(Jakarta) - Kepolisian Indonesia, dalam hal ini Polda provinsi Kalimantan Selatan, seharusnya membatalkan tuduhan pencemaran terhadap seorang blogger terkait artikel-artikel yang berisi wawancaranya dengan para pemimpin adat Dayak tentang sengketa lahan dengan perkebunan kelapa sawit, kata Human Rights Watch hari ini. Pihak berwenang harus segera membebaskan blogger, Diananta Putra Sumedi, yang telah ditahan sejak 4 Mei 2020.
Hukuman pidana untuk dugaan pencemaran adalah hukuman yang tidak proporsional, berpotensi menghambat kebebasan media, dan sering disalahgunakan oleh polisi. Mereka yang dirugikan oleh publikasi seharusnya mencari ganti rugi melalui hukum perdata.
”Mengancam seorang penulis dengan pidana penjara karena pencemaran memiliki efek mengerikan pada kebebasan berbicara untuk semua jurnalis,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch. “Pencemaran dalam hukum perdata adalah tanggapan yang lebih proporsional untuk dugaan ujaran yang bersifat memfitnah.”
Human Rights Watch pada tahun 2010 menerbitkan analisis tentang dampak negatif undang-undang pidana pencemaran di Indonesia termasuk hukum terkait teknologi informasi dan mendesak pencabutan hukum-hukum itu. Undang-undang tersebut mengandung bahasa yang sangat tidak jelas dan memungkinkan pembalasan terhadap jurnalis dan orang lain yang telah melakukan tuduhan korupsi, penipuan, atau pelanggaran terhadap kepentingan yang berkuasa atau pejabat pemerintah.
Pada November 2019, Sumedi menulis di blognya, Banjar Hits, tentang PT Jhonlin Agro Raya, sebuah perusahaan kelapa sawit dan anak perusahaan dari Jhonlin Group yang berbasis di Tanah Bumbu. Perusahaan tersebut bersengketa dengan penduduk desa Dayak, termasuk Sukirman, dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan. Sukirman dalam kutipan wawancara mengaku berencana untuk mengajukan gugatan atas dugaan bahwa perusahaan telah secara ilegal mengambil alih tanah di tiga desa Dayak.
Jhonlin Group menepis tuduhan tersebut, dan, sesuai dengan hukum Indonesia, mengajukan pengaduan ke Dewan Pers pada 11 November. Pengaduan tersebut diajukan terhadap Sumedi, blognya Banjar Hits, dan Kumparan, sebuah "perusahaan kolaborasi media" di Jakarta yang mensponsori dan menyediakan platform.
Sukirman mengajukan laporan bantahan atas kutipan yang dikaitkan padanya. Banjar Hits dan Kumparan telah menerbitkan surat sangkalan dari Sukirman itu. Jhonlin Grup juga mengajukan laporan ke polisi. Sumedi tidak merekam wawancara dengan Sukirman.
Pada 5 Februari, Dewan Pers mengeluarkan pernyataan yang mengkritik Sumedi karena menerbitkan liputan yang tidak terverifikasi. Dewan Pers memerintahkan Kumparan untuk memberikan Jhonlin Grup hak jawab, dengan mengatakan bahwa artikel-artikel itu tidak etis dan tidak peka atas perbedaan ras yang bisa menciptakan ketegangan antara orang Dayak dan Bugis, kelompok etnis pendiri Jhonlin Group di Kalimantan Selatan. Menanggapi rekomendasi Dewan Pers itu, Kumparan pada tanggal 11 Februari menurunkan artikel-artikel tersebut dari internet, meminta maaf kepada Jhonlin Group , dan kemudian mengakhiri kolaborasinya dengan Banjar Hits.
Tiga bulan kemudian, pada 4 Mei, Polda Kalimantan Selatan menangkap dan menahan Sumedi, dengan tuduhan melakukan pencemaran secara daring, yang memungkinkan penahanan praperadilan dan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Seorang juru bicara kepolisian mengatakan bahwa penangkapan dan penahanan atas Sumedi diperlukan karena bisa jadi ia akan terus menulis cerita tentang kasus ini.
Sebuah Nota Kesepahaman pada 2017 antara Polri dan Dewan Pers memungkinkan seorang pemohon untuk meminta polisi meneruskan kasus pencemaran secara pidana jika pemohon tidak puas dengan hasil dari mediasi Dewan Pers. Sebagian besar kasus pencemaran terhadap jurnalis berakhir di Dewan Pers, dan tidak menjadi dasar untuk kasus pidana.
Tidak jelas apakah Jhonlin Group tidak puas dengan pernyataan Dewan Pers. Kumparan melaporkan bahwa Jhonlin Group tidak menggunakan hak jawab mereka. Human Rights Watch menghubungi Jhonlin Grup dan pendirinya melalui email dan telepon, tetapi tidak mendapat tanggapan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia telah mempertanyakan penahanan Sumedi, meminta Polda Kalimantan Selatan agar membatalkan kasus ini karena dia sudah mendapat sanksi.
Pada 2018, perusahaan Jhonlin Group yang lain mengajukan gugatan kasus pencemaran terhadap jurnalis lain, Muhammad Yusuf, yang ditangkap dan meninggal lima minggu kemudian dalam tahanan polisi Kalimantan Selatan.
Sengketa lahan yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit sering terjadi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendokumentasikan lebih dari 650 konflik terkait tanah dan memengaruhi lebih dari 650.000 rumah tangga pada 2017. Jurnalis dan pembela hak-hak adat yang menangani perselisihan tanah telah ditangkap berdasarkan berbagai undang-undang termasuk pidana pencemaran.
Pada bulan Desember 2019, kantor imigrasi menahan seorang editor asal Amerika Serikat, Phil Jacobson dari situs berita lingkungan Mongabay, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, setelah dia menghadiri rapat dengar pendapat antara DPRD dan kelompok advokasi hak-hak masyarakat adat. Kantor imigrasi menuduhnya melanggar hukum imigrasi Indonesia, dengan memasuki negara itu tanpa visa jurnalis. Dia dideportasi pada 31 Januari.
Pada 26 April, Hermanus, seorang petani Dayak, meninggal di sebuah rumah sakit di Sampit Kalimantan Tengah, ketika ia menghadapi tuduhan pencurian terkait upayanya untuk mempertahankan tanah penduduk Dayak dari perkebunan kelapa sawit.
“Kepolisian Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang dirugikan seharusnya berhenti menggunakan tuduhan pencemaran untuk mengintimidasi, menahan, atau menuntut para jurnalis dan orang lain yang menggunakan hak atas kebebasan berbicara,” kata Harsono. “Dengan masuknya kasus dugaan pencemaran terlebih dahulu ke hadapan Dewan Pers, Indonesia menyediakan sarana untuk dengan cepat mengatasi dan memperbaiki ketidakakuratan di media.”