(Sydney) – Militer Myanmar menggunakan senjata “termobarik” atau bom vakum untuk menyerang gedung milik kalangan oposisi di Wilayah Sagaing pada 11 April 2023, yang menewaskan lebih dari 160 orang, termasuk anak-anak, kata Human Rights Watch hari ini.
Serangan udara yang menggunakan amunisi jenis “amunisi berdaya ledak tinggi” di desa Pa Zi Gyi di Myanmar bagian atas menyebabkan korban sipil yang tidak pandang bulu dan tidak proporsional. Ini melanggar hukum kemanusiaan internasional, dan jelas merupakan kejahatan perang. Pemerintah negara-negara asing seharusnya mencegah pendanaan, senjata, dan bahan bakar penerbangan mengalir ke militer Myanmar, yang terus melakukan pelanggaran serius tanpa mendapat hukuman.
“Penggunaan senjata oleh militer Myanmar yang dirancang untuk menyebabkan kematian maksimum di daerah yang dipadati warga sipil itu menunjukkan pengabaian secara terang-terangan terhadap nyawa manusia,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch. “Pemerintah negara-negara asing perlu memutus pendanaan, senjata, dan bahan bakar jet junta untuk mencegah kekejaman lebih lanjut.”
Sekitar 300 warga asal kota praja Kantbalu berkumpul pada 11 April, menjelang peringatan tahun baru Buddha, untuk membuka kantor administrasi yang dikendalikan oposisi di Pa Zi Gyi. Dua saksi mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa sekitar pukul 07.30, sebuah jet militer terbang rendah dan menjatuhkan setidaknya satu amunisi, yang meledak di tengah kerumunan orang yang berkumpul di sekitar gedung. Dalam beberapa menit, kata seorang saksi, sebuah helikopter tempur mengikuti dan menembakkan meriam, granat, dan roket ke kerumunan saat mereka mencoba melarikan diri.
Seorang warga Pa Zi Gyi mengatakan bahwa anggota Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), kelompok milisi anti-junta, menghadiri pembukaan tersebut. Kantor itu dimaksudkan untuk keperluan sipil seperti pengajuan pajak, rapat kota praja, dan proses peradilan. Saksi itu mengatakan PDF selain menyimpan barang, dana, dan obat-obatan, juga sejumlah amunisi, di kantor tersebut.
“Agenda acara tersebut terdiri dari pertemuan, hiburan, dan pemberian penghargaan,” kata saksi. “Ada banyak pengintai dan penjaga keamanan, tetapi mereka terutama khawatir dengan kemungkinan konvoi darat militer junta dan bukan serangan udara, jadi mereka terkejut.” Pria itu mengatakan beberapa anggota keluarganya termasuk seorang anak tewas dalam serangan itu.
Saksi kedua mengatakan, "Saya tiba di sana lebih awal, dan saya sedang berdiri di luar gedung ketika serangan dimulai sehingga saya mendapat kesempatan untuk lari mencari perlindungan.” Saksi tersebut mengaku melompat ke parit tepat saat sebuah amunisi meledak di dekat gedung. “Serangan pertama adalah [pesawat jet] yang membunuh semua orang di dalam dan menghancurkan gedung. Tapi rentetan serangan berikutnya oleh sebuah [helikopter] yang datang sesudahnya… menyerang dan membunuh para penyintas yang berlari menyelamatkan diri ke hutan terdekat.”
Human Rights Watch meninjau 59 foto tubuh korban dan video lokasi setelah serangan, dan menyimpulkan bahwa serangan awal dilakukan dengan amunisi jenis “amunisi berdaya ledak tinggi” yang dijatuhkan dari udara. Jenis senjata ini sering disebut "termobarik" atau "ledakan awan uap". Meskipun amunisi berdaya ledak tinggi dapat digunakan dalam beberapa cara, senjata-senjata itu umumnya berfungsi dengan prinsip yang sama: bahan peledak disebar sebagai awan uap yang menggunakan oksigen atmosfer sebagai bahan bakar saat diledakkan. Skala ledakan dan kerusakan termal pada bangunan, serta sifat luka bakar yang mendalam dan luka jaringan lunak dan luka parah yang diderita oleh para korban, sangat khas.
Senjata amunisi berdaya ledak tinggi punya kekuatan lebih daripada amunisi berdaya ledak tinggi konvensional dengan ukuran yang sebanding dan menimbulkan kerusakan signifikan di wilayah yang luas, dan dengan demikian rentan digunakan tanpa pandang bulu di daerah berpenduduk, kata Human Rights Watch.
