Skip to main content

Tanya Jawab (Q&A) berikut membahas isu-isu terkait hukum humaniter internasional (hukum perang) yang mengatur perseteruan antara Israel dan Hamas saat ini, serta beberapa kelompok bersenjata Palestina lainnya di Gaza. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi analisis terhadap perilaku semua pihak yang terlibat dalam konflik dengan tujuan mencegah pelanggaran hukum perang dan mendorong adanya pertanggungjawaban atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Q&A ini berfokus pada hukum humaniter internasional yang mengatur perilaku perseteruan. Q&A ini tidak membahas apakah kelompok-kelompok bersenjata Palestina atau Israel yang dibenarkan dalam serangan, atau hal-hal lain mengenai keabsahan penggunaan kekuatan bersenjata, sebagaimana diatur Piagam PBB. Sesuai dengan mandat kelembagaan kami, Human Rights Watch tidak mengambil posisi dalam berbagai persoalan jus ad bellum (hukum mengenai pembenaran yang dapat diterima untuk menggunakan kekuatan bersenjata); tujuan utama kami adalah mendokumentasikan pelanggaran hukum perang, dan mendorong semua pihak dalam konflik bersenjata untuk menghormati hukum perang, atau jus in bello.

Read a text description of this video

Recent hostilities between Israel and Hamas and affiliated armed groups have left several thousand dead, and more are injured, missing or kidnapped. 
 

Several thousand are dead and more are injured, missing or kidnapped. 

 

War is devastating, especially when international humanitarian law is ignored.  
 
But what are these laws, and how do they apply to these hostilities? 

 

Warring parties have a duty to distinguish between combatants and civilians.  

 

Deliberately targeting civilians is a war crime. 

 

Homes, places of worship, hospitals, schools, and cultural monuments are protected. 

 
No one can be punished for crimes they did not personally commit.  

 

Collective punishment of a population, like cutting off electricity to an entire civilian area, is unlawful and a war crime. 

 
Taking hostages is a war crime. Armed groups should release them safely, immediately and unconditionally. Until they are released, they must be treated humanely. 

 

The ICC prosecutor has an ongoing investigation into alleged serious crimes committed in Palestine since June 13, 2014. 
 

His office has said its mandate applies to crimes committed in the recent hostilities between Palestinian armed groups and Israel. 

 

Without accountability and justice, the abuses are likely to continue, and civilians will pay the price. 

 

No atrocity can justify another. 

 

  1. Hukum humaniter internasional apa yang berlaku dalam konflik bersenjata antara Israel dan kelompok bersenjata Palestina saat ini?
  2. Apakah konteks politik, termasuk perlawanan terhadap pendudukan dan ketidakseimbangan kekuasaan, mempengaruhi analisis hukum humaniter internasional?
  3. Siapa dan apa yang secara sah bisa dijadikan sasaran serangan militer?
  4. Apakah penyanderaan diperbolehkan berdasarkan hukum humaniter internasional?
  5. Apa saja kewajiban Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina terkait pertempuran di wilayah sipil yang berpenduduk?
  6. Haruskah pihak-pihak yang bermusuhan menyampaikan peringatan kepada warga sipil sebelum melakukan serangan? Apa yang dimaksud dengan peringatan “efektif”?
  7. Apa saja perlindungan hukum yang diberikan bagi rumah sakit, tenaga medis, dan ambulans?
  8. Apakah Israel diperbolehkan menyerang masjid atau sekolah di Gaza?
  9. Apakah roket yang ditembakkan oleh kelompok bersenjata Palestina ke Israel sah?
  10. Apakah sah untuk mengincar para pemimpin kelompok bersenjata Palestina, berikut kantor serta rumah mereka?
  11. Apa yang dimaksud dengan “hukuman kolektif” terhadap penduduk sipil?
  12. Apakah jurnalis mendapat perlindungan khusus dari serangan?
  13. Apakah serangan Israel terhadap stasiun radio dan televisi milik organisasi media berita, termasuk yang dijalankan oleh Hamas, bisa dibenarkan secara hukum?
  14. Apa saja kewajiban kelompok bersenjata Israel dan Palestina terhadap lembaga kemanusiaan?
  15. Apakah hukum hak asasi manusia internasional masih berlaku?
  16. Siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum humaniter internasional?
  17. Apakah dugaan kejahatan berat dapat dituntut di Mahkamah Pidana Internasional (ICC)?
  18. Apakah ada tempat lain yang tersedia untuk menuntut pertanggungjawaban?

 

 

  1. Hukum humaniter internasional apa yang berlaku dalam konflik bersenjata antara Israel dan kelompok bersenjata Palestina saat ini?

Hukum humaniter internasional mengakui pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza sebagai konflik bersenjata yang sedang berlangsung. Perseteruan dan serangan militer saat ini, antara Israel dan Hamas serta kelompok bersenjata Palestina lainnya, diatur oleh standar perilaku perseteruan yang berakar pada hukum humaniter internasional, yang terdiri dari hukum perjanjian internasional, terutama Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 dan hukum kebiasaan humaniter internasional yang berlaku dalam apa yang disebut konflik bersenjata non-internasional, yang tercermin dalam Protokol-Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977. Aturan-aturan ini menyangkut metode dan sarana pertempuran serta perlindungan mendasar bagi warga sipil dan kombatan yang tidak lagi berpartisipasi dalam perseteruan baik bagi negara maupun kelompok-kelompok bersenjata non-negara.

