(New York) – Militer Burma telah melancarkan operasi militer berupa pembakaran, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap etnis Rohingya, yang mengancam kehidupan ribuan orang, kata Human Rights Watch hari ini. Para pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan baru-baru ini kepada Human Rights Watch mengatakan, sejak serangan 9 Oktober 2016 oleh gerilyawan Rohingya di pos penjagaan perbatasan pemerintah di Rakhine utara, pasukan keamanan Myanmar membalasnya dengan melakukan pelanggaran mengerikan terhadap penduduk Rohingya.
Pemerintah Myanmar sebaiknya segera memberikan akses tanpa batas bagi misi kemanusiaan di seluruh bagian Rakhine utara sebagaimana yang telah didesakkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah lembaga lain, untuk menjangkau orang-orang yang tak punya akses memadai pada makanan, tempat tinggal, perawatan kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Pemerintah dari negara-negara yang memiliki pengaruh di Myanmar semestinya mendesak otoritas militer dan sipil agar segera mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia dan membukakan akses.
“Kisah-kisah para pengungsi ini memaparkan gambaran mengerikan mengenai pasukan yang tak bisa dikendalikan dan mengamuk di desa-desa di Rohingya,” ujar Brad Adams, direktur divisi Asia di Human Rights Watch. “Pemerintah Myanmar bilang, pemberangusan tersebut merupakan tanggapan atas ancaman keamanan, namun manfaat keamanan apa yang bisa diperoleh dengan memerkosa dan membunuh perempuan dan anak-anak?”
Militer Myanmar telah menjalankan operasi pembakaran, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap warga etnis Rohingya, yang mengancam nyawa ribuan orang. Keterangan video:
Human Rights Watch mewawancarai puluhan pengungsi Rohingya yang baru-baru ini tiba di Bangladesh setelah melarikan diri dari kota Maungdaw, Rakhine. Dalam video testimoni, warga Rohingya menceritakan bagaimana para serdadu Burma menggunakan senjata otomatis, menjarah dan membakar banyak rumah, membunuh warga desa, termasuk keluarga-keluarga, dan memerkosa perempuan juga anak-anak.
“Kasim” (26 tahun) menceritakan bagaimana pasukan militer menghancurkan rumah-rumah di desa Kyet Yoe Pyin, yang juga dikenal sebagai Kari Paraung, dan melakukan pelanggaran lainnya. “Militer datang ke desa itu dan secara membabi-buta menembaki siapapun yang mereka temukan. Warga lanjut usia dan anak-anak ditembak mati… banyak orang dibunuh,” ujarnya. “[Militer] menyeret para perempuan dari rumah-rumah dengan menjambak rambut mereka. Mereka melucuti pakaian dan longyi [sarung] perempuan-perempuan itu. Mereka menginjak leher perempuan-perempuan itu. Mereka melepaskan baju pun kutang perempuan-perempuan. Mereka memerkosa perempuan-perempuan itu di lapangan terbuka.”
Warga desa lainnya, “Jamal,” (24 tahun) menyaksikan pasukan menangkap Shukur, seorang laki-laki berusia 55 tahun: “Saya melihat dia ditangkap oleh empat serdadu. Lalu saya melihatnya terbaring di tanah. Setelah itu, saya melihat pasukan membantai dia dengan pisau sepanjang 45 cm.”
“Jawad,” 23 tahun, warga desa Dar Gyi Zar bilang, para serdadu itu secara membabi-buta menembaki siapa saja saat memasuki desa itu. “Mereka tidak mengecualikan penembakan terhadap para warga belia,” ujarnya. Dari sebuah tanggul, dia menyaksikan itu semua saat para serdadu membunuh kakak laki-lakinya dan kedua anaknya, dan melemparkan mayat mereka di kobaran api. Serdadu-serdadu itu juga membakari tanaman dan menghamburkan padi budidaya sehingga tidak dapat dipanen. Tidak ada persediaan pangan dan sapi-sapi ditembak, ujarnya.
Beberapa pengungsi bilang, pasukan keamanan pemerintah kadang didampingi oleh warga Budha etnis Rakhine, dan Mro atau warga desa non-Rohingya, dalam penggerebekan. Mereka seringkali turut menjarah rumah-rumah Rohingya dan terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran lain. Kata Kasim, selama penggerebekan tersebut, dia dan tetangga-tetangganya mengenali beberapa warga non-Rohingya dari desa-desa tetangga mengenakan pakaian sehari-hari.
Pemerintah Myanmar telah gagal menepati komitmen publik mereka untuk mengizinkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) membuka kantor dengan mandat perlindungan penuh, meski Majelis Umum PBB telah mendesak hal tersebut dalam resolusi Desember 2015 yang diadopsi tanpa pemungutan suara. Pelapor khusus PBB mengenai Myanmar, Yanghee Lee, pada Agustus 2016 melaporkan bahwa pendirian kantor dengan segera semacam itu “bisa memberikan pendampingan yang amat penting bagi pemerintah dalam menghadapi tantangan-tantangan terkait hak asasi manusia yang kompleks dan meluas” yang dihadapi negara tersebut. Pemerintah Myanmar semestinya segera mengundang OHCHR untuk mengirimkan staf ke Rakhine utara, guna menyelidiki dan secara terbuka melaporkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan semua pihak.
