Skip to main content

Human Rights Watch mengatakan hari ini bahwa investigasi imparsial sangat diperlukan dalam peristiwa penembakan terhadap para demonstran oleh militer Indonesia di Biak, Irian Jaya, di mana dua hari setelah kejadian, jumlah korban masih sumir dan akses ke sana dibatasi ketat.

“Kami menerima laporan yang sangat mengkhawatirkan bahwa tahanan yang terluka ditolak perawatan medis, dan keluarga mereka dilarang berkunjung,” kata Sidney Jones, direktur Asia Human Rights Watch. “Masalah kian sulit karena jalinan intimidasi dan penyiksaan, pembatasan bergerak, dan pengawasan ketat akan informasi. Jika pemerintah Indonesia berniat menurunkan ketegangan di Irian Jaya, maka harus menjamin bagi siapapun mendapatkan fakta-fakta menyeluruh tentang apa yang terjadi di Biak.”

Jones berpendapat prioritas utama, selain penyelidikan penuh, adalah memberi perawatan medis segera kepada mereka yang membutuhkan.

Investigator HAM di Biak berkata bahwa keluarga korban yang terluka maupun yang ditangkap pada serangan 6 Juli ditolak akses ke rumahsakit dan disembunyikan di mana mereka ditahan. Karena tiadanya akses, mereka berkata, banyak keluarga cemas anak-anak mereka mati atau hilang. Mereka bilang operasi intelijen telah menyebarkan orang-orangnya di seluruh Biak, menanyakan teman dan sanak-saudara yang mengetahui demonstran. Penduduk desa yang bantu makanan kepada para demonstran selama aksi empat hari juga di antara mereka yang ditangkap. Investigator berkata lebih dari 200 ditangkap, 140 di antaranya masih ditahan dan dibawa ke tiga tempat: markas besar polisi, komando distrik militer, dan kompleks angkatan laut.

Seorang pemimpin demonstrasi, pria bernama Yopie Karma, berkata dia ditahan di markas besar polisi di Biak, bahkan meski dia ditembak di bagian kaki dan membutuhkan perawatan medis. Keluarganya dipanggil ke markas besar untuk diminta keterangan, tapi pada 8 Juli, tidak diizinkan bertemu. Para saksimata berkata banyak dari mereka yang terluka dipaksa naik begitu saja oleh tentara ke sebuah truk kontainer yang lantas dibawa ke rumahsakit angkatan laut. Petugas rumahsakit diperintahkan untuk tidak memberi informasi kepada jurnalis atau pekerja HAM tentang jumlah korban mati atau luka. Human Rights Watch berkata seorang pria, Elias Ansek, usia 54 tahun, yang ditembak di bagian perut, meninggal di Rumah Sakit Umum Biak pada hari Selasa. Rumor beredar bahwa beberapa dari tahanan disiksa, termasuk bocah 11 tahun bernama Manuel Air, dikabarkan disayat dengan pisau cukur.

“Kecuali bila informasi menyeluruh tersedia untuk media, baik lokal maupun internasional, masyarakat makin meyakini hal-hal terburuk terjadi,” kata Jones.

Di Wamena, ibukota distrik Jayawijaya, sebuah demonstrasi yang seolah-olah mendukung kemerdekaan pada 7 Juli disikapi dengan skeptis oleh pemimpin sipil dan gereja di sana. Dalam diskusi dengan Human Rights Watch, mereka bilang kantor bupati sedang diperebutkan oleh pejabat sipil dan perwira militer, dan bukti kegiatan separatis di kabupaten ini akan membantu kandidat militer menjadikannya kasus ke Jakarta bahwa kehadiran militer masih dibutuhkan. Dalam demonstrasi, sekitar 1,000 orang menaikkan bendera terlarang Papua Barat, di tiang bendera di depan kantor bupati, dari pukul 4:00 hingga 7:00 pagi sebelum diturunkan pasukan militer Indonesia. Pemimpin demonstrasi, Yan Manuel Menay, berusia 62 tahun, berkata dia akan menjamin demonstran meninggalkan lokasi dengan damai asalkan pejabat lokal menginzinkan bendera berkibar sampai pukul 6:00 petang. Tak seorang pun demonstran yang ditangkap, berbeda dengan peristiwa Biak. 

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country