Hal paling utama dalam hukum humaniter internasional adalah aturan bahwa pihak-pihak yang berkonflik harus selalu membedakan antara kombatan dan warga sipil. Warga sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan. Para pihak yang bertikai diharuskan mengambil semua tindakan pencegahan yang memadai guna meminimalkan kerugian terhadap warga sipil dan objek-objek sipil, seperti rumah, toko, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Serangan hanya boleh menyasar kombatan dan objek-objek militer. Serangan yang menyasar warga sipil atau gagal membedakan antara kombatan dan warga sipil, atau yang akan menyebabkan kerugian tidak proporsional kepada penduduk sipil dibandingkan keuntungan militer yang diharapkan, dilarang.

Selain itu, Pasal 3 memberikan sejumlah perlindungan mendasar bagi warga sipil dan orang-orang yang tidak lagi ambil bagian dalam perseteruan, seperti para kombatan yang ditangkap, dan mereka yang telah menyerah atau menjadi tidak berdaya. Pasal ini ini melarang kekerasan terhadap orang-orang tersebut – khususnya pembunuhan, perlakuan kejam, dan penganiayaan – serta penghinaan atas kehormatan pribadi mereka dan perlakuan yang merendahkan atau menghina, serta penyanderaan.

 

  1. Apakah konteks politik, termasuk perlawanan terhadap pendudukan dan ketidakseimbangan kekuasaan, mempengaruhi analisis hukum humaniter internasional?

Hukum perang tidak membedakan secara formal antara pihak-pihak yang berkonflik berdasarkan ketidakseimbangan kekuasaan atau kriteria lainnya. Prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional masih berlaku. Pelanggaran terhadap berbagai ketentuan tersebut dengan sengaja menyasar warga sipil atau melakukan serangan tanpa pandang bulu tidak pernah bisa dibenarkan dengan menunjuk pada ketidakadilan situasi politik atau argumen politik atau moral lainnya. Mengizinkan pengincaran warga sipil dalam keadaan di mana terdapat kesenjangan kekuasaan antara berbagai kekuatan yang berhadap-hadapan, seperti yang terjadi dalam banyak konflik, akan menciptakan pengecualian yang pada hakikatnya akan meniadakan aturan perang.

Artinya, apakah pihak yang berperang boleh menggunakan kekuatan secara sah atau tidak berdasarkan hukum internasional, mereka tetap harus mematuhi hukum perang.

Pihak-pihak yang berkonflik juga wajib mematuhi hukum humaniter internasional tanpa memandang tindakan pihak-pihak lain dalam konflik tersebut. Artinya, pelanggaran hukum perang oleh satu pihak tidak membenarkan pelanggaran yang dilakukan pihak lain. Apa yang disebut sebagai tindakan balasan perang – biasanya merupakan tindakan melanggar hukum yang diperbolehkan dalam keadaan tertentu – dilarang terhadap warga sipil atau penduduk sipil.

 

  1. Siapa dan apa yang secara sah bisa dijadikan sasaran serangan militer?

Hukum perang mengakui bahwa jatuhnya sejumlah korban sipil mungkin tidak dapat dihindarkan selama konflik bersenjata, namun hukum perang mewajibkan para pihak yang bertikai untuk selalu membedakan antara kombatan dan warga sipil, dan hanya menyasar kombatan dan sasaran militer lainnya. Prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional adalah “kekebalan warga sipil” dan prinsip “pembedaan.”

Kombatan mencakup anggota angkatan bersenjata dan komandan dari suatu negara serta pejuang purnawaktu di kelompok bersenjata non-negara. Mereka dapat diserang setiap saat selama pertempuran kecuali mereka ditangkap atau dilumpuhkan.

Warga sipil kehilangan kekebalan terhadap serangan ketika dan hanya pada saat mereka ikut serta secara langsung dalam pertempuran. Menurut pedoman Komite Palang Merah Internasional (ICRC), hukum perang membedakan antara anggota pasukan tempur terorganisir dari pihak non-negara, yang mungkin menjadi sasaran selama konflik bersenjata, dan pejuang paruh waktu, yang adalah warga sipil yang hanya dapat menjadi sasaran ketika dan hanya pada saat mereka berpartisipasi langsung dalam pertempuran. Demikian pula, pasukan cadangan angkatan bersenjata nasional dianggap sebagai warga sipil kecuali ketika mereka pergi bertugas, di mana dalam hal ini mereka adalah kombatan yang dapat diserang. Pejuang yang meninggalkan kelompok bersenjata, seperti halnya tentara cadangan reguler yang berintegrasi kembali ke kehidupan sipil, adalah warga sipil sampai mereka dipanggil kembali untuk bertugas secara aktif.

Agar suatu tindakan seseorang dapat dianggap sebagai partisipasi langsung dalam pertempuran, tindakan tersebut harus segera dapat menimbulkan kerugian bagi kekuatan lawan dalam waktu dekat dan harus dilakukan dengan sengaja untuk mendukung salah satu pihak dalam konflik bersenjata. Partisipasi langsung dalam pertempuran mencakup sejumlah tindakan yang diambil sebagai persiapan untuk menjalankannya, serta pengerahan ke dan kembali dari lokasi di mana tindakan tersebut dilakukan.