Pada 1 Desember, pemerintah mengumumkan pembentukan sebuah komisi untuk menyelidiki situasi di Rakhine dan melaporkan temuannya pada 31 Januari 2017. Pada 16 Desember, Myanmar Times melaporkan bahwa komisi tersebut, setelah selama tiga hari berkunjung ke kota Maungdaw, menyimpulkan bahwa operasi-operasi pembersihan yang dilakukan pihak militer telah dilaksanakan “sesuai aturan hukum.” Ringkasan laporan ini menolak segala dugaan plus kekhawatiran mengenai komposisi dan mandat yang dimiliki komisi itu, dan menimbulkan keraguan serius bahwa penyelidikan mereka akan menyeluruh pun tidak memihak. Komisi serupa bentukan parlemen Rakhine pada Oktober juga sejauh ini gagal untuk secara serius menyelidiki berbagai pelanggaran yang diduga dilakukan oleh militer.
Seorang perempuan Muslim Rohingya menatap ke kamera saat sedang menunggu giliran masuk ke Kamp Pengungsiaan Kutupalang di Cox’s Bazar, Bangladesh. © 2016 Reuters/Mohammad Ponir Hossain
Pada Desember 2016, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Zeid Ra’ad Al Hussein, mengatakan: “Penolakan berulang terhadap klaim-klaim pelanggaran serius hak asasi manusia sebagai isapan jempol belaka, ditambah kegagalan memberikan akses pada para pemantau independen di area-area yang terkena dampak paling buruk di Rakhine utara, merupakan penghinaan besar terhadap para korban sekaligus usaha pemerintah untuk melepaskan diri dari kewajibannya untuk menaati hukum internasional mengenai hak asasi manusia.” Dia lebih lanjut menyebut tanggapan pemerintah Myanmar sebagai sesuatu yang “berpikiran sempit, tak produktif, dan bahkan tak berperasaan.”
Operasi militer yang sedang berlangsung berdampak serius pada masyarakat lokal. Sejak 9 Oktober, otoritas setempat telah memberlakukan penguncian virtual pada kota Maungdaw, membatasi pergerakan, menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan, dan menolak akses masuk yang diajukan para jurnalis serta pemantau HAM. Puluhan ribu orang diterlantarkan di dalam negeri, namun pembatasan yang diterapkan pemerintah dan militer terhadap badan-badan bantuan menghalangi mereka melaksanakan penilaian kebutuhan secara tepat. PBB telah melaporkan bahwa sekitar 27,000 etnis Rohingya telah menjadi pengungsi di Bangladesh. Sejumlah organisasi kemanusiaan kepada Human Rights Watch mengatakan, meski sejumlah bantuan telah menjangkau Maungdaw, area-area yang paling terkena dampak masih belum mendapatkan pendampingan. Sejak awal Oktober, PBB dan lembaga swadaya masyarakat internasional lainnya tidak dapat menjangkau 130,000 warga amat rentan di bagian utara kota Maundaw yang sebelumnya telah mendapatkan makanan, uang tunai, dan bantuan nutrisi. Terbatasanya akses pemerintah telah membuat beberapa bantuan hanya cukup untuk 20,000 dari 150,000 orang yang biasanya menerima bantuan.
Kegagalan Burma untuk mengakhiri pelanggaran militer terhadap etnis Rohingya dan mengusut pihak yang bertanggung jawab membutuhkan penyelidikan independen yang disokong PBB. Pemerintah nasional dan negara bagian telah menunjuk sejumlah komisi yang tidak kredibel pun tidak mandiri untuk menyelidiki dugaan sejumlah pelanggaran.
“Kegagalan pemerintah untuk membentuk komisi-komisi kredibel untuk menyelidiki sejumlah dugaan secara menyeluruh dan tak berpihak, melemahkan klaim bahwa mereka sedang mendirikan negara berdasarkan aturan hukum,” ujar Adams. “Meski demikian, belum terlambat untuk berbalik arah dan mengizinkan badan-badan bantuan dan pengamat yang tidak berpihak untuk mengunjungi wilayah-wilayah yang terkena dampak, untuk mendokumentasikan apa yang terjadi dan untuk memastikan pengiriman makanan, obat-obatan, dan layanan penyelamatan nyawa lainnya.”
Testimoni Para Pengungsi Rohingya di Bangladesh
Catatan berikut didapatkan melalui wawancara yang Human Rights Watch lakukan di Bangladesh antara 2 dan 6 Desember 2016. Semua nama disamarkan kecuali dinyatakan sebaliknya. Wawancara dilakukan dengan bantuan juru bahasa.
