Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jim Mattis terlihat tertawa dan tersenyum pekan ini saat menyaksikan latihan militer di Jakarta, di mana seorang serdadu Indonesia meminum darah ular, berguling-guling di atas pecahan kaca, memecahkan batu bata dengan kepala mereka, dan berjalan di atas api. Akan tetapi, tontonan itu tidak akan lucu bagi siapa pun yang akrab dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan militer Indonesia, terutama catatan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Kunjungan Mattis adalah bagian dari upaya Amerika Serikat untuk meningkatkan kerja sama militer dengan Indonesia. Selama kunjungan ini ia berdiskusi dengan Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu, dan berencana untuk melanjutkan bantuan Amerika Serikat bagi Kopassus. Bantuan untuk unit itu sebagian besar telah dihentikan karena "Leahy Law" Amerika Serikat, yang melarang negara itu memberikan bantuan dan pelatihan bagi unit militer asing yang diketahui telah melakukan pelanggaran HAM berat, kecuali pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk memulihkan, menangani pelanggaran, dan menuntut pertanggungjawaban mereka yang terlibat.
Militer Amerika Serikat pertama kali mengumumkan rencana untuk kembali terlibat dengan Kopassus pada 2010, berharap bisa melatih tentara yang lebih baru "tanpa noda", tetapi pada tahun-tahun berikutnya tetap enggan untuk melanjutkannya, salah satunya karena Indonesia kebanyakan gagal mengatasi pelanggaran masa lalunya.
Ada serangkaian pelanggaran yang harus diselesaikan. Pemerintah Amerika Serikat pertama kali memberlakukan pembatasan bantuan militer kepada militer Indonesia dan Kopassus pada tahun 1999, setelah militer melakukan pelanggaran HAM besar-besaran selama kampanye bumi hangus di Timor Leste. Sejumlah anggota Kopassus juga terlibat dalam penculikan dan penghilangan paksa aktivis mahasiswa pada 1997-1998, dan pembunuhan aktivis dan pemimpin Papua Theys Eluay pada 2001.
Tapi sejak itu, beberapa insiden lain juga telah terjadi. Pada 2003, Human Rights Watch mendokumentasikan bagaimana sejumlah anggota Kopassus menggunakan penyiksaan selama operasi militer di Aceh. Dalam laporan tahun 2009, Human Rights Watch mendokumentasikan anggota Kopassus yang terlibat dalam penahanan sewenang-wenang dan penganiayaan terhadap warga sipil di Merauke, Papua, yang dicurigai terlibat dalam gerakan Papua medeka. Baru-baru ini, Kopassus juga terlibat dalam kegiatan mata-mata yang melawan hukum terhadap warga sipil Papua.
Dalam sebuah wawancara dengan beberapa wartawan di Jakarta, Mattis menyatakan bahwa Kopassus telah melakukan reformasi dan mencopot personel yang kejam dari jajarannya. Namun itu bukan tes hukum yang tepat untuk menentukan apakah bantuan Amerika bisa dilanjutkan atau tidak. Seperti yang dikatakan oleh Senator Patrick Leahy pada 23 Januari, “Pertanyaan yang perlu dijawab oleh Menteri Mattis adalah apakah pemerintah Indonesia telah menghukum para perwira Kopassus yang memerintahkan dan menutupi kejahatan-kejahatan mengerikan itu, dan apakah anggota Kopassus saat ini bertanggung jawab terhadap supremasi hukum.”
Jawaban atas kedua pertanyaan itu adalah tidak.
Yang pasti, ada beberapa penuntutan yang telah diajukan pemerintah. Sebuah pengadilan militer menyatakan 11 prajurit Kopassus bersalah dalam kasus penculikan aktivis mahasiswa pada 1998. Namun, para prajurit itu tak pernah dipenjara, dan setelah naik banding hampir semuanya diizinkan kembali aktif di militer. Para komandan mereka bahkan tak pernah diadili.
Demikian juga, pada tahun 2003, sebuah pengadilan militer di Surabaya menyatakan tujuh prajurit Kopassus bersalah atas kematian Theys Eluay. Namun mereka hanya dijatuhi hukuman dua hingga tiga setengah tahun penjara, dan kelompok-kelompok hak asasi manusia bahkan tak dapat memastikan apakah mereka menjalani hukuman. (Pada saat persidangan mereka, Ryacudu, yang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), memuji para prajurit yang dihukum sebagai “pahlawan Indonesia” karena membunuh “pemberontak.”). Khususnya, komandan pasukan, Letnan Kolonel Tri Hartomo, yang kemudian dipromosikan, sekarang berpangkat letnan jenderal, dan mengepalai Badan Intelijen Strategis (Kabais).
Banyak perwira Kopassus lain yang terlibat dalam sejumlah pelanggaran di Timor Leste, Aceh, dan Papua, tidak pernah diseret ke pengadilan. Salah satu komandan, Prabowo Subianto, yang diduga telah memimpin pembantaian Kraras tahun 1983 di Timor Leste yang menewaskan dari 300 orang, mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu terakhir Indonesia dan sekarang menjadi pemimpin partai politik oposisi utama. Perwira lain, Muchdi Purwopranjono, pada 2004 diadili atas tuduhan punya kaitan dengan kasus peracunan dan pembunuhan Munir bin Thalib, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka, tetapi dibebaskan.
Yang pasti, ada perbaikan menyeluruh dalam catatan Kopassus itu, dengan beberapa tuduhan pelanggaran saat ini - meskipun itu terjadi terutama karena sedang tidak ada operasi kontra pemberontakan signifikan di Indonesia seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan pada 2013, pengadilan militer menuntut 11 prajurit Kopassus karena membobol penjara, lantas membunuh empat warga sipil yang dituduh terlibat dalam perkelahian di bar yang mematikan dengan anggota Kopassus lainnya.
Tapi impunitas alias pembebasan dari hukuman atas berbagai pelanggaran masa lalu masih ada, dan hanya ada sedikit perbaikan terhadap catatan Kopassus. Fakta bahwa personil yang kejam telah pensiun atau dipindahkan dari Kopassus tidak dapat dilihat sebagai kemajuan, dan tentu saja tidak sepantasnya disalahartikan sebagai keadilan.
Hanya ketika pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menghukum pelanggaran masa lalu dan menciptakan budaya bertanggungjawab, pemerintah Amerika Serikat bisa mengizinkan bantuan militernya untuk dilanjutkan. Saat ini, memulihkan bantuan kepada Kopassus tak ubahnya seperti menghadiahi Indonesia karena tidak melakukan apa-apa.