(Jakarta) – Pemerintah Indonesia seyogyanya menegakkan revisi peraturan seragam sekolah negeri untuk melindungi anak perempuan dan perempuan dari keharusan mengenakan jilbab, kata Human Rights Watch hari ini.
Kementerian Pendidikan pada bulan September 2022 mengeluarkan peraturan yang mengatur pilihan pribadi dalam mengenakan seragam sekolah yang mencakup sekitar 150.000 sekolah negeri di seluruh Indonesia. Namun, lebih dari 70 peraturan daerah mewajibkan anak perempuan mengenakan jilbab (hijab) di sekolah dan setidaknya 15 dinas pendidikan provinsi menolak untuk menjalankan peraturan tahun 2022 tersebut. Kurikulum nasional yang mewajibkan siswi berjilbab dalam kelas pelajaran agama Islam juga menghalangi pilihan dalam berbusana.
“Pemerintah Indonesia mengambil langkah penting dengan menerbitkan peraturan nasional untuk mengatasi perundungan, intimidasi, dan pelanggaran lainnya terkait wajib jilbab terhadap anak dan perempuan,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch. “Tetapi kementerian agama dan kementerian dalam negeri perlu bekerja sama untuk mengatasi peraturan seragam sekolah tingkat daerah yang mengabaikan hak-hak siswi dengan mewajibkan jilbab.”
Peraturan yang membatasi cara berpakaian anak perempuan dan perempuan di sekolah dan gedung-gedung pemerintah lainnya menyebar dengan cepat ke seluruh Indonesia selama dua dekade terakhir. Mereka telah memaksa jutaan siswi dan pegawai negeri perempuan untuk mengenakan jilbab, menutupi rambut, leher, dan dada, biasanya dipadukan dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.
Pasal 3 peraturan tahun 2022 menyatakan bahwa sekolah negeri dapat memakai seragam dengan “pakaian khas” yang diatur oleh pemerintah daerah, yang mungkin didasarkan pada “pakaian adat” tapi juga bisa dikaitkan dengan wajib jilbab. Namun, karena peraturan ini memperbolehkan orang tua, dan bukan sekolah, untuk menyediakan pakaian seragam bagi anak-anak mereka, orang tua dapat memutuskan apakah anak perempuan mereka harus mengenakan jilbab – baik dengan kemeja lengan panjang atau pendek, dan rok panjang atau selutut.
Pasal 15 menyatakan bahwa Kementerian Pendidikan harus koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan pemerintah daerah dan kepala sekolah menegakkan peraturan tersebut. Namun pihak berwenang juga memerlukan bantuan dari Kementerian Agama, yang mensyaratkan guru pendidikan agama Islam bekerja dengan capaian belajar, antara lain, “Peserta didik mampu menjelaskan dan menerapkan adab berpakaian menurut syariat Islam.”
Di seluruh Indonesia, peraturan tahun 2022 sulit ditegakkan karena banyaknya peraturan daerah tentang jilbab. Pada Agustus 2023, seorang guru SMP Negeri 1 Lamongan, Jawa Timur, mencukur kepala 19 siswi dengan shaver karena tak mengenakan ciput (kain penutup kepala) di balik jilbab. Pada bulan Juli 2023, di Karawang, Jawa Barat, sebuah keluarga penganut Sunda Wiwitan mengeluarkan putri mereka dari SD Negeri Jomin Barat 2 karena gurunya menindas sesudah keluarga tersebut melawan agar putri mereka memakai seragam sekolah dengan jilbab. Akhirnya keluarga tersebut pindah dari Karawang.
Peraturan Kementerian Pendidikan sebelumnya memfasilitasi penindasan yang meluas terhadap anak perempuan dan guru perempuan untuk mengenakan jilbab, yang bisa menimbulkan tekanan psikologis. Setidaknya 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim dari 38 provinsi di Indonesia membuat anak perempuan yang tak mematuhi wajib jilbab terpaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan. Beberapa pegawai negeri sipil perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen universitas, kehilangan pekerjaan atau merasa terpaksa mengundurkan diri karena wajib jilbab. Perundungan dan intimidasi buat berjilbab juga kerap terjadi di media sosial.
Para siswi dan guru perempuan mempunyai hak untuk mengambil keputusan sendiri mengenai pakaian apa yang akan dikenakan, dan khususnya apakah akan mengenakan jilbab. Penegakan peraturan jilbab terhadap perempuan dan anak perempuan oleh pemerintah Indonesia melanggar ketentuan beberapa perjanjian hak asasi manusia yang telah diratifikasi Indonesia, termasuk hak atas kebebasan beragama, berekspresi, privasi, dan otonomi pribadi.
Indonesia memiliki 120 peraturan tentang wajib jilbab, yang sebagian besar merupakan peraturan daerah, pertama kali diperkenalkan di Sumatera Barat pada tahun 2001 dan Aceh pada tahun 2002. Dari jumlah tersebut, 73 peraturan daerah masih berlaku. Sanksi bagi pelanggaran termasuk peringatan lisan, pengusiran dari sekolah atau tempat kerja, dan hukuman penjara hingga tiga bulan, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
“Peraturan tahun 2022 harus mewajibkan anak perempuan dan perempuan mengenakan pakaian yang mencerminkan pilihan mereka,” kata Pearson. “Kepatuhan pemerintah Indonesia terhadap kewajiban hak asasi manusia internasional berarti mengakhiri penggunaan peraturan seragam yang melanggar hak-hak perempuan dan anak perempuan.”