(Bangkok) – Pihak berwenang Burma menyiksa dan menahan para pengungsi Rohingya yang telah kembali ke Negara Bagian Rakhine dari Bangladesh, menurut Human Rights Watch hari ini. Perlakuan buruk ini kembali menekankan perlunya mekanisme pelindungan internasional, termasuk pemantauan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di lapangan, sebelum warga Rohingya bisa kembali ke Burma dengan selamat.
“Penyiksaan terhadap para pengungsi Rohingya yang telah pulang ini membuktikan gagalnya pemerintah Burma dalam menepati janji mereka bahwa pengungsi yang kembali akan aman dan dilindungi,” ujar Phil Robertson, deputi direktur Asia. “Meski pemerintah Burma menggunakan retorika yang menjamin para pengungsi akan kembali dengan selamat dan bermartabat, namun pada kenyataannya orang-orang Rohingya yang pulang masih menghadapi persekusi dan penindasan yang menjadi alasan mereka terpaksa mengungsi sebelumnya.”
Enam warga Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh pada 2017 lalu demi melarikan diri dari kampanye pembersihan etnis oleh tentara Burma memberi tahu Human Rights Watch bahwa Polisi Penjaga Perbatasan (BGP) menangkap mereka secara terpisah saat mereka pulang ke Negara Bagian Rakhine untuk mengumpulkan uang sebelum mereka kembali ke Bangladesh. Mereka mengaku disiksa oleh aparat keamanan saat berada dalam tahanan praperadilan. Keenam pengungsi Rohingya ini lalu diadili dan dihukum penjara hingga empat tahun atas dakwaan menyeberangi perbatasan secara ilegal.
Sekitar sebulan kemudian, pemerintah lalu mengampuni keenam pengungsi tersebut beserta puluhan lainnya. Pada 1 Juni 2018, aparat membawa mereka ke hadapan para wartawan yang berkunjung sebagai upaya untuk membuktikan bahwa pemerintah telah memperlakukan warga Rohingya dengan baik dan bahwa kondisi sudah aman bagi pengungsi untuk kembali. Setelah dikunjungi wartawan, keenam pengungsi itu kembali melarikan diri ke Bangladesh.
Human Rights Watch mewawancarai tiga pria dan tiga anak laki-laki Rohingya, yang berusia paling muda 16 tahun. Mereka sebelumnya dijebloskan ke tahanan pada waktu dan di lokasi berbeda-beda di kota Maungdauw. Kata mereka, petugas BGP berulang kali menginterogasi mereka di bawah todongan senjata dan menanyakan tentang kelompok militan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA). Para petugas memaksa mereka dalam keadaan stres; memukuli dengan tangan, tongkat, dan batang besi; serta membakar juga menyiksa dengan setrum untuk memaksa para pengungsi agar mengaku berafiliasi dengan ARSA. Mereka juga mengaku bahwa selama ditahan, mereka tak diberi air bersih dan makanan yang layak.
Keenam pengungsi menyatakan bahwa mereka kemudian dipindahkan ke rumah tahanan praperadilan di kota Maungdaw. Para petugas intelijen militer berpakaian sipil memukuli mereka dengan tongkat dan meninju serta menendang mereka selama interogasi. Keenamnya menggambarkan kondisi penahanan yang buruk, tanpa akses pendampingan oleh pengacara, dan prosesi sidang yang digelar dalam bahasa Burma, bahasa yang hampir tidak mereka pahami. Setelah pengadilan menjatuhkan hukuman penjara empat tahun pada mereka secara berkelompok, aparat memindahkan mereka ke penjara Buthidaung di kota Maungdaw, bersama dengan ratusan lainnya yang sebagian besar merupakan tahanan Rohingya.
Pada 23 Mei, pejabat pemerintah kota Maungdaw mengumumkan kepada puluhan tahanan Rohingya bahwa Presiden Win Myint telah mengampuni mereka, dan bahwa mereka akan diberi Kartu Verifikasi Nasional (NVC) lalu dibebaskan. NVC merupakan dokumen penanda identitas yang banyak ditentang oleh komunitas Rohingya karena dianggap tak menghiraukan klaim Rohingya sebagai warga negara Burma. Pada 27 Mei, Kantor Penasihat Negara yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi mengeluarkan pernyataan yang mengonfirmasi keputusan presiden untuk mengampuni 58 pengungsi Rohingya yang telah kembali. Menyusul pengumuman ini, empat warga Rohingya lainnya yang kasusnya telah dihentikan juga dimasukkan ke dalam kelompok pengungsi yang telah diberi amnesti.
