(Jakarta) Tentara Indonesia di Aceh melakukan pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, dan pemukulan terhadap masyarakat sipil, demikian Human Rights Watch dalam laporan yang dikeluarkan hari ini. Pengungsi Aceh yang diwawancarai di Malaysia mengungkapkan adanya tindak kekerasan secara meluas di Aceh, propinsi yang telah tertutup bagi pengamat sejak berlakunya darurat militer pada bulan Mei.
Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah cepat untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Propinsi Aceh harus segera dibuka bagi pengamat independen baik nasional maupun internasional, wartawan, dan pekerja kemanusiaan, baik sebagai penghalang atas berlanjutnya pelanggaran dan juga sebagai penyedia bantuan kemanusiaan yang diperlukan bagi masyarakat sipil yang terkena dampak perang.
Dalam laporan setebal 50 halaman berjudul Aceh Under Martial Law: Inside the Secret War (Aceh dibawah Darurat Militer: Dalam Perang Rahasia), didokumentasikan pelanggaran hukum HAM dan kemanusiaan sejak pemerintah Indonesia memberlakukan darurat militer di Aceh pada 19 Mei dan kembalikan ke operasi militer melawan separatis bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Berdasarkan kesaksian dari para pengsungsi Aceh di Malaysia, laporan ini mendokumentasikan peran pasukan keamanan Indonesia dalam eksekusi extra judicial, penghilangan orang secara paksa, pemukulan, penahanan dan penangkapan, dan pembatasan atas kebebasan bergerak di Aceh.
“Setiap orang Aceh yang diwawancarai mempunyai cerita tentang pelanggaran yang terjadi,” kata Brad Adams, eksekutif direktur divisi Asia Human Rights Watch. “Kami khawatir bahwa pelanggaran terhadap masyarakat sipil yang telah kami ungkap mungkin hanya puncak gunung es nya saja.”
Saksi-saksi mengatakan kepada Human Rights Watch mengenai “sweepings” di desa-desa dimana masyarakat sipil dibunuh, sebagian ditanyai kemudian ditahan, sebagian lagi melarikan diri dari desanya karena takut dianiaya. Para korban dan saksi menceritakan dengan detil bagaimana tentara pasukan kemanana Indonesia tampaknya menjadikan pemuda Aceh sebagai target.
“Saya melihat seorang tentara memborgol kaki seorang laki-laki, sementara seorang tentara lain menarik kakinya, kemudian mengayunkan dan menghantamkan laki-laki tersebut kesebuah pohon,” kata seorang pemuda Aceh. “Tentara itu, melakukannya berkali-kali hingga kepala laki-laki tersebut membentur pohon. Kepalanya pecah, dan otaknya terburai. Laki-laki itu pun meninggal. Mayatnya diletakkan dijalan, dan kemudian seorang tentara lainnya menembak tubuh yang sudah tak bernyawa itu berkali-kali.”
Human Rights Watch merasa prihatin akan banyaknya personil tentara Indonesia yang tampaknya menganggap semua pemuda di Aceh adalah pasukan GAM, sekaligus mentargetkan masyarakat sipil secara tidak pandang bulu.
“Kasus demi kasus menunjukkan, tentara masuk ke desa-desa di Aceh dan terang-terangan mengeksekusi atau memukul orang secara acak,” kata Adams. “Mungkin itu dimaksudkan untuk menanamkan rasa takut, sayangnya hal itu berhasil.”
Human Rights Watch mendesak tentara Indonesia untuk mengakhiri berlangsungnya pelanggaran HAM dan memberikan prioritas tertinggi agar pelaku pelanggaran HAM di kalangan pasukan bersenjata dapat diidentifikasi dan diajukan ke pengadilan. Meskipun sejumlah usaha sudah dilakukan sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh agar tentara dapat mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM, pemerintah Indonesia tetap mempunyai catatan minim dalam hal menindaklanjuti pelanggaran pasca operasi militer di Aceh, Timor Timur dan di daerah daerah lain di Indonesia.
“Sudah saatnya mililter di Indonesia mempertanggungjawabkan secara serius untuk mengikuti hukum internasional dalam situasi perang,” kata Adams. “Akuntabilitas atas pelanggaran HAM di Aceh dan meyakinkan bahwa pelaku pelanggaran HAM dibawa ke pengadilan adalah sangat esensial jika pemerintah ingin menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Hal itu juga sangat penting jika Indonesia ingin mendapatkan kembali kredibilitasnya di mata internasional.”
Walaupun dalam wawancara dengan pengungsi Aceh di Malaysia tidak dapat mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan GAM, Human Rights Watch tetap merasakan keprihatinan atas pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata tersebut. Human Rights Watch menyerukan agar GAM dalam aksi-aksinya memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum kemanusiaan internasional, sekaligus untuk tidak melakukan aksi yang dapat menempatkan masyarakat sipil dalam bahaya, seperti penculikan, atau perampasan kartu identitas untuk dipakai oleh tentara GAM.
Human Rights Watch menyambut baik keputusan pemerintah Indonesia bulan ini yang mengizinkan dibukanya akses bagi International Committee of the Red Cross (ICRC) dan agen kemanusian PBB. Human Rights Watch menyerukan agar pemerintah membuka akses bagi organisasi pengawas independen, termasuk organisasi internasional dan mengizinkan Komnas HAM dan organisasi HAM nasional lainnya untuk melaksanakan investigasi.
Human Rights Watch menyerukan masyarakat internasional, khususnya “Quartet (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan World Bank) untuk menyatakan keprihatinan dan kepeduliannya terhadap perang yang telah berlangsung secara rahasia ini.
“Sudah saatnya bagi masyarakat internasional , yang dipimpin oleh quartet ini untuk menyerukan dibukanya akses bagi diplomat, wartawan, pengamat HAM, dan agen dana kemanusiaan,” kata Adams. “Aceh perlu menjadi prioritas pertama bagi komunitas internasional yang berurusan dengan Indonesia dan harus dinyatakan dalam setiap pertemuan.”
Human Right Watch menyerukan negara-negara yang menyediakan bantuan militer atau pelatihan militer bagi Indonesia untuk mempertimbangkan moratorium atas transfer senjata ke Indonesia. Bantuan militer juga harus mensyaratkan dibawanya tentara militer dan polisi yang melakukan pelanggaran HAM ke pengadilan.
Operasi militer di Aceh dimulai pada 19 Mei setelah sebelumnya diadakannya gencatan senjata selama enam bulan namun gagal menyelesaikan konflik tersebut. Darurat militer di Aceh adalah operasi militer terbesar di Indonesia sejak invasi militer di Timor Timur tahun 1975. Operasi militer di Aceh melibatkan sekitar 30.000 tentara, melawan sekitar 5000 pasukan bersenjata GAM.