Abu Hafsah
Abu Hasfah dan keluarganya menjalani perjalanan selama 43 hari dari desa mereka menuju Bangladesh. Pada 9 Oktober, Hasfah (46 tahun) mendengar suara tembakan dari kejauhan saat berada di rumahnya di Kyet Yoe Pyin, desa dalam kawasan Kyet Yoe Pyin dekat kota Maungdaw. Karena ketakutan, dia memindahkan keluarganya untuk bersembunyi di antara semak-semak, ketika suara tembakan terdengar semakin dekat, mereka beranjak ke perbukitan dekat desa. Mereka kembali pulang pada 11 Oktober, namun suara tembakan masih terdengar sporadis. Pasukan memasuki desa pada hari itu. Kata Hasfah, ia lantas mendengar beberapa kali suara ledakan besar dari desa tetangga dan melihat ratusan pasukan. “Tidak ada satupun tempat yang tidak diduduki militer.”
Pada 12 Oktober, para serdadu kembali. Pada malam hari mereka mulai menembakkan peluncur-peluncur roket dan senjata otomatis ke arah warga desa pun rumah-rumah mereka. Warga desa melarikan diri agar tak terluka. Kata Abu Hafsah, peluru-peluru itu meleset dan dia loncat ke dalam hutan supaya tidak terkena. “Mereka menembaki [warga biasa]. Bukan yang lain. Kami tak punya apa-apa. Mereka menembakkan peluncur [roket] dari jarak jauh serta senapan dari jarak dekat. Kami pikir mereka akan membunuh kami semua pada hari itu.”
Kata Abu Hasfah, pada pagi hari keesokan harinya, pasukan menembak enam kenalannya saat mereka keluar dari persembunyian untuk menengok ternak mereka. Abu Hasfah sekeluarga kemudian memutuskan untuk melarikan diri dari Kyet Yoe Pyin, dengan membawa hanya pakaian yang mereka kenakan. Mereka mengungsi ke satu desa terdekat selama 10 hari. Abu Hasfah kemudian kembali sebentar ke Kyet Yoe Pyin, berharap situasi sudah mereda. Dia memperkirakan, ratusan rumah dan toko di desa tersebut telah hangus terbakar. Citra satelit yang dianalisis Human Rights Watch menunjukkan dampak kebakaran besar sesuai dengan pembakaran yang mengonfirmasi sekurang-kurangnya 245 bangunan hancur di Kyet Yoe Pyin antara 9 dan 14 Oktober.
Abu Hasfah sekeluarga kemudian memutuskan untuk melarikan diri dari Burma dan pergi ke Kumar Khali, di perbatasan Bangladesh. Dia bilang, akibat patroli militer selama perjalanan tersebut mereka harus pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan bersembunyi di perbukitan atau hutan. Selama 43 hari perjalanan tersebut, makanan amat langka dan seringkali mereka hanya punya air minum. Sesampainya di Kumar Khali, mereka meminta bantuan warga desa sekitar untuk menyeberangi perbatasan. Pada akhirnya, keluarga tersebut mengumpulkan 25.000 kyat Birma (sekitar Rp245.000) per orang untuk membayar agen yang mengantar mereka menyeberangi Sungai Naf. Mereka menyeberang menggunakan kapal, dan pada akhirnya tiba di Tolatuli di Bangladesh pada 24 November.
Rohima
Rohima (50 tahun) asal Desa Yae Khat Chaung Gwa Son, bilang pasukan militer masuk ke rumahnya, mengikat suaminya, lalu menembaknya sampai mati. Dia kemudian melihat pasukan para serdadu menyeret empat anak laki-lakinya yang sudah dewasa keluar dari rumah. Dia dan perempuan-perempuan lain dalam rumah itu menangis, namun dia tidak dapat melakukan apa-apa untuk menghentikan aksi itu. Para serdadu lalu memindahkan para perempuan ke rumah lain dan menembakkan peluncur roket ke rumah tersebut. Namun, Rohima selamat. Dia keluar dari rumah tersebut dan melihat pasukan membakar propertinya.
Kata Rohima, dia kemudian pergi ke kolam di samping rumahnya dan menemukan setumpuk mayat yang telah dibakar dengan jerami. Dia bisa mencium bau kulit manusia terbakar. Dia bilang, para serdadu itu membunuh empat anak pun suaminya: Shoona Ali (35 tahun), Ijjod Ali (25), Syed Ali (30), Musa Ali (45), dan Yusuf Ali (60).
Bersembunyi di dalam rumah orang lain, Rohima melihat para serdadu mengamuk di seluruh desa. “Mereka menggorok anak-anak dengan pisau. Lalu melemparkan mayat-mayat mereka ke kobaran api,” ujarnya.
