Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjara bagi Basuki “Ahok” Purnama atas penodaan agama Islam. Hal ini mengirimkan pesan mengerikan bagi warga non-Muslim Indonesia. Bagaimana kebebasan beragama perlahan mengalami kemunduran di Indonesia? Dan bagaimana politik Islam membentuk negeri ini?
Ahok, seorang Kristiani, merupakan tokoh politik terbesar yang menjadi korban Pasal Penodaan Agama. Ia bukan hanya Gubernur Jakarta, yang didukung oleh partai politik terbesar di Indonesia, tapi juga merupakan sekutu Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Pada masanya, Ahok dan Jokowi adalah tim unggulan: Jokowi yang menetapkan visi, sedangkan Ahok yang mengelola urusan harian.
Hukuman penjara terhadap Ahok adalah pukulan besar bagi sang presiden. Jokowi mungkin juga sudah mengantisipasi untuk disebut “kafir”—digunakan oleh kalangan Islamis untuk menggambarkan musuh Muslim mereka.
Transisi Indonesia dari kediktatoran menuju demokrasi telah menciptakan ruang bagi lebih banyak kebebasan berekspresi bagi seluruh warga Indonesia, termasuk para Islamis. Berkat nihilnya tindakan pemerintah terhadap diskriminasi dan kekerasan melawan umat beragama minoritas, selama lebih dari 19 tahun belakangan para Islamis berupaya keras untuk menegakkan peraturan seperti Pasal Penodaan Agama secara lebih ketat untuk “melindungi” Islam dan mengubah Indonesia dari negara sekular menjadi negara Islami.
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan beragama. Namun pada Januari 1965, Presiden Sukarno mengusulkan surat keputusan presiden yang melarang individu untuk berseteru melawan umat beragama lainnya. Keputusan presiden tersebut berisi bahwa Indonesia melindungi enam agama: Islam, Protestanisme, Katolik, Budha, Hindu, dan Kong Hu Chu. Sukarno tidak pernah menggunakan pasa tersebutl. Dia kehilangan kekuasaan pada Oktober 1965.
Jenderal Suharto, yang berkuasa di Indonesia sejak 1965 hingga 1998, menggunakan Pasal Penodaan Agama hanya beberapa kali. Tiga penerusnya—B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri—tidak pernah menggunakannya.
Pasal tersebut kemudian menjadi persoalan saat Susilo Bambang Yudhoyono menggantikan Megawati pada 2004. SBY memperkuat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), yang berada di bawah Kejaksaan Agung, dengan mendirikan cabang pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. SBY juga tidak mengambil tindakan apapun terhadap munculnya kelompok-kelompok Islam militan yang melakukan ancaman dan kekerasan terhadap umat beragama minoritas. Selama satu dekade kepemimpinannya, setidaknya ada 106 kasus penodaan agama yang dibawa ke pengadilan—seluruhnya didakwa bersalah.
Pada Maret 2006, SBY mengeluarkan undang-undang “kerukunan umat beragama” dan membangun badan penasihat pemerintah, diberi nama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Kredo forum tersebut berbunyi, “Mayoritas sebaiknya melindungi minoritas, dan minoritas sebaiknya menghormati mayoritas.” Namun pada dasarnya hal tersebut menyangkal hak setara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada area dengan mayoritas penduduk Muslim, kredo tersebut dijadikan tameng untuk memveto kegiatan umat beragama minoritas. Lebih dari 1,000 gereja ditutup pada dekade tersebut.
Pada 2014, Jokowi menggantikan kedudukan Yudhoyono. Banyak ahli dan pemimpin Muslim moderat menyarankan Jokowi untuk menghapuskan infrastruktur diskriminatif yang ia warisi dari Yudhoyono.
Sayangnya, Jokowi menolak mengambil langkah tersebut. Alih-alih, dia berusaha mempererat hubungan dengan kelompok-kelompok Muslim moderat seperti Nahdlatul Ulama dengan harapan dapat memperkuat posisinya di hadapan kelompok-kelompok Islam garis keras. Terang saja, Jokowi salah perhitungan.
Putusan terhadap Ahok telah mendukung narasi Islamis mengenai penodaan agama. Salah satu dari lima hakim, menyitir surat Al-Maidah ayat 51 dalam Bahasa Arab, menekankan bahwa umat Muslim tidak seharusnya memilih pemimpin non-Muslim. Pengadilan juga mengadopsi posisi Islamis bahwa orang non-Muslim seharusnya tidak mengomentari interpretasi Al-Quran.
Putusan hakim menggambarkan masa depan mengerikan bagi warga Muslim moderat juga kalangan non-Muslim yang percaya pada masyarakat Indonesia yang pluralis. Warga non-Muslim akan berpikir dua kali sebelum menyatakan pendapat soal keberagaman dan pluralisme di ruang publik maupun media sosial. Setelah pejabat publik terpilih, pegawai negeri dan eksekutif Badan Usaha Milik Negara bisa jadi sasaran selanjutnya.
Apakah seluruh warga Indonesia dapat membicarakan soal penjual makanan selama bulan puasa Ramadan? Apakah sah untuk mendiskusikan kewajiban pemakaian hijab? Warga non-Muslim mungkin akan menghadapi risiko hukuman penjara hanya karena membicarakan topik-topik biasa dalam keseharian orang Indonesia.
Jika seseorang yang begitu kuat dan pernah populer seperti Ahok saja bisa dipenjara atas tuduhan penodaan agama, siapa selanjutnya?