Sebuah pemandangan tak biasa di Indonesia: Pada tanggal 28 Agustus, para pengunjuk rasa mendirikan tenda di luar Gedung Agung di Yogyakarta tempat Presiden Joko Widodo menginap setelah meresmikan Pasar Godean yang baru direvitalisasi. Ratusan pengunjuk rasa, dikelilingi oleh aparat kepolisian dan Pasukan Pengamanan Presiden, meneriakkan berbagai slogan yang menuduh presiden melakukan korupsi dan nepotisme.
Unjuk rasa di jalan telah meletus di sedikitnya 16 kota di Indonesia, termasuk ibu kota Jakarta, setelah koalisi pendukung Presiden Jokowi mengundang seluruh partai mitranya untuk bertemu di parlemen pada tanggal 22 Agustus untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan mengizinkan kandidat yang berusia di bawah 30 tahun untuk mencalonkan diri. Hanya ada satu kandidat dalam pemilihan kepala daerah 27 November yang berusia di bawah 30 tahun: Kaesang Pangarep, berusia 29 tahun, putra bungsu presiden, yang berniat mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Jawa Tengah.
Tepat dua hari sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Pilkada tersebut di atas yang mengizinkan politisi berusia di bawah 30 tahun untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.
Ketika Jokowi berusaha mengabaikan pengadilan melalui jalur legislatif, mahasiswa dan serikat buruh menuduhnya terlibat nepotisme. Sebuah koalisi yang terdiri dari 27 organisasi masyarakat sipil menuduhnya menempatkan kedua putra serta seorang menantunya di posisi pemerintahan tanpa proses pemilihan yang adil. Pada bulan Februari, Jokowi diduga telah membengkokkan aturan pemilu untuk membantu putra sulungnya, Gibran Raka, 36 tahun, berhasil maju dalam pemilihan presiden sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Pada tanggal 22 Agustus, para pengunjuk rasa di Jakarta mengepung gedung DPR/MPR RI, memaksa para anggota parlemen agar memindahkan rapat ke sebuah hotel. Dua hari kemudian, ketika aksi unjuk rasa terus berlanjut, para anggota DPR memutuskan untuk tidak melanjutkan revisi tersebut. Polisi menangkap setidaknya 300 pengunjuk rasa, sebagian besar siswa sekolah menengah atas, dengan tuduhan menyerang polisi dan merusak pagar bagian depan gedung parlemen. Personel Polri dan TNI menyerang sedikitnya 11 wartawan, menyita telepon genggam mereka. Seorang jurnalis Tempo dibawa ke kantor polisi dan dipaksa menghapus rekaman video yang merekam aksi protes. Polisi juga memukuli seorang jurnalis Kompas yang menyaksikan penangkapan tersebut.
Pasukan keamanan menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan aksi demonstrasi di Semarang, Jawa Tengah, dan di Makassar, Sulawesi Selatan. Di beberapa tempat lain, polisi juga memukuli para pengunjuk rasa damai dengan pentungan. Beberapa orang menderita luka-luka dan dirawat di rumah sakit. Polisi menghalangi pengacara dari lembaga bantuan hukum yang berniat menemui para demonstran yang ditahan.
Semestinya pihak berwenang menyelidiki secara tidak memihak berbagai laporan kekerasan yang dilakukan polisi dan menghukum mereka yang terlibat, termasuk para komandan.