(New York) – Pembunuhan dua orang pekerja rumah tangga (PRT) migran asal Indonesia oleh majikan mereka di Arah Saudi menggarisbawahi berlanjutnya kegagalan pemerintah Arab Saudi dalam memastikan pertanggungjawaban majikan atas penganiayaan serius yang mereka lakukan; demikian Human Rights Watch melaporkan hari ini. Pemukulan brutal yang dilakukan oleh majikan tersebut juga mengakibatkan dua orang PRT asal Indonesia lainnya menderita luka parah.
Tujuh orang anggota keluarga di Arab Saudi yang memperkerjakan empat orang PRT asal Indonesia memukuli pekerjanya tersebut pada awal bulan Agustus setelah menuduh mereka mempraktekkan “ilmu hitam” terhadap anak mereka yang masih remaja. Siti Tarwiyah Slamet, 32, dan Susmiyati Abdul Fulan, 28, meninggal karena luka-luka yang dideritanya. Ruminih Surtim, 25, dan Tari Tarsim, 27, sedang berada dalam perawatan unit intensif di Riyadh Medical Complex. Pihak berwenang Saudi telah menahan majikan tersebut.
“Pembunuhan brutal PRT asal Indonesia terjadi dalam situasi impunitas yang menguat akibat tidak adanya tindakan apapun dari pemerintah,” ujar Nisha Varia, periset senior dari Divisi Hak Perempuan Human Rights Watch. “Pihak berwenang bukan hanya gagal dalam menyelidiki atau memproses secara hukum para majikan yang melakukan penganiayaan, tetapi sistem peradilan pidana juga menghalangi upaya para pekerja yang mengalami penganiayaan dalam meminta ganti rugi”.
Sekitar 2 juta perempuan asal Indonesia, Sri Lanka, Filipina dan negara lainnya bekerja sebagai PRT di Arab Saudi. Mereka seringkali dibayar sangat rendah dengan jam kerja sangat panjang, disekap dalam tempat kerjanya atau dijadikan sasaran penganiayaan verbal, fisik dan seksual, Human Rights Watch melaporkan. Sementara menjadi korban penganiayaan, banyak dari PRT tersebut malah dituduh melakukan berbagai kejahatan seperti pencurian, perzinahan atau hubungan di luar nikah dalam kasus-kasus pemerkosaan atau mempraktekkan ilmu hitam.
Dalam kunjungannya ke Arab Saudi dan Sri Lanka pada bulan November dan Desember, Human Rights Watch mewawancarai PRT asal Sri Lanka yang dijatuhi hukuman penjara dan cambuk di Arab Saudi setelah majikan memperkosa dan menghamili mereka. Tiga bulan lalu, seorang PRT asal Indonesia di propinsi al-Qasim dihukum 10 tahun penjara dan dicambuk 2.000 kali karena dituduh melakukan guna-guna, yang merupakan hukuman lebih ringan dari tuntutan awal yaitu hukuman mati. Kedutaan Besar Indonesia tidak mengetahui penangkapan, penahanan dan penyidangan pekerja ini sampai dengan satu bulan setelah hukuman dijatuhkan.
Baik sebagai korban atau pun sebagai tergugat, warga negara asing menghadapi kesulitan serius untuk mendapatkan penyelidikan atau sidang yang adil dalam sistem peradilan pidana Arab Saudi. Banyak pekerja migran yang tidak memiliki akses pada penerjemah, bantuan hukum atau informasi dasar mengenai kasus mereka. Dibutuhkan berbulan-bulan bahkan tahunan sebelum Pemerintah Saudi memberitahukan kepada perwakilan negara asing bahwa salah seorang warga negaranya telah ditahan atau dirawat di rumah sakit, sehingga pihak perwakilan tidak dapat memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan.
Kasus seringkali berlarut-larut sampai bertahun lamanya. Nour Miyati, seorang PRT asal Indonesia, menderita luka serius dan kehilangan jarinya karena gangrene (pembusukan jaringan tubuh) akibat disekap, dianiaya secara fisik dan verbal dan tidak diberi makan oleh majikannya. Nour kemudian justru dituntut melakukan tuduhan palsu pada majikannya dan dihukum 79 kali cambukan. Pengadilan kemudian membatalkan keputusan dan hukuman tersebut, tetapi Nour masih menanti ganti rugi materi dari majikannya dan menanti kesiapannya kembali ke Indonesia setelah mengalami masalah besar ini.
“Pemerintah Saudi harus melatih polisi tentang cara menyelidiki kasus-kasus terkait PRT, karena perselisihan mereka dengan majikan seringkali terjadi di dalam rumah pribadi dengan sedikit saksi,” ujar Varia. “Pemerintah harus memperluas Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk melindungi PRT.”
Human Rights Watch juga mendorong pemerintah Saudi untuk mengubah kebijakan mengenai pensponsoran imigrasi yang sangat merugikan pekerja karena mengharuskan adanya izin dari majikan untuk dapat meninggalkan negara tersebut atau berganti majikan. Perubahan terbaru yang membolehkan Kementrian Tenaga Kerja Saudi mengabaikan peraturan tersebut jika majikan tidak membayar gaji pekerja selama tiga bulan adalah tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Pihak berwenang Saudi dan kedutaan besar negara asal PRT menerima ribuan laporan mengenai eksploitasi atau penganiayaan tenaga kerja setiap tahunnya. Ada banyak kasus lainnya yang tidak dilaporkan akibat PRT terisolasi di rumah majikan, kemampuan majikan untuk membuat pekerjanya dideportasi, serta ketidaktahuan para pekerja migran mengenai hak-hak mereka. Kedutaan Besar Indonesia saja sekarang ini menampung 300 orang perempuan di shelter mereka, yang sebagian besar dari mereka adalah PRT yang mengalami penganiayaan baik oleh majikan maupun agen perekrut. Pada bulan Juli, shelter ini malah sampai harus menampung 500 orang perempuan.