Kata Rohima, dia melihat warga desa Rakhine masuk bersama pasukan militer, termasuk beberapa di antaranya yang wajahnya ia kenali mengenakan seragam loreng. Mereka menyeret orang-orang keluar dari rumah-rumah dan menggunakan ikat pinggang untuk memukuli orang-orang itu, kata Rohima.
Rohima memutuskan untuk melarikan diri dari Burma bersama keluarga besarnya dan akhirnya tiba di Kumar Khali. Mereka tidak memiliki sedikit pun uang untuk menyeberang, namun orang-orang lain membantu mereka. Seluruh 15 anggota keluarga berhasil menyeberang dan tiba di Bangladesh pada 25 November.
Abdul
Abdul (30 tahun) melarikan diri dari rumahnya di Desa Kyet Yoe Pyin ketika pasukan militer memasuki kota dan mulai menembakkan senjata mereka. “Mereka menembaki kami saat kami mencoba kabur dari desa,” katanya. Beberapa warga desa terbunuh sedangkan yang lainnya berhasil kabur.
Setibanya di pinggiran Kyet Yoe Pyin, Abdul bersembunyi di sebuah lereng. Tembakan tersebut semakin ramai terdengar sepanjang hari. Dia berkata pasukan militer memukuli dan menembaki warga desa. Keesokan harinya, dia menyaksikan dari lereng tersebut, pasukan dengan seragam hijau dan tambalan bahu merah membakar rumah-rumah dan menembaki warga. “Pada awalnya, mereka menembakkan peluncur roket ke rumah-rumah dari jarak cukup jauh,” ujarnya. “Saat mereka menembak, warga desa berlarian. Lalu mereka masuk ke desa itu dan menyiram rumah-rumah dengan bensin, lalu membakarnya.”
Abdul bilang, dia menyaksikan pasukan militer membakar sebuah masjid. Dia melihat mereka menyakiti perempuan secara fisik. Karena khawatir kekerasan akan bertambah parah, dia kabur ke arah utara: “Kami paham pada saat itu tidak ada kemungkinan untuk kembali.” Dia berjalan melewati sejumlah desa, namun pasukan militer ada di mana-mana sampai akhirnya dia tiba di Kumar Khali. Di sana dia dipertemukan kembali dengan istrinya, yang bilang bahwa para serdadu telah menggorok leher anak laki-laki mereka, berusia 4 tahun, saat mereka berusaha kabur dari desa. Pasangan ini kemudian menyeberang ke Bangladesh menggunakan kapal.
Kasim
Setelah kekerasan 9 Oktober, Kasim (26) menyaksikan militer mendekati Kyet Yoe Pyin dari arah selatan menggunakan sejumlah kendaraan. Setibanya di sana, para serdadu mengepung desa itu. Kasim bilang, saat pasukan memasuki desa itu pada 12 Oktober, dia melihat mereka menghancurkan rumah-rumah. Pasukan militer mulai menembakkan peluncur roket, sehingga warga desa berlarian ke sana kemari dan para perempuan bersembunyi di dalam rumah mereka. Kasim bilang dia bersembunyi di balik sawah tak jauh dari situ. Sebelum siang, para serdadu itu membakar pasar lokal. “Pada hari pertama, tentara memasuki desa dan membakar rumah-rumah dengan menembakkan peluncur roket,” ujarnya. “Sebagian dari mereka membakar rumah-rumah. Sebagian lagi memasuki rumah-rumah dan menjarahnya.”
Kasim bilang pasukan militer menyerang warga desa:
Pasukan militer menembak siapapun yang mereka temui. Warga lanjut usia dan anak-anak ditembak mati… Banyak orang dibunuh. Mereka membunuh banyak orang. Peluru-peluru bersarang di dada, perut, punggung, kepala, dan leher warga desa. Mereka menembak dari jarak 90 meter, 180 meter, dan lebih jauh lagi.
Kekerasan tersebut berlanjut. Karena pasukan militer menghancurkan pagar-pagar yang mengelilingi rumah-rumah, dia bisa melihat dengan jelas saat pasukan militer menyeret perempuan-perempuan keluar dari rumah mereka:
Para serdadu menyeret perempuan-perempuan itu dengan menjambak rambut mereka. Mereka melucuti pakaian dan longyis [sarung] para perempuan itu. Mereka menginjak leher para perempuan. Mereka menarik pakaian dan kutang para perempuan. Mereka memerkosa para perempuan itu di lapangan terbuka.
Kasim bilang dia melihat pasukan militer menembak dada istrinya, membunuh istrinya dan anak perempuan mereka yang saat itu digendong oleh sang istri. Dia juga melihat sebuah rumah di dekat situ, yang ditempati enam perempuan, dijarah oleh pasukan. Dia bilang pasukan militer menembak seluruh enam perempuan dalam rumah itu.
Kasim bilang, dia melihat orang-orang berpakaian sipil memasuki desa bersama pasukan militer. Dia dan tetangganya mengenali sebagian dari orang-orang itu yang berasal dari desa tetangga. Orang-orang itu, bersama sejumlah tentara, menjarah rumah-rumah dan pada beberapa kasus menyeret banyak perempuan dari rumah-rumah.
