikan jaminan bagi mantan senator de Lima, yang ditangkap pada tahun 2017 sebagai pembalasan atas liputan investigasinya terhadap “perang melawan narkoba” Duterte. Penuntut mengajukan tuduhan narkoba palsu dan mengutip beberapa saksi yang kemudian menarik kembali kesaksian mereka, yang menyebabkan dia dibebaskan dalam dua dari tiga kasus.

Kebebasan media di Filipina dilemahkan oleh kekerasan terhadap jurnalis. Empat jurnalis dibunuh selama setahun terakhir, sehingga jumlah jurnalis yang tewas dibunuh menjadi 179 jurnalis sejak pemerintahan demokratis dipulihkan pada tahun 1986. Pemerintah tidak melakukan intervensi dalam kasus pidana yang masih meragukan terhadap peraih Hadiah Nobel Perdamaian Maria Ressa dan timnya di situs berita Rappler. Seorang jurnalis, Frenchie Mae Cumpio, tetap berada di balik jeruji menghadapi tuntutan pidana, tampaknya untuk menghukum dia karena melaporkan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di Filipina tengah.

Filipina sedang berusaha untuk mengamankan pembaruan manfaat perdagangan GSP+ Uni Eropa, yang bergantung pada kepatuhan pemerintah terhadap hak asasi manusia, hak-hak tenaga kerja, dan standar lingkungan internasional. Program ini akan selesai pada akhir 2023, dan Filipina harus kembali mengajukan permohonan agar bisa tetap mendapatkan manfaat dari program tersebut. Parlemen Eropa telah mendesak penarikan manfaat GSP+ karena kurangnya kemajuan dalam catatan hak asasi manusia Filipina. Kekhawatiran serupa telah diungkapkan oleh para pejabat Uni Eropa, termasuk yang terbaru oleh perwakilan khusus Uni Eropa untuk hak asasi manusia.

Pemerintah Amerika Serikat, sebagai mitra dagang utama dan sekutu militer utama Filipina, juga seharusnya secara lebih eksplisit mengaitkan pertumbuhan hubungan ekonomi dan keamanan di masa depan dengan kemajuan nyata dalam hak asasi manusia.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB seharusnya terus menekan pemerintah Filipina untuk melaksanakan rekomendasi laporan Kantor Hak Asasi Manusia PBB tahun 2020 dan 2022, dan mengembalikan situasi tersebut ke dalam agendanya saat bertemu pada September mendatang.

Marcos seharusnya memerintahkan Lembaga-lembaga pemerintah untuk bekerja sama dengan kemungkinan penyelidikan yang dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Meski pemerintahan Duterte menarik diri dari perjanjian pendirian mahkamah, Statuta Roma, pada tahun 2019, ICC tetap memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan sebelum penarikan tersebut. Pemerintahan Marcos seharusnya kembali bergabung dengan Statuta Roma.

“Marcos perlu menunjukkan terobosan dari masa lalu dan menunjukkan kemajuan hak asasi manusia yang nyata dan terukur,” kata Bryony Lau. “Mitra-mitra internasional Filipina seharusnya berhenti menerima informasi yang tidak jelas dari Marcos dan menuntut perubahan nyata.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country