“ByteDance tidak dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah Tiongkok. Ini adalah perusahaan swasta,” kata CEO TikTok Shou Zi Chew dalam sidang Komite Energi dan Perdagangan di Kongres AS pada 23 Maret.
Memang benar, ByteDance, perusahaan induk TikTok di Tiongkok, adalah perusahaan swasta. Tetapi, menolak kontrol dari pemerintah Tiongkok bisa jadi bukan pilihan aman bagi eksekutif perusahaan yang berbasis di Tiongkok, mengingat rekam jejak pemerintah mereka dalam menghukum eksekutif bisnis Tiongkok karena tidak mengikuti garis partai.
Sementara pemerintah AS secara terbuka mempertimbangkan apa yang harus dilakukan dengan TikTok, termasuk kemungkinan pelarangan, pemerintah Tiongkok yang diam-diam terus memperkuat kontrol terhadap industri teknologi negara dan para dedengkotnya. Korban terbaru adalah Bao Fan, seorang miliarder dan investor teknologi ternama.
Pada pertengahan Februari, Bao menghilang. Beberapa hari kemudian, perusahaannya mengeluarkan pernyataan singkat yang mengatakan dia saat itu sedang menjalani pemeriksaan yang tidak dirinci. Orang-orang yang dekat dengan Bao kecewa dengan penahanan tersebut. Sebulan sebelumnya, miliarder itu dalam suasana hati yang ceria, memberi tahu karyawannya untuk "maju dengan berani" selama pesta tahunan perusahaannya.
Bukan hal aneh bagi otoritas Tiongkok untuk secara paksa "menghilangkan" eksekutif bisnis, sebuah praktik yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir di bawah Presiden Xi Jinping. Beberapa eksekutif tidak pernah terdengar kabarnya lagi. Beberapa telah kembali bekerja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Beberapa akhirnya masuk penjara. Beberapa bahkan meninggal secara misterius saat dipenjara.
Berikut adalah beberapa kasus terkenal: Pada 2015, Xu Ming, seorang raja real estat dan pernah menjadi orang terkaya kedelapan di Tiongkok, meninggal karena "serangan jantung", menurut pihak berwenang, di penjara Shanghai pada usia 44, beberapa bulan sebelum dia dibebaskan. Xu segera dikremasi; tidak jelas apakah otopsi dilakukan atau tidak. Pada 2017, Whitney Duan, salah satu perempuan terkaya di Tiongkok, menghilang di Beijing. Empat tahun kemudian, dia menelepon mantan suaminya yang tinggal di Inggris untuk memperingatkannya agar tidak menerbitkan buku baru yang menceritakan kisah mereka dan mengungkap transaksi bisnis para pemimpin tertinggi Tiongkok.
Pada 2020, Jack Ma, pendiri perusahaan teknologi Alibaba dan salah satu nama paling terkenal di Tiongkok, menghilang selama tiga bulan setelah secara terbuka mengkritik regulator keuangan Tiongkok. Dia sejak itu tinggal di luar negeri, menurut laporan media. Pada 2022, lima tahun setelah agen keamanan Tiongkok menculik dan menghilangkan miliarder Kanada-Tiongkok Xiao Jianhua dari sebuah hotel Hong Kong, pengadilan Shanghai menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara.
Meskipun situasinya berbeda, semua kasus orang-orang ini memiliki satu kesamaan: kerahasiaan. Selain pernyataan kasar yang sesekali menuduh eksekutif bisnis korupsi atau kejahatan lainnya, pemerintah tidak mengungkapkan rincian seputar hilangnya mereka. Keluarga dan teman-teman diancam oleh pihak berwenang untuk tidak berbicara di depan umum. Diskusi di internet Tiongkok dengan cepat disensor. Tidak ada pers bebas untuk melakukan investigasi independen.
Dan tentu saja tidak ada pengadilan independen di mana eksekutif yang dipermalukan bisa mendapatkan peradilan yang adil. Partai Komunis Tiongkok (CCP) yang berkuasa secara efektif mengendalikan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Ini adalah lingkungan yang menakutkan di mana pebisnis paling sukses di Tiongkok beroperasi, dan mereka tahu bahwa harga yang harus dibayar untuk menentang—atau bahkan tampak menentang— CCP bisa sangat mahal.
Para petinggi ByteDance juga pasti mengetahui hal itu. Ketika dipanggil karena pembangkangan, mereka bergegas untuk mengaku dosa dan bersumpah untuk memperbaikinya. Pada 2018, regulator media Tiongkok menutup salah satu produk ByteDance—aplikasi lelucon Neihan Duanzi—karena konten “vulgar”. Pendiri perusahaan, Zhang Yiming , mengeluarkan permintaan maaf secara terbuka karena telah menyimpang dari “nilai-nilai inti sosialis” dan berjanji untuk memastikan bahwa “suara-suara CCP disiarkan dengan tegas.”
TikTok mungkin benar-benar ingin menjadi seperti perusahaan media sosial popular Amerika lainnya—yang sayangnya model bisnisnya biasanya melibatkan pengumpulan data pribadi dalam jumlah besar dan mengandalkan algoritme yang direkomendasikan yang memperkuat informasi yang salah dan ujaran kebencian, sementara gagal melindungi hak-hak pengguna yang rentan—tetapi fakta bahwa TikTok adalah perusahaan Tiongkok membuatnya sangat rentan terhadap tuntutan CCP. Dan CCP memiliki catatan dalam membuat perusahaan-perusahaan swasta Tiongkok melakukan tindakan politiknya, termasuk menyensor dan mengawasi orang Amerika.
Meskipun tidak ada bukti pasti bahwa TikTok mengikuti perintah langsung atau bahkan tidak langsung Beijing—TikTok telah berulang kali mengeluarkan jaminan bahwa pihaknya tidak dan tidak akan menjalankan aksi mata-mata untuk CCP—kami tidak tahu banyak tentang cara kerja internal perusahaan itu maupun perusahaan media sosial lainnya. Lagi pula, tidak ada undang-undang AS yang mewajibkan platform untuk menjelaskan kepada pengguna bagaimana mereka memoderasi konten atau menggunakan alat otomatis. Juga tidak ada undang-undang yang memaksa platform untuk diaudit atau tunduk pada pengawasan eksternal.