Skip to main content

Indonesia: Surat kepada Presiden Yudhoyono tentang Penandatanganan Konvensi soal Penghilangan Paksa

Yth. Presiden Yudhoyono,

Melalui surat ini, Human Rights Watch ingin menyampaikan dukungan sebesar-besarnya atas keputusan Indonesia untuk menanda tangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.  Kami mengetahui bahwa Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menanda tangani konvensi ini pada tanggal 27 September 2010 di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.  Langkah penting ini menunjukkan pengakuan pemerintahan Anda atas keseriusan kejahatan internasional penghilangan paksa dan bahwa Indonesia memiliki kewajiban untuk menginvestigasi kasus-kasus penghilangan yang masih terjadi. Turut pula kami sertakan beberapa saran praktis mengenai bagaimana Indonesia dapat bergerak maju dalam menangani kasus-kasus tersebut.

Jika konvensi ini dapat diratifikasi dengan segera oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Indonesia akan menjadi negara

Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) pertama yang melakukannya. Hal ini mungkin dapat memicu berlakunya konvensi ini.  Sejak diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada bulan Desember 2006, Konvensi tentang Penghilangan Paksa telah ditandatanganin oleh 86 negara, 19 dari mereka telah meratifikasinya. Konvensi ini akan mulai berlaku setelah diratifikasi oleh 20 negara. Indonesia adalah negara ke-dua di ASEAN yang telah menanda tangani Konvensi ini. Sebelumnya,  Republik Demokrasi Rakyat Laos telah menanda tanganinya pada bulan September 2008 namun hingga saat ini belum meratifikasinya. Kami memuji kepemimpinan Anda di ASEAN dalam isu ini dan kami berharap Anda akan mendorong para legislator Anda untuk bertindak cepat dalam meratifikasi konvensi tersebut.

Kami juga bermaksud untuk menghimbau Anda untuk memantau sikap positif dari menandatangani konvensi dengan cara mengambil tindakan dalam menyelesaikan kasus penghilangan paksa di Indonesia. Secara khusus, kami mendorong anda untuk menerapkan rekomendasi DPR untuk membuka penyelidikan kasus penghilangan paksa 13 aktivis mahasiswa di akhir tahun 1990-an.

Seperti yang telah Anda ketahui, sebagai respon atas laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)pada bulan September 2009, DPR Republik Indonesia mengeluarkan rekomendasi tentang dugaan penculikan dua puluh tiga aktivis mahasiswa oleh pasukan keamanan Indonesia pada tahun 1997 dan 1998, di bulan-bulan terakhir pemerintahan Mantan Presiden Soeharto. Sembilan dari aktivis  tersebut kemudian dibebaskan dalam keadaan hidup, satu ditemukan tewas, dan tiga belas orang lagi tidak pernah ditemukan. Pada tahun 1999 pengadilan militer menjatuhkan hukuman bagi 11 personil militer atas penculikan aktivis yang kemudian ditemukan dalam keadaan hidup. Namun pengadilan tersebut tidak pernah memeriksa 13 kasus  penghilangan paksa lainnya.  

DPR, sejalan dengan laporannya, merekomendasikan Indonesia untuk membentuk sebuah pengadilan hak asasi manusia khusus untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas penghilangan yang terjadi, dan menemukan keberadaan  13 aktivis yang hilang, serta memberikan rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga yang ditinggalkan, dan menjadi bagian dari Konvensi tentang Penghilangan Paksa. Akan tetapi, sampai saat ini, baik Anda maupun Jaksa Agung belum menindaklanjuti rekomendasi untuk membentuk pengadilan khusus.  

Pada hari yang sama dengan saat Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menanda tangani Konvensi ini, Kepolisian Indonesia dilaporkan telah menangkap sekitar 30 aktivis dan anggota keluarga aktivis yang hilang saat sedang melakukan protes di Jakarta mengecam kegagalan pemerintah dalam membentuk pengadilan khusus. Kepolisian menyatakan bahwa para pelaku protes melanggar batas waktu protes yang telah ditetapkan yaknipada pukul 06.00 sore, walupunpara pelaku protes juga mengakui bahwa mereka telah diperingatkan oleh aparat untuk mengakhiri protes mereka beberapa jam sebelumnya.

Kami mendorong anda untuk memperlihatkan niat baik Indonesia untuk bertindak sesuai komitmennya untuk menginvestigasi kasus-kasus penghilangan paksa dan segera memerintahkan Jaksa Agung untuk membuka investigasi yang transparan dan dapat dipercaya untuk mengusut lebih lanjut mengenai hilangnya aktivis-aktivis mahasiswa. Kasus-kasus penghilangan ini agaknya harus menjadi fokus dari sistem hukum di Indonesia dibandingkan penangkapan pelaku aksi protes damai yang menuntut pertanggung jawaban pemerintah.

Kami juga mendorong anda untuk melaksanakan investigasi atas kasus penghilangan paksa lain yang masih belum terselesaikan di Indonesia. Hal ini termasuk kasus Aristoteles Masoka, berusia 21 tahun asal Papua, yang bekerja sebagai supir dari Theys Eluay, pemimpin tradisional di Papua. Tentara Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menculik Eluay pada bulan November 2001 setelah ia meninggalkan sebuah acara di barak dengan mobilnya. Menurut ayahnya, Masoka sempat melarikan diri dari penculikan ini dan pergi ke markas Kopassus setempat untuk melaporkan serangan terhadap Eluay kepada petugas, Letnan Kolonel Tri Hartomo. Sejak saat itu, Masoka tidak pernah terlihat lagi. Pada bulan Maret 2003, pengadilan militer memvonis Hartomo dan enam anggota Kopassus lain bersalah atas perlakuan buruk dan penyerangan yang menyebabkan kematian Eluay. Tidak ada yang didakwa atas hilangnya Masoka.

Akhir kata, kami menyadari bahwa Indonesia belum menjadi bagian dari beberapa perjanjian besar mengenain hak asasi manusia, termasuk Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Cacat (the Convention on the Rights of Persons with Disabilities), yang telah ditanda tangani pada bulan Maret 2007 namun belum diratifikasi; Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families), yang telah ditanda tangani pada bulan September 2004 namun belum diratifikasi; dan Konvensi terkait Status Pengungsi 1951 (Convention relating to the Status of Refugees) beserta Protokol 1967 terkait hal yang sama, keduanya belum ditanda tangani maupun diratifikasi. 

Indonesia menyatakan dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009 bahwa Indonesia akan meratifikasi Konvensi tentang Pekerja Migran, dan Konvensi tentang Pengungsi beserta Protokolnya pada 2009. Namun pada kenyataannya Indonesia telah melewati tenggat waktu yang ditetapkan. Kami sekali lagi mendorong Anda untuk bertindak dalam memastikan Indonesia turut menjadi bagian dan segera menerapkan perjanjian-perjanjian tersebut, termasuk Konvensi tentang Penghilangan Paksa, untuk memperlihatkan komitmen besar Indonesia dalam melindungi hak asasi manusia.

Terima Kasih atas perhatiannya. Kami akan sangat menghargai kesempatan untuk mendiskusikan hal ini serta isu-isu lain terkait dengan hak asasi manusia dengan Anda dan anggota pemerintahan Anda

Dengan Hormat,

Elaine Pearson

Deputy Director, Asia Division

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country