Panduan ICRC juga menetapkan bahwa orang-orang yang secara eksklusif memiliki fungsi non-tempur dalam kelompok bersenjata, termasuk peran politik atau administratif, atau hanya semata-mata menjadi anggota atau berafiliasi dengan entitas politik yang memiliki komponen bersenjata, seperti Hamas, Jihad Islam, atau Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, tidak boleh menjadi sasaran kapan pun kecuali dan hanya pada saat mereka, sebagaimana warga sipil lainnya, berpartisipasi langsung dalam pertempuran. Artinya, keanggotaan atau afiliasi dengan gerakan Palestina yang mempunyai sayap bersenjata bukanlah dasar yang cukup untuk menentukan seseorang menjadi target militer yang sah.

Hukum perang juga melindungi objek-objek sipil, yang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang tidak dianggap sebagai objek militer yang sah. Pelarangan diberlakukan pada serangan langsung terhadap objek sipil, seperti rumah dan apartemen, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, sekolah, dan monumen budaya. Objek-objek sipil menjadi sasaran serangan yang sah ketika dijadikan sebagai sasaran militer; yaitu, ketika objek-objek tersebut memberikan kontribusi nyata bagi aksi militer dan penghancuran, pengambilalihan, atau netralisasi mereka menawarkan keuntungan militer yang meyakinkan, dengan tunduk pada aturan proporsionalitas. Hal ini mencakup kehadiran anggota kelompok bersenjata atau pasukan militer di tempat yang biasanya merupakan objek sipil. Bila ada keraguan mengenai sifat suatu objek, maka objek tersebut harus dianggap sebagai milik sipil.

Hukum perang melarang serangan tanpa pandang bulu. Serangan tanpa pandang bulu ini menyerang sasaran militer dan warga sipil atau objek sipil tanpa membeda-bedakan. Contoh serangan yang tidak pandang bulu adalah serangan yang tidak ditujukan pada sasaran militer tertentu atau menggunakan senjata yang tidak dapat ditujukan pada sasaran militer tertentu. Serangan tak pandang bulu yang dilarang mencakup pengeboman wilayah, yaitu serangan dengan artileri atau cara-cara lain yang menjadikan sejumlah sasaran militer yang jelas-jelas terpisah dan berbeda serta terletak di wilayah yang ada konsentrasi warga sipil dan objek sipil sebagai satu sasaran militer.

Sebuah serangan terhadap sasaran militer yang sah dilarang jika serangan itu melanggar prinsip proporsionalitas. Serangan-serangan yang tidak proporsional adalah serangan-serangan yang diperkirakan akan mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil secara tidak sengaja, yang merupakan hal yang berlebihan jika dibandingkan dengan keuntungan militer yang konkret dan langsung yang diharapkan dari serangan tersebut.

 

  1. Apakah penyanderaan diperbolehkan berdasarkan hukum humaniter internasional?

Penyanderaan dilarang dalam konflik bersenjata non-internasional berdasarkan Pasal 1(b) Pasal 3 Konvensi Jenewa dan hukum humaniter internasional kebiasaan. Komentar Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengenai Pasal 3 mendefinisikan penyanderaan sebagai “penangkapan, penahanan atau penyekapan seseorang (sandera) yang disertai ancaman untuk membunuh, melukai atau terus menahan orang tersebut untuk memaksa pihak ketiga melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan sebagai syarat eksplisit maupun implisit demi pembebasan, keselamatan, atau kesejahteraan sandera.” Sandera dapat mencakup warga sipil dan orang-orang yang tidak ambil bagian secara aktif dalam pertempuran, seperti anggota angkatan bersenjata yang telah menyerah atau ditahan. Penyanderaan adalah kejahatan perang, termasuk berdasarkan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Orang-orang yang disandera, seperti semua orang yang ditahan, harus diperlakukan secara manusiawi, dan tidak dapat digunakan sebagai tameng manusia.

Komentar ICRC juga mencatat bahwa sandera seringkali adalah orang-orang, seperti warga sipil yang tidak membahayakan keamanan, yang ditangkap dan ditahan secara tidak sah. Namun, penahanan yang melanggar hukum tidak diperlukan untuk terjadinya penyanderaan. Seseorang yang penahanannya bisa saja sah menurut hukum, misalnya seorang tentara yang ditangkap, masih bisa dijadikan sandera.

Ancaman untuk terus menahan seseorang yang ditangkap secara sah tidak sama dengan penyanderaan. Misalnya saja, tidaklah melanggar hukum jika terus menahan seseorang bila sebagai bagian dari negosiasi pertukaran tawanan, seperti kombatan yang ditangkap, yang pembebasannya tidak diwajibkan secara hukum. Namun, hal itu akan berubah menjadi pelanggaran hukum jika melakukan ancaman terhadap warga sipil yang ditahan secara tidak sah.

Penyanderaan dilarang terlepas dari tindakan yang ingin dipaksakan oleh penyandera. Jadi tindakan tersebut tetap disebut melanggar hukum bahkan ketika berupaya untuk memaksa pihak lawan untuk menghentikan tindakan yang melanggar hukum.

 

  1. Apa saja kewajiban Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina terkait pertempuran di wilayah sipil yang berpenduduk?

Hukum humaniter internasional tidak melarang terjadinya pertempuran di wilayah perkotaan, meskipun kehadiran banyak warga sipil memberikan kewajiban yang lebih besar kepada pihak-pihak yang bertikai untuk mengambil langkah-langkah guna meminimalkan bahaya bagi warga sipil. Gaza adalah salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia.