Kasim lalu memutuskan untuk melarikan diri ke Bangladesh. Dia beranjak dari desa ke desa, bersembunyi di balik bukit-bukit sekitar selama berhari-hari, sambil menghindari pasukan militer di hampir setiap desa yang dia singgahi. Setelah tiba di sebuah desa dekat perbatasan, dia menyeberangi Sungai Naf ke Bangladesh bersama 13 anggota keluarga besarnya. Dia tiba di Bangladesh pada 30 November.
Jamal
Dua hari setelah serangan 9 Oktober, Jamal (24) melihat para tentara mendekat dari sisi timur Desa Kyet Yoe Pyin. Katanya, beberapa tentara itu berjalan kaki, sementara lainnya menumpangi beberapa truk berwarna gelap yang biasa dipakai mengangkut kambing dan ternak lain. Sekumpulan truk lain yang membawa penduduk dari etnik Rakhine pun tiba tak lama kemudian. Ketika anggota militer memasuki daerah ini, Jamal bersembunyi di sebuah tambak udang (sebuah kolam kecil tempat udang diproduksi dan dibudidayakan) bersama beberapa warga lain, menutup badannya dengan daun palem agar para tentara tidak bisa melihatnya, tapi ia tetap bisa melihat apa yang sedang terjadi.
Menurut Jamal, para tentara pertama kali dikerahkan di sebuah bukit sebelah desa dan mulai menembaki bangunan dengan peluncur roket. Kemudian mereka mulai memasuki desa dan membakari rumah-rumah, menembakkan roket serta menembaki warga sembari menyisir seluruh desa. Sejumlah warga desa dipukuli atau ditembaki di jalanan.
Jamal bilang, semalam sebelum kejadian itu pamannya membawa dua anggota keluarganya yang perempuan ke rumah. Salah satunya sedang hamil dan melahirkan bayinya malam itu. Ketika para tentara memasuki desa pada pagi hari, warga laki-laki meninggalkan desa, karena beranggapan para perempuan tidak akan disakiti. Dari tempat persembunyian, Jamal dan sejumlah warga lain melihat para tentara memerkosa dan membunuh beberapa perempuan setempat. “Awalnya, mereka membantai dua perempuan. Salah satunya belum meninggal, jadi mereka mencoba memerkosanya. Perempuan itu lantas berpura-pura mati. Mereka pergi setelah memerkosa perempuan itu. Kemudian mereka membantai tiga orang perempuan lain.” Jamal dan warga lain kembali keesokan harinya, mereka menemui perempuan yang masih hidup setelah melahirkan. Walau demikian, kata Jamal perempuan itu meninggal tak lama kemudian, sementara bayinya selamat. Jamal juga melihat para tentara melempar tiga orang anak kecil ke dalam rumah yang sedang terbakar.
Jamal mengatakan bahwa Shukur (55), yang ikut bersembunyi bersamanya di tambak, mencoba kembali berjalan kaki ke desa, tapi tak lama kemudian ia dihadang lantas dibunuh empat orang tentara. Kata Jamal:
Kami semua melarangnya pergi. Kami sudah memperingatkan bagaimana para tentara itu membunuhi orang-orang. Anak perempuan dan lelakinya pun mencoba menghentikannya. Ia bilang, ‘Saya ini sudah tua, apa yang akan mereka lakukan pada saya?’ Kemudian ia pergi. Para tentara menghentikannya saat ia mencapai sebuah toko. Saya melihat ia ditangkap oleh empat tentara. Setelahnya, saya lihat ia tergeletak di tanah. Kemudian, saya melihatnya dibunuh menggunakan pisau sepanjang 45 cm.”
Menurut penggambaran Jamal setelah para tentara bergegas memasuki daerah ini, ia melihat banyak perempuan dihimpun di sebuah area saat para warga laki-laki sudah melarikan diri. Menurutnya, para tentara “menindas” (eufemisme umum untuk pemerkosaan) dan menyiksa mereka hingga beberapa di antaranya pingsan.
Jamal meninggalkan Kyet Yoe Pyin dan belakangan melihat anggota militer di beberapa desa lain. Jamal melihat beberapa helikopter menembakkan senjata otomatis dari ketinggian, setidaknya di dua desa, termasuk Dar Gyi Zar. Tembakan helikopter itu, kata Jamal, seperti rentetan percikan api. Ia melihat helikopter tersebut menembak warga yang tengah bersembunyi dan mencoba kabur dari para tentara. “Mereka akan menembak apapun yang bergerak,” kata Jamal.
Akhirnya Jamal bisa kabur ke Bangladesh melalui sebuah desa yang berbatasan dengan Sungai Naf di Kota Maungdaw. Keluarganya tak punya uang, tapi ia menerima bantuan dari warga desa lain untuk menyebrang dengan membayar 25,000 kyat Myanmar (Sekitar Rp245.000) per orang. Jamal dan 13 sanak saudaranya tiba di Bangladesh pada 1 Desember.
