Skip to main content

Indonesia: Amandemen Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan

UU Baru Batasi Hak atas Berserikat, Berekspresi, dan Beragama

(New York) - Sebuah undang-undang baru di Indonesia menerapkan pembatasan yang tidak perlu dan memberatkan aktivitas organisasi kemasyarakatan, kata Human Rights Watch hari ini.  Para pendonor bagi Indonesia seharusnya menekan pemerintah agar mengubah undang-undang tersebut demi memastikan terjaminnya kebebasan dasar dan masyarakat sipil yang dinamis.

Pada 2 Juli 2013, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) di hadapan para penentang terbukanya yang berasal dari kelompok agama, serikat pekerja, organisasi hak asasi manusia, dan kelompok lingkungan.

Pasal-pasal yang ada di dalam UU Ormas ini melanggar hak kebebasan berserikat, berekspresi, serta beragama, dan memberikan ruang gerak yang luas kepada pemerintah untuk menghalangi kerja-kerja Ormas. Undang-undang tersebut memberlakukan berbagai kewajiban dan larangan yang tidak jelas terhadap aktivitas ormas, dan sangat membatasi pembentukan organisasi yang didanai pihak asing.

“UU Ormas ini tak ubahnya sebuah kemunduran ke masa represifnya Suharto yang membuat kegiatan kelompok masyarakat sipil tunduk terhadap kontrol pemerintah yang berlebihan dan tidak dapat diprediksi,” kata Phelim Kine, wakil direktur Asia. “Organisasi kemasyarakatan di Indonesia memainkan peran penting dalam pembangunan negara dan seharusnya dipupuk, bukan ditekan, dengan peraturan pemerintah.”

Setelah lebih dari tiga dekade pemerintahan otoriter yang berakhir dengan jatuhnya Suharto pada 1998, Indonesia kini memiliki masyarakat sipil yang dinamis dengan ribuan organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pembangunan hingga hak asasi manusia. Undang-undang yang baru ini berisi banyak pembatasan yang mirip sekali dengan Undang-undang tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang disahkan semasa kediktatoran Suharto, tapi sebagian besar belum diberlakukan sejak saat itu.

Undang-undang yang baru mewajibkan semua Ormas mengajukan permohonan melalui Kementerian Dalam Negeri untuk mendapatkan persetujuan resmi beroperasi. Undang-undang tersebut tidak memberikan rincian tentang proses permohonan persetujuan resmi, batas waktu untuk persetujuan resmi, atau denda yang dikenakan jika aturan ini tidak dipatuhi.

Undang-undang Ormas ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk memutuskan apakah sebuah organisasi telah melanggar undang-undang atau tidak, tapi mengharuskan pemerintah untuk “berkonsultasi” dengan pengadilan sebelum menangguhkan operasional sebuah ormas. Undang-undang itu tidak memberikan rincian apapun soal bagaimana proses konsultasi ini. Pemerintah dapat secara sepihak memberlakukan penangguhan operasional sebuah lembaga selama enam bulan, jika pengadilan tidak menanggapi dalam waktu dua pekan setelah konsultasi. Undang-undang itu membolehkan organisasi masyarakat untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun tidak menjelaskan secara rinci bagaimana prosesnya.

Undang-undang Ormas ini mewajibkan organisasi-organisasi untuk mematuhi penghormatan terhadap monoteisme, terlepas dari orientasi keagamaan atau sekuler mereka, kata Human Rights Watch. Undang-undang yang baru ini, seperti Undang-undang tahun 1985, mensyaratkan Ormas harus mematuhi konsep “napas, jiwa, dan semangat” dalam Pancasila. Undang-undang tersebut melarang organisasi mendukung kredo “anti-Pancasila” termasuk ateisme, komunisme, dan Marxisme-Leninisme. Undang-undang Ormas secara khusus menyatakan bahwa Ormas harus “menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” terlepas dari orientasi keagamaan atau sekuler mereka. Pada bulan Februari, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang kebebasan beragama atau berkeyakinan, Heiner Bielefeldt, memperingatkan bahwa ketentuan dalam versi rancangan undang-undang ini dapat melanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan terutama bagi individu dengan “keyakinan non-teisme dan teisme.”

“Undang-undang Ormas digunakan sebagai kendaraan bagi Orwellian thought police, kata Kine. “Negara tidak punya urusan untuk memberi tahu Ormas atau siapa pun, apa yang bisa dan tidak bisa mereka percayai.”

Undang-undang yang baru, seperti Undang-undang tahun 1985, menempatkan berbagai persyaratan samar-samar terhadap Ormas, yang bisa membuka ruang bagi pemerintah untuk campur tangan yang tidak tepat dalam pekerjaan mereka, kata Human Rights Watch. Ini termasuk dukungan wajib untuk “menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” serta “memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan.” Undang-undang baru tersebut secara khusus melarang “kegiatan yang menodai” oleh Ormas terhadap salah satu dari enam agama resmi yang diakui di bawah keputusan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Tidak ada definisi yang diberikan untuk kegiatan ini, yang membuat Ormas berisiko pada interpretasi hukum yang sewenang-wenang atau tidak adil oleh pejabat pemerintah yang tidak suka. Pada bulan Februari, Pelapor Khusus PBB bidang hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai, Maina Kiai, menyatakan larangan semacam itu dalam rancangan undang-undang “tidak sah dan semestinya diubah sesuai ketentuan.”

Undang-undang Ormas membuat lembaga nonpemerintah asing di Indonesia tunduk pada semua kontrol birokrasi baru. Undang-undang ini melarang Ormas asing melakukan kegiatan yang dapat “mengganggu kestabilan serta keutuhan” NKRI atau "melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan diplomatik.” Warga negara asing yang ingin memulai sebuah organasasi kemasyarakatan di Indonesia harus telah secara sah tinggal di Indonesia lima tahun berturut-turut dan harus menyetor dana sejumlah Rp10 miliar dari kekayaan pribadi mereka ke dalam organisasi. Pelapor Khusus PBB bidang situasi pembela HAM, Margaret Sekaggya, mengungkapkan keprihatinannya pada Februari lalu bahwa ketentuan semacam itu akan menghambat kerja pembela HAM masyarakat sipil di negara ini, ” khususnya ormas asing.”

“Undang-undang Ormas yang baru memberi kesan buruk pendekatan resmi yang kurang toleran terhadap masyarakat sipil di Indonesia,” kata Kine. “Pemerintah Indonesia perlu mengakui Ormas – baik domestik maupun asing – sebagai aset bagi masyarakat demokratis, bukan sebagai ancaman. Para donor dan teman-teman di Indonesia seharusnya mendorong penghapusan ketentuan dalam undang-undang baru yang memusuhi kebebasan dasar dan independensi operasional ormas-ormas.”

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country