Hukum perang mewajibkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk selalu berhati-hati selama operasi militer untuk menyelamatkan penduduk sipil, dan untuk “mengambil semua tindakan pencegahan yang layak” untuk menghindari atau meminimalkan tewasnya warga sipil dan kerusakan pada objek-objek sipil. Tindakan pencegahan ini termasuk melakukan segala hal yang memungkinkan untuk memverifikasi bahwa sasaran serangan adalah milik militer dan bukan objek sipil atau warga sipil, memberikan “peringatan dini yang efektif” sebelum serangan jika keadaan memungkinkan, dan menahan diri untuk tidak melakukan serangan jika aturan proporsionalitas dilanggar. Di kawasan berpenduduk padat di mana terdapat gedung atau bangunan lain, baik di atas maupun di bawah tanah, para pihak berkonflik semestinya mempertimbangkan kesulitan dalam mengidentifikasi warga sipil yang mungkin tertutup bahkan dari teknologi pengintaian yang canggih sekalipun.

Pasukan yang dikerahkan di wilayah berpenduduk harus, sejauh memungkinkan, menghindari penempatan sasaran militer – termasuk pesawat tempur, amunisi, senjata, peralatan, dan infrastruktur militer – di atau dekat wilayah padat penduduk, dan berusaha untuk memindahkan warga sipil dari sekitar sasaran militer. Para pihak yang berperang dilarang menjadikan warga sipil sebagai perisai guna melindungi sasaran atau operasi militer dari serangan. “Perisai” mengacu pada penggunaan kehadiran warga sipil secara sengaja untuk membuat kekuatan militer atau suatu wilayah kebal dari serangan.

Pada saat yang sama, pihak penyerang tidak dibebaskan dari kewajiban untuk mempertimbangkan risiko terhadap warga sipil, termasuk kewajiban untuk menghindari terjadinya kerugian yang tidak proporsional terhadap warga sipil, hanya karena pihak penyerang menganggap pihak yang bertahan bertanggung jawab karena telah menempatkan sasaran militer yang sah di dalam atau di dekat daerah berpenduduk. Artinya, kehadiran seorang komandan Hamas atau peluncur roket, atau fasilitas militer lainnya di wilayah berpenduduk tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menyerang wilayah tersebut tanpa mempertimbangkan ancaman terhadap penduduk sipil, termasuk kewajiban untuk membedakan kombatan dari warga sipil dan aturan proporsionalitas.

Penggunaan senjata peledak dengan daya jangkau luas di wilayah berpenduduk merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata kontemporer. Selain menimbulkan korban sipil secara langsung, senjata peledak dengan daya jangkau luas sering kali merusak atau menghancurkan infrastruktur sipil, seperti jembatan, pipa air, pembangkit listrik, rumah sakit, dan sekolah, sehingga menyebabkan kerugian jangka panjang bagi warga sipil, termasuk gangguan terhadap layanan dasar. Senjata-senjata ini mempunyai efek jangkauan yang luas jika memiliki radius kehancuran yang besar, secara inheren tidak akurat, atau menghamburkan banyak amunisi pada saat yang bersamaan. Penggunaannya di daerah padat penduduk memaksa warga meninggalkan rumah mereka, sehingga memperburuk kebutuhan kemanusiaan.

Senjata dengan radius kehancuran yang besar termasuk senjata yang meledakkan bahan peledak dalam jumlah besar dan senjata yang melontarkan pecahan di wilayah yang luas, atau keduanya. Amunisi dengan bahan peledak dalam jumlah besar dapat menghasilkan fragmentasi yang menyebar secara tidak terduga ke wilayah yang luas, dan gelombang ledakan yang kuat yang dapat menyebabkan cedera fisik serius pada tubuh manusia dan bangunan fisik, menyebabkan trauma akibat benda tumpul dan kerusakan fisik akibat puing-puing yang beterbangan, dan menyebabkan atau memperparah cedera lain atau penyakit yang sudah ada. Amunisi berhulu ledak fragmentasi dirancang untuk menyebarkan sejumlah pecahan di suatu wilayah, sehingga sulit atau mustahil untuk membatasi efek senjata tersebut.

Penggunaan senjata peledak dengan daya jangkau luas di Jalur Gaza yang padat penduduk, di mana 2,2 juta warga Palestina tinggal di wilayah yang panjangnya 41 kilometer (25 mil) dengan lebar antara 6 hingga 12 kilometer (3,7 hingga 7,5 mil), dan menyasar infrastruktur penting, diperkirakan akan menimbulkan kerugian serius terhadap warga sipil dan objek-objek sipil. Selain itu, roket-roket yang diluncurkan dari Gaza yang pada dasarnya tidak akurat atau dirancang untuk menjangkau wilayah yang luas dan kemungkinan besar akan menyerang warga sipil dan objek-objek sipil di wilayah Israel, juga menyebabkan kerugian yang dapat diperkirakan terhadap warga sipil dan objek-objek sipil.

 

  1. Haruskah pihak-pihak yang bermusuhan menyampaikan peringatan kepada warga sipil sebelum melakukan serangan? Apa yang dimaksud dengan peringatan “efektif”?

Hukum perang mengharuskan, kecuali jika keadaan tidak memungkinkan, pihak-pihak yang bertikai untuk memberikan “peringatan dini yang efektif” mengenai serangan yang dapat berdampak pada penduduk sipil. Apa yang dimaksud dengan peringatan “efektif” akan bergantung pada keadaan. Penilaian seperti ini akan mempertimbangkan waktu pemberian peringatan serta kemampuan warga sipil untuk meninggalkan wilayah tersebut. Peringatan yang tidak memberikan waktu yang cukup bagi warga sipil untuk pergi ke wilayah yang lebih aman tidak akan dianggap “efektif.”