Kamal
Kamal (32) ia melarikan diri untuk bersembunyi dari para tentara yang mendekat saat anggota militer memasuki Desa Kyet Yoe Pyin pada 11 Oktober. Ia melihat para serdadu itu membakar sejumlah rumah, memukuli sejumlah warga dan menembak mereka yang mencoba kabur. Delapan sampai sepuluh tentara mengepung rumahnya. Lantas mereka merendam beberapa kain pakaian dengan bensin, membakar, dan melempar kain itu ke atas atap, membakar rumahnya.
Kamal berkata bahwa para tentara datang ketika adik laki-lakinya yang baru saja mengidap malaria tengah berbaring di pekarangan rumahnya. Kamal melihat saat mereka mengikat adiknya dengan seutas tali dan lantas menembaknya. Ia lalu melarikan diri ke rumah terdekat, yang ia tinggali bersama sanak saudaranya, dan dari situ ia melihat para tentara menangkapi warga desa lain, mengikat mereka dan membawa beberapa di antara mereka dengan sejumlah mobil. Kamal melihat, sekitar lima tentara masuk ke rumah pamannya, yang dekat dengan tempat persembunyiannya, kemudian menangkap kedua pamannya. Secara keseluruhan, ia melihat sembilan orang diciduk dan mendengar kabar bahwa 60 orang telah ditangkap. Para serdadu lantas membakar sebuah pasar dengan menembakkan roket. Kamal melihat serpihan baja, yang ia yakini berasal dari roket itu, jatuh ke tanah dan bersarang di beberapa pohon kelapa.
Kamal dan keluarganya pun meninggalkan Kyet Yoe Pyin selama delapan hari. Mereka memutuskan untuk kembali ke desa itu, tapi tak berapa lama kemudian para tentara juga kembali ke sana. Ia bilang, anggota militer berusaha mengumpulkan dan menganiaya para “saudari dan anak-anak perempuan” dari desa itu. Warga desa melawan para tentara dengan meneriaki mereka.
Kamal dan keluarganya memutuskan untuk pergi ke Bangladesh, saat menyadari bahwa mereka tak lagi punya makanan yang cukup untuk anggota keluarganya. “Kami tidak mungkin mencari nafkah,” katanya. Mereka berhasil menghindari aparat keamanan di Myanmar, dan membayar sebanyak 26,000 kyat Myanmar (sekitar Rp.255.000) untuk diantarkan melewati perbatasan dengan perahu.
Ali
Menurut Ali (52), personel militer tiba di Kyet Yoe Pyin pada suatu malam, saat ia dan 13 anggota keluarganya sedang pergi berjalan kaki untuk membawa beberapa dokumen bisnis ke Bora Para, desa tetangga di mana ayah mertuanya tinggal. Di tengah perjalanan, mereka melihat kendaraan anggota militer mulai mendekati kendaraan yang mereka tumpangi. Walau sulit untuk mengira-ngira, menurut Ali ada sekitar 100 orang tentara di sana.
Sesampainya di Bora Para, Ali dan keluarganya mendengar letusan senjata api. Ada begitu banyak tembakan yang menurut Ali “tanahnya ikut bergetar”. Dilanda kepanikan, mereka memutuskan untuk tinggal di rumah ayah mertuanya. Tembak-menembak itu berlangsung selama empat hari. Ketika suara letusan semakin sering terdengar, Ali dan keluarganya melarikan diri ke desa tetangga, Jamoinna. Dari sana, Ali bisa melihat 400 hingga 500 serdadu bergerak di sekitar Kyet Yoe Pyin.
Ali kembali ke Kyet Yoe Pyin, setelah tinggal selama delapan hari di Jamoinna. Ia menemukan tiga per empat rumah di desa itu dibakar. Beberapa warga lain yang kembali ke Kyet Yoe Pyin harus meminjam peralatan memasak, lantaran perkakas dapur mereka telah hancur atau hilang.
Ali mengatakan bahwa ia dan beberapa warga lainnya menemukan mayat bergelimpangan di seluruh desa. Beberapa mayat berada di kuburan dangkal dan beberapa ekor rubah menyeret mayat-mayat itu dari kuburan mereka, sementara bagian tubuh mayat lain mencuat dari kuburan mereka. Satu makam berisi empat jenazah, yang semuanya telah dipenggal. Beberapa anggota tubuh mereka tampaknya telah dimangsa anjing dan rubah. Ali dan warga lainnya berhasil mengidentifikasi mayat-mayat itu sebagai Kadir Hussein (60), Nur Alam (50), Kala Mian (30) dan Mohamed Rashid (26). Ia mendengar bahwa Shukur (55) telah dieksekusi, tapi jenazahnya tak ditemukan. Mereka menggali kuburan lebih dalam dan meletakkan jenazah yang bisa mereka temukan ke dalam lubang-lubang itu. Banyak jenazah yang tidak dapat ditemukan, tapi longyi dan pakaian milik mereka ditemukan di antara sejumlah jenazah lain di seluruh desa. Ali dan warga desa lainnya mencoba untuk mengumpulkan nama-nama mereka yang hilang atau tak lagi terdengar kabarnya sejak peristiwa kekerasan itu terjadi. Secara keseluruhan, 76 orang dinyatakan hilang.
