Human Rights Watch berduka atas meninggalnya Jimmy Carter, yang telah merintis jejak kontribusi bagi gerakan hak asasi manusia selama menjabat sebagai presiden AS dan lama setelahnya.
Carter mencetuskan agenda kebijakan luar negeri yang berfokus pada prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, kemudian membangun warisan setelah masa kepresidenan yang mempromosikan demokrasi, menegakkan perumahan sebagai hak asasi manusia, memajukan kesehatan masyarakat, dan melibatkan jutaan orang dalam pelayanan masyarakat. Ia meninggal pada 29 Desember pada usia 100 tahun.
“Jimmy Carter membawa gerakan hak asasi manusia ke dalam lorong-lorong kekuasaan dan berupaya menciptakan pemerintahan yang dipandu oleh martabat manusia,” kata Tirana Hassan, Direktur Eksekutif Human Rights Watch.
Carter dilantik sebagai presiden ke-39 Amerika Serikat pada tahun 1977 dan langsung menonjol dengan agenda kebijakan luar negeri yang memprioritaskan hak asasi manusia internasional. Ia memperjuangkan prinsip-prinsip yang diambil dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, yang untuk kali pertama membentuk fondasi yang diakui secara internasional demi “kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.”
Mulai menjabat saat pengaruh perang AS di Vietnam masih membayangi negeri Paman Sam di dalam dan luar negeri, Carter berupaya menanamkan moralitas dan nilai-nilai ke dalam kebijakan luar negeri AS. Ia mungkin paling dikenal karena menjadi penengah Perjanjian Camp David, yang membuahkan perjanjian damai antara Mesir dan Israel. Namun, upaya kebijakan luar negerinya mencakup kunjungan pertama presiden AS ke Afrika sub-Sahara, berakhirnya dukungan yang sudah bertahan lama bagi pemerintahan Somoza yang sewenang-wenang di Nikaragua, dan mendorong Kongres untuk memberikan mandat kepada Departemen Luar Negeri AS agar membuat laporan tahunan tentang hak asasi manusia di berbagai negara. Pemerintahannya menciptakan prosedur formal untuk memusatkan perhatian penyusunan kebijakan pada hak asasi manusia.
Carter mendirikan Departemen Pendidikan, yang mengangkat program-program yang mendukung siswa miskin dan penyandang disabilitas ke tingkat kabinet sekaligus menyediakan sarana bagi lembaga eksekutif untuk memperjuangkan hak-hak sipil. Ia juga mengangkat lebih banyak perempuan dan warga kulit berwarna sebagai hakim federal dibandingkan semua pemerintahan AS sebelumnya.
Namun, catatan hak asasi manusia Carter juga memiliki kekurangan. Dalam sejumlah kesempatan ia gagal mengutuk pelanggaran yang dilakukan sekutu lamanya —seperti Ferdinand Marcos di Filipina dan Soeharto di Indonesia— demi kepentingan AS yang lain. Kebijakan dalam negerinya gagal menghadapi rasisme struktural dengan cara bermakna, dan ia menentang pendanaan federal untuk aborsi, yang seharusnya membuat prosedur tersebut aman dan terjangkau bagi semua perempuan.
Setelah masa jabatannya selesai, Carter dan istrinya, Rosalynn, yang meninggal dunia pada November 2023, mendirikan The Carter Center pada tahun 1982. Mereka berupaya mengatasi sejumlah masalah yang tidak mereka tangani secara memadai di Gedung Putih, dengan fokus utama pada upaya mempromosikan perdamaian, mendukung demokrasi, dan meningkatkan kesehatan di seluruh dunia.
Perjalanan Carter ke Korea Utara pada tahun 1994 menghasilkan kesepakatan dengan Kim Il Sung untuk menunda program nuklirnya, yang membantu mencegah terjadinya krisis. Setelah kudeta tahun 1991 terhadap Presiden Jean-Bertrand Aristide di Haiti, Carter menjadi penengah negosiasi pada menit-menit terakhir dengan para pemimpin oposisi yang mencegah intervensi militer AS dan mengembalikan Aristide ke tampuk kekuasaan.
Melalui The Carter Center, mendiang mantan presiden ini juga memastikan pembebasan tahanan politik di Korea Utara dan Gambia, memantau lebih dari 100 pemilu di 39 negara di dunia juga di Amerika Serikat, dan membantu pemberantasan penyakit cacing Guinea, yang selama tahun 1980-an menjangkiti jutaan orang di daerah miskin dan terpencil.
Ia dan Rosalynn menunjukkan komitmen mereka untuk menyediakan perumahan bagi orang-orang yang membutuhkan dengan membangun kemitraan selama puluhan tahun dengan Habitat for Humanity. Mereka bekerja bahu-membahu bersama ribuan sukarelawan untuk membangun perumahan yang terjangkau di 14 negara.
Pada tahun 2002, Carter dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian, presiden AS pertama yang menerima penghargaan tersebut atas kontribusi yang diberikannya setelah meninggalkan Ruang Oval. Komite Nobel mengutip "upayanya yang tak kenal lelah selama puluhan tahun untuk menemukan solusi damai bagi konflik internasional, memajukan demokrasi dan hak asasi manusia, serta mendorong pembangunan ekonomi dan sosial."
Setelah tak lagi menjabat sebagai presiden, Carter menggunakan posisinya untuk menyuarakan beberapa isu hak asasi manusia yang paling mendesak pada masa itu, mempromosikan keadilan rasial, hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), hak-hak perempuan, dan banyak lagi. Pada tahun 2007, ia menerbitkan Palestine: Peace Not Apartheid, dengan berani mengakui apartheid Israel terhadap Palestina dan menyerukan diakhirinya pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel.
“Komitmen Jimmy Carter terhadap hak asasi manusia telah meninggalkan jejak tak terhapuskan pada lanskap hak asasi manusia global,” kata Tirana Hassan. “Ia memberikan teladan luar biasa bagi para pemimpin di dunia agar menjadikan hak asasi manusia sebagai prioritas dalam kebijakan mereka di dalam dan luar negeri.”
Human Rights Watch menyampaikan belasungkawa terdalam kepada keluarga Carter.