Warga sipil yang tidak mengungsi setelah diberikan peringatan masih dilindungi sepenuhnya oleh hukum humaniter internasional. Jika tidak, pihak-pihak yang bertikai dapat menggunakan peringatan untuk melakukan pengungsian paksa, dan mengancam warga sipil dengan tindakan yang disengaja jika mereka tidak mengindahkannya. Selain itu, beberapa warga sipil tidak bisa mengindahkan peringatan untuk mengungsi, karena alasan kesehatan, disabilitas, ketakutan, atau ketiadaan tempat baru untuk dituju. Jadi, bahkan setelah peringatan diberikan, pasukan penyerang masih harus mengambil semua tindakan pencegahan memungkinkan untuk menghindari hilangnya nyawa dan harta benda warga sipil. Hal ini termasuk membatalkan suatu serangan ketika jelas bahwa sasarannya adalah warga sipil, atau kerugian warga sipil tidak sebanding dengan keuntungan militer yang diharapkan.

Hukum perang juga melarang “tindakan atau ancaman kekerasan yang utamanya bertujuan untuk menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil.” Pernyataan yang menyerukan evakuasi di daerah yang bukan merupakan target peringatan sebenarnya, namun terutama dimaksudkan untuk menimbulkan kepanikan di antara penduduk atau memaksa mereka untuk meninggalkan rumah karena alasan selain keselamatan, termasuk dalam larangan ini. Larangan ini tidak berupaya untuk mengatasi dampak dari serangan yang sah, yang biasanya menimbulkan ketakutan, melainkan lebih kepada ancaman atau serangan terhadap warga sipil yang memiliki tujuan khusus.

 

  1. Apa saja perlindungan hukum yang diberikan bagi rumah sakit, tenaga medis, dan ambulans?

Fasilitas layanan kesehatan adalah objek sipil yang mempunyai perlindungan khusus berdasarkan hukum perang terhadap serangan dan tindakan kekerasan lainnya termasuk pengeboman, penembakan beruntun, penjarahan, pemaksaan masuk, penembakan, pengepungan, atau gangguan lain seperti dengan sengaja menghentikan aliran listrik dan air.

Fasilitas layanan kesehatan meliputi rumah sakit, laboratorium, klinik, pos pertolongan pertama, pusat transfusi darah, dan gudang medis serta farmasi di fasilitas tersebut, baik militer maupun sipil. Meskipun bangunan lain yang dianggap sipil dapat menjadi sasaran militer jika digunakan untuk tujuan militer, rumah sakit kehilangan perlindungan dari serangan hanya jika bangunan tersebut digunakan, di luar fungsi kemanusiaannya, untuk melakukan “tindakan yang membahayakan musuh.” Beberapa jenis tindakan tidak tergolong “tindakan yang membahayakan musuh,” seperti kehadiran penjaga bersenjata, atau ketika senjata kecil milik korban luka ditemukan di rumah sakit. Bahkan jika pasukan militer menyalahgunakan rumah sakit untuk menyimpan senjata atau melindungi kombatan yang berbadan sehat, pasukan penyerang harus mengeluarkan peringatan untuk menghentikan penyalahgunaan ini, menetapkan batas waktu yang masuk akal untuk mengakhirinya, dan baru menyerang setelah peringatan tersebut tidak diindahkan.

Berdasarkan hukum perang, dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya harus diizinkan melakukan pekerjaan mereka dan dilindungi dalam segala situasi. Mereka kehilangan perlindungannya hanya jika mereka melakukan, di luar fungsi kemanusiaan mereka, “tindakan yang membahayakan musuh.”

Demikian pula ambulans dan transportasi medis lainnya harus dibiarkan berfungsi dan dilindungi dalam segala situasi. Mereka bisa kehilangan perlindungan hanya jika mereka digunakan untuk melakukan “tindakan yang membahayakan musuh,” seperti mengangkut amunisi atau pejuang sehat yang sedang bertugas. Sebagaimana dinyatakan di atas, pihak yang menyerang harus mengeluarkan peringatan untuk menghentikan penyalahgunaan ini, dan hanya dapat menyerang setelah peringatan tersebut tidak diindahkan.

 

  1. Apakah Israel diperbolehkan menyerang masjid atau sekolah di Gaza?

Masjid dan gereja – seperti halnya semua rumah ibadah – dan sekolah dianggap sebagai objek sipil yang tidak boleh diserang kecuali digunakan untuk tujuan militer, seperti markas militer atau lokasi penyimpanan senjata dan amunisi.

Prinsip proporsionalitas juga berlaku pada objek-objek tersebut.

Semua pihak diwajibkan untuk berhati-hati dalam operasi militer guna menghindari kerusakan pada sekolah, rumah ibadah, dan properti budaya lainnya.

 

  1. Apakah roket yang ditembakkan oleh kelompok bersenjata Palestina ke Israel sah?

Sebagai para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata, sayap-sayap bersenjata Hamas, Jihad Islam, dan kelompok bersenjata Palestina lainnya wajib mematuhi hukum humaniter internasional. Mengincar instalasi militer dan sasaran militer lainnya diperbolehkan berdasarkan hukum perang, namun hanya jika semua tindakan pencegahan yang layak untuk menghindari kerugian sipil telah dilakukan. Hukum tersebut melarang kelompok bersenjata Palestina untuk menyasar warga sipil atau melancarkan serangan membabi buta atau serangan yang akan menyebabkan kerugian tidak proporsional bagi warga sipil dibandingkan dengan keuntungan militer yang diharapkan. Para komandan kelompok-kelompok bersenjata Palestina juga diwajibkan untuk memilih cara-cara penyerangan yang dapat mereka arahkan ke sasaran militer dan meminimalkan kerugian yang tidak disengaja terhadap warga sipil. Jika senjata yang digunakan sangat tidak akurat sehingga tidak dapat diarahkan ke sasaran militer tanpa menimbulkan risiko besar bagi warga sipil, maka tidak seharusnya kelompok itu menggunakan senjata tersebut.