Aparat membawa 62 tahanan Rohingya ini ke sebuah lokasi milik BGP yang terletak di jalur pedesaan Nga Khu Ya. Di sana, petugas memaksa mereka menerima kartu NVC dan mengancam untuk menangkap mereka kembali apabila mereka mencoba meninggalkan lokasi. Kelompok ini kemudian dipindahkan ke kamp transit Hla Poe Kaung, di mana pada 1 Juni aparat mengundang media dalam sebuah kunjungan terencana untuk menemui ke-62 tahanan Rohingya yang telah selesai diproses. Win Myat Aye, menteri kesejahteraan, bantuan, dan relokasi sosial, memberi tahu para pengungsi ini bahwa mereka akan diberikan bantuan uang dan kemanusiaan untuk membangun kembali rumah mereka, dan mereka juga bisa membawa keluarga mereka pulang dari Bangladesh.
Kepada Human Rights Watch, keenam pengungsi itu mengaku diberi tahu apa yang harus mereka katakan kepada media. Seorang anak laki-laki berusia remaja menceritakan bahwa petugas BGP menginterupsi dan akhirnya menunda proses wawancara ketika ia tak mengindahkan instruksi petugas. Saat delegasi media pergi, BGP lalu menempatkan para pengungsi Rohingya di bawah pengawasan dan memberi tahu bahwa mereka tak diizinkan untuk meninggalkan Hla Poe Kaung. Karena takut akan kembali ditangkap dan disiksa, dua kelompok, termasuk mereka yang diwawancarai oleh Human Rights Watch, akhirnya melarikan diri dan kembali ke Bangladesh.
Human Rights Watch berulang kali menelepon direktur jenderal Kantor Penasihat Negara, Zaw Htay, yang juga bertindak sebagai juru bicara pemerintah, tetapi kami diberi tahu bahwa ia tak dapat berkomentar.
“Perlakuan terhadap para pengungsi Rohingya ini semestinya menjadi tanda peringatan bagi mereka yang masih meyakini bahwa pemerintah Burma siap menjamin para pengungsi untuk kembali dengan selamat,” ujar Robertson. “Perjalanan masih panjang bagi Burma untuk membuktikan bahwa pemerintah benar-benar serius dalam melakukan reformasi yang diperlukan agar pengungsi Rohingya bisa kembali secara sukarela, aman dan terhormat.”
Pelecehan Terhadap Enam Pengungsi Rohingya yang Kembali
Enam bekas pengungsi Rohingya yang diwawancarai oleh Human Rights sebelumnya melarikan diri dari kampanye pembersihan etnis oleh pasukan keamanan, termasuk dari pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran massal pada akhir 2017. Lebih dari 720.000 pengungsi Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh. Human Rights Watch menemukan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Kampanye ini menyusul rangkaian serangan mematikan dan terencana terhadap pos-pos pasukan keamanan pada 25 Agustus di wilayah utara Negara Bagian Rakhine yang dilancarkan oleh para militan dari Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA).
Insiden-insiden berikut ini terjadi pada Maret dan Mei 2018. Kami menggunakan nama samaran untuk melindungi keamanan mereka yang bersedia diwawancara berseta keluarga mereka yang masih berada di Burma.
Penyiksaan dan Perlakuan Buruk oleh Aparat Keamanan
“Rahamat,” 17 tahun, menceritakan bagaimana ia berulang kali disiksa, termasuk bagian tubuhnya dibakar, selama berada dalam tahanan Polisi Garda Perbatasan:
Mereka membakar kantong plastik dan meneteskan lelehan panasnya ke badan saya. Mereka juga menggunakan batang besi panas dan menaruhnya di kaki saya, menyundut saya dengan api rokok, meneteskan lilin panas ke kulit saya, menggores badan saya dengan pisau, dan memukuli saya dengan batang dan tongkat.
“Ahmed,” 17, mengatakan bahwa ia digantung dengan posisi kepala di bawah dan berulang kali dipukuli oleh para petugas interogasi yang memaksanya mengaku sebagai anggota ARSA.
“Lokman,” 24 tahun, mengatakan:
Pada awalnya, mereka menendang dada dan paha saya, kemudian mereka menggunakan setrum untuk memaksa saya mengaku sebagai anggota ARSA, tetapi mereka tidak berhasil membuat saya memberikan kesaksian palsu.