Ali mengatakan bahwa di hari Sabtu berikutnya, anggota militer menggerebek desa itu dan menangkap sekitar 80 laki-laki. Beberapa sanak saudaranya ditangkap, termasuk tiga sepupu dan seorang menantu.
Akhirnya, Ali dan keluarganya melarikan diri ke Bangladesh. Ia membayar sebanyak 25,000 kyat Myanmar (sekitar Rp.245.000) per orang agar mereka bisa menyeberangi sungai. Mereka tiba di Bangladesh pada 3 Desember.
Kháled
Menurut Kháled (26), anggota militer pertama kali datang ke Desa Myaw Taung untuk menetapkan jam malam. Keesokannya mereka kembali dan mulai menembaki warga “tanpa ampun”. Orang-orang kabur ke arah manapun yang bisa dituju, kata Kháled.
Kháled melihat personel militer menembaki dan membakar rumah dengan peluncur roket. Menurut keterangannya, para warga etnik Rakhine dan desa Mro mulai menjarah rumah-rumah itu setelah para tentara menembakinya dengan peluncur roket.
Saat ia bersembunyi di sebuah kamar mandi umum, kakak laki-lakinya keluar dari rumahnya untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi. Kháled mendengar bunyi tembakan dan kabur ke bukit di belakang rumahnya. Saat ia menengok ke belakang, Kháled melihat kakaknya ditembak dan meninggal di tempat. Kata Kháled, para tentara itu meninggalkan kakak iparnya dalam keadaan setengah mati setelah mereka memperkosanya dan menembak anak Kháled yang berumur lima tahun. Menurut Kháled, para tentara itu melempar jenazah anaknya dan kakaknya, bersama beberapa jenazah lain, ke dalam api.
Setelah aksi kekerasan itu, Kháled memutuskan untuk melarikan diri ke Bangladesh. Ia melihat beberapa orang di perahu lain yang tertangkap oleh Polisi Perbatasan Myanmar telah “dipukuli hingga tubuh mereka menghitam dan membiru” saat Kháled menunggu giliran untuk menyeberang. Kelompok Kháled lantas menunggu lebih lama. Tiga hari kemudian, tepatnya 28 November, mereka menyeberang ke Bangladesh.
Jawad
Jawad (23) tak bisa mengingat kapan tepatnya pertama kali militer memasuki desanya, Dar Gyi Zar. Tapi, kata Jawad, sekitar 500 tentara tiba di tengah waktu salat subuh. Menurut keterangannya, para tentara itu menembaki warga dan mulai membakar beberapa rumah. Mereka menembakkan peluncur roket dan melemparkan batang bambu yang dibakar ke atap-atap rumah. Kata Jamal, semua rumah di desanya hangus terbakar begitu mereka selesai. Ia melihat mereka menembak seorang kakek yang sedang duduk di depan rumahnya. “Mereka tidak memberi ampun pada warga yang masih muda,” kata Jawad. “Mereka membantai balita dengan parang dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam api”.
Jawad melihat dari sebuah tanggul ketika kakaknya, Mohamed, ditembak oleh anggota militer. Ia mengatakan bahwa Mohamed sedang bersama anak laki-laki dan perempuannya saat dipanggil anggota militer. Mohamed berhenti dan mereka menembaknya. Para tentara kemudian menangkap dan membunuh kedua anak Mohamed dengan parang, kemudian melempar mayat mereka ke dalam api. Jawad tidak tahu kenapa kakaknya dibunuh, “Para personel militer melakukan hal ini, mereka seharusnya tahu,” katanya.
Menurut Jawad, anggota militer “menyiksa” dan menganiaya sejumlah perempuan dewasa juga remaja, terutama mereka yang terlihat cantik. Setelah menyaksikan kematian Mohamed dan anak-anaknya, dua orang perempuan diculik anggota militer. Salah satunya dihajar dengan popor senapan tentara, yang lainnya diseret ke dalam rumah. Secara keseluruhan, Jawad melihat 15 tentara masuk ke rumah itu. Dari tempat persembunyiannya, Jawad mendengar teriakan perempuan itu. Para tentara itu baru muncul satu jam setelahnya. Satu jam berikutnya, Jawad dan seorang nenek masuk ke rumah itu untuk merawat korban. Perempuan itu meninggal saat mereka berusaha untuk mengantarkannya ke dokter. Ia yakin para tentara memerkosanya secara beramai-ramai.