Human Rights Watch menemukan dalam pertempuran sebelumnya bahwa roket-roket yang diluncurkan oleh kelompok-kelompok bersenjata Palestina – termasuk roket jarak dekat buatan lokal dan roket jarak jauh yang dimutakhirkan, roket “Grad”, dan roket yang diimpor dari sumber-sumber lain – sangat tidak akurat sehingga tidak bisa diarahkan dengan cara yang dapat membedakan antara sasaran militer dan sasaran sipil ketika roket-roket itu diluncurkan ke daerah-daerah yang berpenduduk. Ketidakakuratan dan ketidakmampuan untuk menyasar sasaran militer ini diperburuk pada jarak yang lebih jauh ketika beberapa roket ditembakkan ke Israel.

Penggunaan roket semacam itu terhadap wilayah sipil melanggar larangan serangan yang disengaja dan tidak pandang bulu. Demikian pula, pihak yang meluncurkan roket dari wilayah padat penduduk, atau menempatkan sasaran militer di atau dekat wilayah sipil – sehingga membuat warga sipil rentan terhadap serangan balasan – mungkin gagal melakukan semua tindakan pencegahan yang layak untuk melindungi warga sipil yang berada di bawah kendalinya dari dampak serangan.

 

  1. Apakah sah untuk mengincar para pemimpin kelompok bersenjata Palestina, berikut kantor serta rumah mereka?

Hukum humaniter internasional mengizinkan untuk menjadikan komandan militer sebagai target dalam konflik bersenjata, sejauh serangan tersebut sesuai dengan hukum yang melindungi warga sipil, termasuk dilakukan secara proporsional. Para pemimpin politik yang tidak ambil bagian dalam operasi militer, sebagai warga sipil, bukan target sah serangan.

Para pemimpin kelompok bersenjata Palestina yang mengomandani pasukan perang adalah target yang sah. Namun, karena Hamas terlibat dalam pemerintahan sipil di luar komponen militernya, maka hanya dengan menjadi pemimpin Hamas saja tidak membuat seseorang secara sah menjadi target serangan militer.

Para kombatan tidak mempunyai kekebalan dari serangan di rumah dan tempat kerja mereka. Namun, seperti halnya serangan apa pun terhadap sasaran militer yang sah, pasukan penyerang harus menahan diri untuk tidak melakukan serangan jika serangan tersebut akan membahayakan penduduk sipil secara tidak proporsional – termasuk anggota keluarga sipil dari kombatan – atau dilancarkan dengan tidak membedakan antara kombatan dan warga sipil. Berdasarkan kewajiban untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang mungkin dilakukan untuk menghindari bahaya bagi warga sipil, pasukan penyerang juga seharusnya mempertimbangkan apakah ada lokasi alternatif di mana kombatan dapat dijadikan sasaran tanpa membahayakan warga sipil.

Menyerang rumah seorang kombatan yang tidak hadir secara fisik pada saat penyerangan terjadi merupakan serangan yang melanggar hukum terhadap objek sipil. Jika serangan yang melanggar hukum tersebut dilakukan secara sengaja, maka hal tersebut digolongkan sebagai kejahatan perang. Sebuah rumah warga sipil tidak kehilangan status terlindung sebagai objek sipil hanya karena rumah tersebut merupakan rumah seorang militan yang sedang tidak berada di sana. Sejauh penyerangan tersebut dirancang untuk merugikan keluarga para kombatan, maka penyerangan tersebut juga merupakan bentuk hukuman kolektif yang dilarang.

Personel atau peralatan yang digunakan dalam operasi militer dapat diserang, namun apakah tindakan tersebut dapat membenarkan penghancuran seluruh bangunan besar di mana mereka berada, tergantung pada apakah serangan tersebut tidak menimbulkan kerugian tidak proporsional terhadap warga sipil atau properti sipil.

 

  1. Apa yang dimaksud dengan “hukuman kolektif” terhadap penduduk sipil?

Hukum perang melarang penghukuman terhadap siapa pun atas pelanggaran selain yang dilakukannya secara pribadi. Hukuman kolektif adalah istilah yang digunakan dalam hukum internasional untuk menggambarkan segala bentuk sanksi hukuman dan pelecehan, tidak terbatas pada hukuman bersifat yudisial, namun termasuk sanksi “dalam bentuk apa pun, administratif, melalui tindakan polisi atau lainnya,” yang dikenakan pada kelompok orang yang menjadi sasaran atas tindakan yang tidak mereka lakukan sendiri. Penerapan hukuman kolektif – seperti pelanggaran terhadap hukum perang, pembongkaran rumah keluarga pejuang, atau objek sipil lainnya seperti gedung bertingkat sebagai bentuk hukuman – merupakan kejahatan perang. Apakah suatu serangan atau tindakan dapat dikategorikan sebagai hukuman kolektif bergantung pada beberapa faktor, termasuk target dari tindakan tersebut dan dampak hukumannya, namun yang paling relevan adalah maksud di balik tindakan tersebut. Jika niatnya adalah untuk menghukum, murni atau terutama sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka kemungkinan besar penyerangan tersebut merupakan hukuman kolektif.

