Skip to main content

PBB Pangkas Jatah Makanan untuk Orang Rohingya di Kamp Bangladesh

Buruknya Kondisi Bisa Memaksa Pengungsi Kembali ke Bahaya di Myanmar

Sejumlah pengungsi Rohingya mengumpulkan kotak bantuan berisi makanan di sebuah titik distribusi di kamp Kutupalong dekat Cox's Bazar, Bangladesh, 14 Agustus 2018. © 2018 Ed Jones/AFP via Getty Images

Pada hari Kamis, Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP) memberikan para pengungsi Rohingya di Bangladesh babak baru pemotongan jatah makanan besar-besaran. Sebelumnya jatahnya sebesar US$12 per bulan, lantas turun menjadi hanya US$8 per bulan, dan hal ini memberikan tekanan bagi para pengungsi Rohingya di Myanmar.

Pelapor khusus PBB memperingatkan bahwa pemotongan itu akan menimbulkan konsekuensi " dapat diprediksi dengan mudah" yaitu "melonjaknya angka kekurangan gizi akut, kematian bayi, kekerasan, dan bahkan kematian." Beberapa pengungsi, kata mereka, mungkin terpaksa "mempertaruhkan nyawa mereka di laut, [daripada] menghadapi kelaparan dan bahkan kematian di kamp-kamp."   

Pemotongan jatah makanan ini, bersama dengan meningkatnya langkah-langkah pembatasan yang  diberlakukan oleh otoritas Bangladesh, serta kekerasan di kamp-kamp pengungsian yang jorok dan penuh sesak, meningkatkan tekanan pada para pengungsi untuk pulang.

Ini bukan kali pertama pemotongan jatah makanan disertai tekanan lain menjadi alasan pengungsi Rohingya untuk pergi.

Pada tahun 1978, pemerintah Bangladesh menggunakan makanan sebagai senjata untuk memaksa pengungsi Rohingya yang kelaparan kembali ke Myanmar, yang tetap berniat menganiaya mereka. Saat itu, seperti sekarang, para pengungsi Rohingya dikurung di kamp-kamp di daerah Cox's Bazar Bangladesh dan tidak diizinkan bekerja, sehingga mereka bergantung pada jatah makanan untuk bertahan hidup.

Sebuah laporan tahun 1979  oleh Alan C. Lindquist, kepala Sub-kantor Badan Pengungsi PBB di Cox's Bazar mengutip pernyataan sekretaris Kementerian Bantuan dan Rehabilitasi Bangladesh saat itu, Syed All Khasru, yang mengatakan, "Sangat baik untuk memiliki pengungsi yang gemuk dan cukup makan. Tapi... kami tidak akan membuat para pengungsi begitu nyaman sehingga mereka tidak akan kembali ke Burma [Myanmar]."

Laporan Lindquist mengatakan bahwa pada Desember 1978, antara 80 dan 85 orang meninggal setiap harinya di kamp-kamp Bangladesh. "Semakin banyak orang yang menyatakan diri mereka siap untuk kembali dan melarikan diri dari kondisi mengerikan di kamp-kamp Bangladesh," tulis Lindquist. "Mulai 15 November dan seterusnya, setidaknya 2.000 orang kembali setiap tiga hari, angka tertinggi yang ditentukan dalam perjanjian Juli [1978] antara kedua negara."

Pada akhir Maret 1979, lebih dari 107.000 Rohingya telah kembali ke Myanmar – dan lebih dari 11.900 telah meninggal dunia.

Kali ini, Program Pangan Dunia PBB, yang kekurangan dana dari para donor, melakukan pemotongan. Donor internasional, tidak kurang dari Bangladesh, memiliki tanggung jawab untuk tidak mengulangi sejarah. Myanmar jauh dari aman bagi Rohingya.  

Tetapi Bangladesh juga harus melonggarkan pembatasan dan mengizinkan para pengungsi itu mendapatkan uang untuk membeli makanan dan membantu mencegah jatuhnya korban tewas yang lebih banyak lagi.

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Tags