Jawad melihat para tentara memasuki sawah dengan menyamar sebagai petani dan mulai menangkapi petani yang sedang panen dengan golok, pada paruh akhir bulan November. Para tentara kemudian membakar hasil panen tersebut. Beberapa tentara lain mengambil persediaan beras dan melemparnya hingga tak bisa dipunguti kembali. Kata Jawad, tidak ada panen yang tersisa dan beberapa sapi pun ditembaki.
Setelah sekali diusir oleh satuan Penjaga Perbatasan Bangladesh, Jawad menyeberang ke Bangladesh pada akhir November dengan membayar seorang agen sebesar 25,000 kyat Myanmar (sekitar Rp.245.000).
Chomi
Chomi (35) menyaksikan sekitar 400 tentara mengepung desanya, Dar Gyi Zar, pada 13 November. Saat anggota militer meluncurkan roket ke beberapa rumah dan setidaknya 10 orang ditembak, ia melarikan diri dan melihat kejadian itu dari sebuah lapangan. “Mereka menembak siapapun yang mereka lihat,” katanya.
Ketika terjadi penggerebekan, para tentara membunuh satu keluarga sekaligus, termasuk Abul Hussein dan delapan orang anggota keluarganya, keluarga Yusuf dan keluarga Moulavi Saleh Ahmed, ujar Chomi.
Chomi dan keluarganya melarikan diri dari Dar Gyi Zar ke arah utara pada 13 November. Mereka tinggal bersama sanak saudara selama dua hari, tapi para pejabat desa pun mengusir mereka, jadi Chomi dan keluarganya harus tinggal di sebuah lapangan. Chomi memperkirakan sekitar 2.000 orang hidup bersama mereka di lapangan itu selama sepuluh hari. Pejabat kota dan distrik itu kemudian memerintahkan mereka untuk pulang ke rumah.
Sebelum diperintahkan untuk pulang pada 23 November, Chomi terlebih dulu melihat situasi di desanya dari sebuah bukit. Menurut keterangannya, ia melihat sekitar 200 tentara dan asap yang mengepul di desanya. Ketika ia kembali ke rumahnya, banyak barang miliknya seperti pakaian, peralatan masak dan makanan hilang atau rusak. Hanya 12 dari 419 rumah di desanya yang tidak terbakar. Rumahnya sendiri dibiarkan hingga pembakaran selanjutnya pada 23 November. Chomi mengatakan kini di rumahnya hanya tersisa tumpukan abu dan lengkungan besi.
Sepulangnya Chomi, ia mengumpulkan keluarganya dan melarikan diri ke Bangladesh. Setelah melewati kawat berduri, mereka bergabung dengan warga Rohingya lain tengah menunggu dua perahu, yang masing-masing membawa sekitar 20 orang, termasuk anak-anak. Sesaat sebelum perahu itu menyeberang, mereka dipergoki oleh sebuah kapal berisi aparat keamanan Myanmar, yang melepas tembakan peringatan ke arah dua perahu tersebut. Perahu aparat itu kemudian melaju kencang ke arah mereka, ombaknya mengakibatnya dua perahu ini terbalik. Setelah dilempar dari perahu itu, beberapa orang berenang menuju Bangladesh, sebagai lain kembali ke Burma. Beberapa orang tak bisa berenang lantas tenggelam. Chomi berenang ke arah Burma dan bersembunyi dari patroli anggota militer serta Polisi Penjaga Perbatasan. Chomi akhirnya mampu menghindari patroli itu dan menyeberangi perbatasan menggunakan perahu bersama delapan orang lain pada 5 November dini hari.
Ahmet
Militer masuk ke Desa Yae Khat Chaung Gwa Son pada pertengahan November. Kata Ahmet, saat 200 sampai 250 tentara mengepung desa, beberapa helikopter mulai menembak. Para tentara yang memasuki kota ini mengumpulkan perempuan dalam jumlah besar. Mereka menyeret tangan dan selendang perempuan-perempuan itu, serta merobek pakaian mereka. Menurut Ahmet, para tentara berkata pada warga desa bahwa mereka akan “mengambil” perempuan-perempuan itu.
Menurut Ahmet, beberapa warga mencoba melawan para tentara. Sebagai balasan, sebuah helikopter mulai menembaki mereka dari udara. Ia menyaksikan helikopter itu terbang rendah, mulai menembaki warga dengan dua senjata di sisi kanan-kiri. Para tentara mulai membakar beberapa rumah. Mereka membawa jeriken bensin dan mulai melemparnya ke atap rumah, membakar rumah-rumah itu satu per satu. Ahmet tahu bahwa sekitar 450 rumah dibakar dan hanya 35 yang selamat.
Ahmet dan keluarganya melarikan diri ke desa dekat perbatasan Bangladesh ketika beberapa desa mulai dibakar. Mereka menunggu selama sekitar 15 hari sebelum tiba di Bangladesh pada 1 Desember.