 

  1. Apakah jurnalis mendapat perlindungan khusus dari serangan?

Jurnalis dan perlengkapannya mendapat manfaat dari perlindungan umum yang dimiliki oleh warga sipil dan objek sipil dan tidak boleh menjadi sasaran serangan kecuali mereka mengambil bagian langsung dalam pertempuran. Jurnalis bisa dikenakan pembatasan hak yang sah, seperti kebebasan berekspresi atau kebebasan bergerak, yang diberlakukan sesuai dengan hukum dan hanya sejauh yang benar-benar diperlukan oleh situasi darurat. Namun mereka tidak boleh ditangkap, ditahan, atau dikenakan hukuman atau pembalasan dalam bentuk lain hanya karena melakukan pekerjaan mereka sebagai jurnalis.

 

  1. Apakah serangan Israel terhadap stasiun radio dan televisi milik organisasi media berita, termasuk yang dijalankan oleh Hamas, bisa dibenarkan secara hukum?

Fasilitas radio dan televisi adalah objek sipil dan dengan demikian mendapat perlindungan umum. Serangan militer terhadap fasilitas penyiaran yang digunakan untuk komunikasi militer adalah sah menurut hukum perang, tetapi serangan semacam itu terhadap stasiun televisi atau radio sipil dilarang karena fasilitas tersebut merupakan bangunan sipil yang dilindungi dan bukan sasaran militer yang sah. Selain itu, jika serangan tersebut dirancang terutama untuk melemahkan moral warga sipil atau mengganggu penduduk sipil secara psikologis, maka hal tersebut juga merupakan tujuan perang yang dilarang. Stasiun-stasiun televisi dan radio sipil merupakan sasaran yang sah hanya jika stasiun-stasiun tersebut memenuhi kriteria sebagai sasaran militer yang sah; yaitu, jika mereka digunakan dengan cara yang menyodorkan “kontribusi efektif terhadap aksi militer,” dan penghancuran stasiun-stasiun tersebut dalam situasi yang terjadi pada saat itu akan memberikan “keuntungan militer yang pasti.” Secara khusus, fasilitas penyiaran sipil yang dioperasikan Hamas boleh dijadikan sasaran militer jika, misalnya, digunakan untuk mengirimkan perintah militer atau secara konkret memajukan kampanye bersenjata Hamas melawan Israel. Namun, fasilitas penyiaran sipil tidak menjadi sasaran militer yang sah hanya karena mereka pro-Hamas atau anti-Israel, atau melaporkan pelanggaran hukum perang oleh salah satu pihak. Sama seperti menyerang penduduk sipil untuk menjatuhkan moral mereka, serangan terhadap media yang hanya membentuk opini sipil melalui pemberitaannya atau menciptakan tekanan diplomatik juga merupakan tindakan yang melanggar hukum; tidak ada yang secara langsung berkontribusi pada operasi militer.

Jika stasiun-stasiun tersebut menjadi sasaran militer yang sah karena digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan militer, prinsip proporsionalitas dalam penyerangan harus tetap dihormati. Ini berarti bahwa pasukan Israel seharusnya selalu memastikan setiap saat bahwa risiko terhadap penduduk sipil dalam melakukan serangan semacam itu tidak lebih besar daripada keuntungan militer yang diharapkan. Mereka semestinya mengambil tindakan pencegahan khusus sehubungan dengan bangunan yang terletak di daerah perkotaan, termasuk menyampaikan peringatan dini sebelum serangan dilakukan sejauh memungkinkan.

 

  1. Apa saja kewajiban kelompok bersenjata Israel dan Palestina terhadap lembaga kemanusiaan?

Berdasarkan hukum humaniter internasional, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengizinkan dan memfasilitasi penyaluran bantuan kemanusiaan yang tidak memihak secara cepat dan tanpa hambatan kepada masyarakat yang membutuhkan. Pihak-pihak yang bertikai harus setuju untuk mengizinkan dilakukannya operasi pemberian bantuan dan tidak boleh menolak persetujuan tersebut dengan alasan yang sewenang-wenang. Mereka dapat mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa kiriman tersebut tidak mencakup senjata atau perlengkapan militer lainnya. Namun, secara sengaja menghalangi pasokan bantuan adalah tindakan yang dilarang.

Selain itu, hukum humaniter internasional mewajibkan pihak-pihak yang bertikai untuk menjamin kebebasan bergerak bagi para personel bantuan kemanusiaan yang amat penting dalam menjalankan fungsi mereka. Pergerakan ini hanya dapat dibatasi sementara karena alasan kebutuhan militer yang sangat mendesak.

 

  1. Apakah hukum hak asasi manusia internasional masih berlaku?

Hukum hak asasi manusia internasional berlaku setiap saat, termasuk selama situasi konflik bersenjata di mana hukum perang berlaku, serta pada masa damai. Israel dan Palestina adalah pihak yang menandatangani perjanjian hak asasi manusia internasional inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Perjanjian-perjanjian ini menjabarkan jaminan atas hak-hak dasar, yang sebagian besar sesuai dengan perlindungan yang menjadi hak warga sipil berdasarkan hukum humaniter internasional (seperti larangan penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, nondiskriminasi, hak atas peradilan yang adil).

