Pemerintah Israel, yang termotivasi oleh hadiah besar untuk bergabung dengan program pembebasan visa AS yang diinginkan dan berharap bisa memenangkan hubungan masyarakat sehubungan dengan protes massa, meluncurkan program percontohan pada Juli lalu. Program ini memudahkan warga Palestina yang memegang kewarganegaraan AS untuk berkunjung ke Israel dan wilayah Palestina yang diduduki, sehingga memberikan sedikit kebebasan bergerak bagi sebagian kecil warga Palestina.
Sebagai seorang warga Israel sekaligus Yahudi Amerika yang menikah dengan seorang pengungsi Palestina dan tinggal di Tepi Barat yang diduduki, saya menanggapi perkembangan aneh ini dengan perasaan sukacita bercampur amarah.
Pertama, sukacita. Tiga minggu lalu, kami mengisi mobil kami dengan handuk dan mainan untuk satu hari di pantai Jaffa. Untuk sampai ke sana, kami harus melewati satu pos pemeriksaan dua mil di dalam Tepi Barat, di sebuah gerbang di pembatas yang menghalangi orang-orang Palestina keluar dari Israel dan sejumlah bagian Tepi Barat yang dibatasi untuk warga Israel.
Saya menurunkan suami saya di dekat sebuah celah pagar di pinggir jalan berdebu yang mengarah ke titik penyeberangan Palestina dan melewati pos pemeriksaan sisi Israel bersama kedua anak kami. Penjaga keamanan secara rasial memprofilkan saya dengan senyum "selamat pagi," yang dimaksudkan untuk memeriksa aksen Ibrani saya, dan mempersilakan kami lewat dengan lambaian tangannya. Hebatnya, mereka membiarkan suami saya menyeberang dengan berjalan kaki—berkat paspor AS yang baru diperolehnya.
Selama hampir 11 tahun terakhir, kami telah hidup bersama di Tepi Barat yang diduduki Israel. Dalam rentang waktu itu, suami saya hanya beberapa kali diizinkan memasuki wilayah Israel, meskipun orang tuanya lahir di pantai selatan Israel dan mengungsi sebagai anak-anak pada tahun 1948 ketika tentara Israel mendekati desa mereka. Orang tuanya belum diizinkan untuk pulang ke rumah, sebagai bagian dari kebijakan Israel untuk mempertahankan keunggulan demografis Yahudi.
Suami saya dibesarkan di sebuah kamp pengungsi di Gaza, tempat keluarganya masih tinggal. Dia berhasil pindah ke Tepi Barat, tetapi belum diizinkan untuk bergabung dengan saya di Israel—bahkan ketika putri kami yang baru lahir dirawat di rumah sakit selama sebulan di Tel Aviv. Dia juga tidak diizinkan melakukan perjalanan antara Gaza dan Tepi Barat, karena ketatnya pembatasan yang diberlakukan. Anak-anak kami belum pernah bertemu nenek mereka, yang tinggal 60 mil jauhnya.
Sebagai bagian dari kesepakatan bebas visa, pemerintah Israel mengatakan akan mengizinkan warga AS untuk mengunjungi kerabat tingkat pertama di Gaza setahun sekali. Dengan demikian, suami saya mungkin akan diizinkan untuk menjenguk ibunya yang sudah lanjut usia untuk kali pertama dalam 11 tahun.
Sekarang, amarahlah yang saya rasakan. Meskipun ada konsesi bagi sejumlah kecil warga Palestina yang memegang kewarganegaraan AS, sebanyak 5 juta warga Palestina lainnya di Gaza dan Tepi Barat masih belum bisa menggunakan hak mereka untuk bebas bergerak di seluruh wilayah Palestina yang diduduki. Sementara 5,9 juta pengungsi Palestina dan keturunan mereka yang terdaftar dan tinggal di luar daerah di mana mereka atau keluarga mereka tinggal sampai tahun 1948, belum mendapatkan hak untuk kembali ke wilayah yang sekarang disebut Israel. Memberikan visa kepada sejumlah kecil pengungsi Palestina merupakan tindakan yang keterlaluan, karena mereka tidak boleh diperlakukan sebagai turis di negeri sendiri.
Pemerintah Israel secara berturut-turut telah mengupayakan pembebasan visa AS, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil karena dua alasan utama. Pertama, hukum di AS mengharuskan warga dari negara-negara yang turut serta dalam program ini untuk memiliki tingkat penolakan visa tidak lebih dari 3 persen, tetapi AS rata-rata menolak 6 persen pengajuan visa dari warga Israel. Tingkat penolakan menurun sebagai akibat dari berkurangnya perjalanan selama pandemi, menciptakan jendela kelayakan yang unik.
Kedua, program pembebasan visa ini mengharuskan negara-negara anggota untuk menerima warga negara AS tanpa diskriminasi. Tetapi pihak berwenang Israel memberlakukan pembatasan gerakan yang ketat terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki, termasuk warga Palestina-Amerika, sementara mengizinkan pengunjung bepergian ke sana untuk warga negara AS lainnya.
Mereka juga secara terus-menerus mendiskriminasi warga AS asal Arab atau Muslim yang ingin masuk ke Israel atau Tepi Barat dan Gaza yang diduduki Israel, serta mereka yang lantang menyuarakan hak asasi warga Palestina. Mengantisipasi persetujuan AS untuk pembebasan visa secepatnya minggu depan, pemerintah Israel mencabut sebagian kecil dari pembatasan tersebut. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan berterima kasih kepada Presiden Joe Biden atas sikap yang didambakan dalam pertemuan mereka pada hari Rabu di New York, ketika para penentang kebijakan Netanyahu berdemonstrasi di luar hotel mereka.
Bahwa pemerintah sayap kanan Israel saat ini bersedia untuk tunduk pada kebijakan yang sebelumnya sangat keras kepala sebagai imbalan atas perjalanan bebas visa bagi warga negara Israel menunjukkan kekuatan pengaruh AS atas perilaku otoritas Israel. Jadi, saya juga merasakan ada harapan.
Bayangkan perubahan positif apa yang mungkin terjadi jika pemerintah AS mengindahkan seruan untuk menangguhkan dukungan militer tahunan senilai $ 3,8 miliar kepada Israel, selama otoritas Israel melanjutkan kebijakan dan praktik diskriminatif yang menurut sejumlah organisasi hak asasi manusia, pakar hukum dan bahkan beberapa cendekiawan Israel arus utama sama saja dengan apartheid.
AS memiliki semua keunggulan ini. Seharusnya negara tersebut menggunakan keunggulan itu untuk menekan pemerintah Israel agar menghormati hak-hak warga Palestina seperti nenek dari anak-anak saya untuk bepergian dengan bebas antara Gaza dan Tepi Barat, dan memasuki Israel bukan sebagai turis, melainkan sebagai pengungsi yang kembali ke kampung halaman.