Human Rights Watch menyaksikan sendiri luka-luka dan luka bakar itu konsisten dengan perlakuan terhadap orang-orang yang diwawancarai ini.
Makanan, Air Bersih, dan Sanitasi yang Tidak Layak
Para tahanan mengatakan bahwa selama mereka ditahan, mereka mengalami kondisi buruk, termasuk kekurangan makanan dan akses air bersih.
Di sebuah tempat penahanan milik BGP di Nga Khu Ya, di mana tiga mantan pengungsi Rohingya menghabiskan empat hari dalam tahanan, mereka masing-masing diberi dua porsi sambal ikan (ngapi) per harinya, beserta sekitar 250 mililiter air kotor. Di tahanan praperadilan di kota Maungdaw, petugas tak menyediakanan makanan maupun air bersih, sehingga mereka bergantung dari donasi warga Rohingya yang tinggal di sekitar lokasi yang terkadang harus menyuap petugas kepolisian agar mereka bisa memberikan donasi. Tiga orang yang diwawancara menghabiskan lebih dari dua minggu dalam kondisi tersebut.
Mereka yang ditahan juga menggambarkan minimnya akses makanan di penjara Buthidaung setelah mereka dijatuhi hukuman. Lokman mengatakan:
Di penjara Buthidaung, makanan yang disajikan mirip dengan makanan anjing. Pukul 10.30 pagi, kami diberi nasi dan kacang lentil, tapi bisa dikatakan kacang lentilnya itu terasa seperti air rebus, dan kami bahkan tidak tahu ada lentil di dalamnya. Sekitar pukul 5 sore, kami diberi makan malam berupa nasi dan bayam rebus.
Lokman juga menjelaskan bahwa para tahanan Rohingya memiliki akses air yang minim karena sengaja dibatasi baik oleh petugas penjara maupun dari sesama tahanan di penjara Buthidaung yang berasal dari kelompok etnis lainnya:
Di bangunan tempat saya ditahan, ada 500 tahanan lain. Setiap hari, 90 liter air disediakan untuk keperluan minum. Masalahnya, ada 35 tahanan beragama Buddha, beberapa di antara mereka beragama Buddha Rakhine. Mereka begitu agresif sehingga setiap harinya, mereka merebut 90 liter air yang disedakan. Akibatnya, kebanyakan orang-orang Rohingya terpaksa menggunakan air mandi untuk minum. Jarang sekali kami bisa meminum sebagian dari 90 liter air yang disediakan untuk minum itu.
Fasilitas toilet juga tak memadai. “Kami harus buang air besar di ember karena tidak ada toilet di dalam markas BGP,” ujar Lokman. “Kami juga tak pernah diberi air untuk membersihkan diri.”
Penahanan Sewenang-wenang dan Proses Persidangan yang Tidak Adil
Pada akhir Maret, aparat membawa para tahanan Rohingya ke hadapan pengadilan di kota Maungdaw, di mana mereka secara sewenang-wenang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Meski pemerintah tidak membeberkan secara terbuka dakwaan yang dituduhkan kepada para tahanan, seorang petugas kepolisian yang bisa berbahasa Rohingya dalam sebuah proses persidangan menyimpulkan putusan hakim dengan mengatakan bahwa mereka didakwa telah menyeberang perbatasan secara ilegal. Tak satupun dari keenam pria dan anak-anak lelaki yang didampingi pengacara selama proses persidangan atau dalam interogasi-interogasi sebelumnya.
“Amir,” 33 tahun, menggambarkan tiadanya hak atas persidangan yang adil, termasuk prosesi sidang yang tidak diterjemahkan ke bahasa yang dapat ia pahami:
Hakim yang menjatuhi kami hukuman empat tahun penjara adalah seorang laki-laki beragama Buddha. Seorang petugas kepolisian yang paham bahasa Rohingya membantu menerjemahkan putusan pengadilan, yang menyatakan bahwa kami mengaku masuk ke Myanmar dengan menyeberang perbatasan secara ilegal, dan bahwa kami akan dihukum lima tahun penjara. Namun pada akhirnya, kami hanya diberi empat tahun, dan hakim mengurangi hukumannya setahun.
Setelah pengungsi Rohingya yang ditahan tersebut dijatuhi hukuman, aparat lalu memindahkan para tahanan secara berkelompok ke penjara Buthidaung, tempat mereka ditahan selama sebulan sebelum menerima grasi dari presiden.