Meskipun ICCPR mengizinkan beberapa pembatasan terhadap hak-hak tertentu selama keadaan darurat publik yang diumumkan secara resmi yang “mengancam kehidupan bangsa,” setiap pengurangan hak-hak selama keadaan darurat publik harus bersifat pengecualian dan bersifat sementara, dan harus “dibatasi sejauh yang benar-benar diperlukan oleh keadaan darurat,” dan tidak boleh melibatkan diskriminasi atas dasar ras, agama, dan alasan lainnya. Hak-hak mendasar tertentu – seperti hak untuk hidup dan hak untuk merasa aman dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, larangan penahanan tanpa pengakuan, kewajiban untuk memastikan peninjauan yudisial atas keabsahan penahanan, dan hak untuk mendapatkan peradilan yang adil – harus selalu dihormati, bahkan dalam keadaan darurat publik.

 

  1. Siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum humaniter internasional?

Pelanggaran berat terhadap hukum perang yang dilakukan dengan maksud kriminal merupakan kejahatan perang. Kejahatan perang, yang tercantum dalam ketentuan “pelanggaran berat” dalam Konvensi Jenewa dan sebagai hukum kebiasaan dalam undang-undang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan sumber-sumber lain, mencakup beragam pelanggaran, antara lain serangan yang disengaja, membabi buta, dan tidak proporsional yang merugikan warga sipil, penyanderaan, menggunakan perisai manusia, dan penerapan hukuman kolektif. Individu juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena mencoba melakukan kejahatan perang, serta mendampingi, memfasilitasi, membantu, atau bersekongkol dalam kejahatan perang.

Tanggung jawab juga dapat dibebankan pada orang-orang yang merencanakan atau menghasut terjadinya kejahatan perang. Selain itu, para komandan dan pemimpin sipil dapat dituntut atas kejahatan perang sebagai tanggung jawab komando apabila mereka mengetahui atau seharusnya mengetahui terjadinya kejahatan perang dan tidak mengambil tindakan yang memadai untuk mencegahnya atau menghukum mereka yang bertanggung jawab.

Negara mempunyai kewajiban untuk menyelidiki dan mengadili secara adil individu-individu di wilayah mereka yang terlibat dalam kejahatan perang.

 

  1. Apakah dugaan kejahatan berat dapat dituntut di Mahkamah Pidana Internasional ICC?

Dugaan kejahatan perang yang dilakukan selama pertempuran antara Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina dapat diselidiki oleh jaksa penuntut Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pada 3 Maret 2021, jaksa ICC membuka penyelidikan atas dugaan kejahatan serius yang dilakukan di Palestina sejak 13 Juni 2014. Perjanjian ICC secara resmi mulai berlaku untuk Palestina pada 1 April 2015. Menurut para hakim di mahkamah, hal ini memberikan yurisdiksi atas wilayah yang diduduki Israel sejak tahun 1967, yaitu Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. ICC memiliki yurisdiksi atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida, yang dilakukan di wilayah ini, tanpa memandang kewarganegaraan pelakunya.

Israel menandatangani tetapi belum meratifikasi perjanjian ICC, dan pada tahun 2002 mengumumkan bahwa negara tersebut tidak berniat menjadi anggota mahkamah tersebut.

Sejak tahun 2016, Human Rights Watch telah meminta jaksa ICC untuk melakukan penyelidikan resmi terhadap Palestina karena ada bukti kuat bahwa sejumlah kejahatan serius telah dilakukan di sana dan iklim impunitas yang merajalela atas berbagai kejahatan tersebut. Pertempuran baru-baru ini antara Hamas dan Israel menyoroti pentingnya penyelidikan pengadilan dan kebutuhan mendesak akan keadilan untuk mengatasi kejahatan-kejahatan serius yang dilakukan di Palestina. Human Rights Watch juga mendesak jaksa ICC untuk menyelidiki otoritas Israel yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu apartheid dan penganiayaan terhadap warga Palestina.

 

  1. Apakah ada tempat lain yang tersedia untuk menuntut pertanggungjawaban?

Kategori kejahatan berat tertentu yang melanggar hukum internasional, seperti kejahatan perang dan penyiksaan, tunduk pada “yurisdiksi universal,” yang mengacu pada kemampuan sistem peradilan domestik suatu negara untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan tertentu, meskipun kejahatan tersebut tidak dilakukan di wilayahnya, oleh salah satu warga negaranya, atau terhadap salah satu warga negaranya. Perjanjian-perjanjian tertentu, seperti Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Konvensi Menentang Penyiksaan, mewajibkan negara untuk mengekstradisi atau mengadili tersangka pelaku kejahatan yang berada dalam wilayah negara tersebut atau berada di bawah yurisdiksinya. Berdasarkan hukum kebiasaan internasional, secara umum juga disepakati bahwa suatu negara diperbolehkan untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan lain, seperti genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana pun kejahatan tersebut terjadi.

Pejabat peradilan nasional semestinya menyelidiki dan mengadili mereka yang secara meyakinkan terlibat dalam kejahatan berat, berdasarkan prinsip yurisdiksi universal dan sesuai dengan hukum nasional.

Pada Mei 2021, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komisi Penyelidikan yang sedang bertugas untuk menangani pelanggaran dan penyelewengan di Wilayah Pendudukan Palestina dan di Israel, untuk memantau, mendokumentasikan, dan melaporkan pelanggaran dan penyimpangan hukum internasional, memajukan pertanggungjawaban bagi para pelaku dan keadilan bagi para korban, serta mengatasi akar penyebab dan penindasan sistematis yang turut memicu berlanjutnya kekerasan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.