Human Rights Watch juga meninjau delapan foto dan dua video dari sisa-sisa senjata yang diunggah secara daring dan yang disampaikan oleh oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dalam konferensi pers 14 April. Human Rights Watch tidak dapat secara pasti mengidentifikasi semua sisa-sisa itu. Namun, beberapa di antaranya konsisten dengan jenis senjata dan amunisi yang digunakan oleh jenis helikopter tempur, Mi-35, yang dikerahkan oleh militer Myanmar.
Di media pemerintah pada 11 April malam, militer Myanmar mengaku bertanggung jawab atas serangan udara tersebut. Seorang juru bicara militer, Zaw Min Tun, mengatakan mereka mengincar para anggota Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), dan bahwa korban jiwa yang jatuh adalah akibat serangan yang menghantam unit penyimpanan bahan peledak dan ranjau darat milik PDF, yang kemudian meledak.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) mengatakan mereka yang terbunuh sebagian besar adalah warga sipil asal Pa Zi Gyi, termasuk 40 anak-anak. Korban termuda berusia 6 bulan dan yang tertua berusia 76 tahun. Per tanggal 5 Mei, NUG mengatakan total 168 orang telah terbunuh dalam serangan itu. Human Rights Watch tidak dapat memastikan angka-angka tersebut.
Hukum kemanusiaan internasional yang berlaku untuk konflik bersenjata non-internasional di Myanmar mewajibkan semua pasukan yang bertikai untuk membedakan antara kombatan dan warga sipil, serta memastikan bahwa target serangan adalah sasaran militer dan bukan warga maupun fasilitas sipil. Kedua belah pihak diminta untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang layak untuk menghindari dan meminimalkan korban jiwa serta harta benda warga sipil, dan, jika memungkinkan, memberikan peringatan dini yang efektif jika ada serangan.
Hukum perang melarang serangan tanpa pandang bulu, yang mencakup penggunaan metode atau sarana pertempuran yang tidak dapat dibatasi dengan cara meminimalkan hilangnya nyawa warga sipil dan kerusakan fasilitas sipil secara insidental. Serangan-serangan yang diperkirakan bisa menyebabkan kerugian sipil yang tidak proporsional berhubungan dengan keuntungan militer yang konkret dan langsung yang bisa diantisipasi dalam serangan itu juga dilarang.
Kehadiran kombatan oposisi dan amunisi akan menjadikan bangunan itu sasaran militer yang sah untuk diserang. Meski begitu, penggunaan amunisi berdaya ledak tinggi untuk serangan itu adalah tindakan melanggar hukum karena digunakan di daerah sipil yang padat tidak dapat meminimalkan jatuhnya korban nyawa warga sipil. Selain itu, serangan awal dan serangan selanjutnya terhadap ratusan warga sipil yang melarikan diri hampir pasti merupakan serangan yang tidak proporsional secara hukum, dan bisa jadi merupakan serangan yang disengaja terhadap warga sipil.
Pelanggaran serius terhadap hukum kemanusian internasional yang dilakukan dengan maksud kriminal – yaitu secara sengaja atau sembrono – adalah kejahatan perang. Kejahatan perang termasuk serangan yang disengaja, membabi buta, dan tidak proporsional terhadap warga sipil, dan beragam kejahatan lainnya. Individu juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena mencoba melakukan kejahatan perang, serta membantu, memfasilitasi, atau bersekongkol melakukan kejahatan perang. Komandan yang mengetahui atau seharusnya mengetahui adanya pelanggaran oleh pasukannya dan gagal mengambil tindakan yang tepat dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai bagian tanggung jawab komando.
Serangan baru-baru ini di mana militer Myanmar mungkin bertanggung jawab atas pelanggaran hukum perang termasuk serangan udara pada 10 April di Negara Bagian Chin yang menewaskan sembilan warga sipil dan di Wilayah Bago pada 2 Mei yang menewaskan tiga warga sipil. Serangan udara dan darat di Wilayah Magway pada 21 April membakar sebuah rumah sakit yang didanai Jepang. Dan pada Maret, setelah militer merebut sebuah kota di Negara Bagian Shan, 22 orang dibunuh seketika, di mana pada tubuh banyak korban terlihat tanda-tanda penyiksaan.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada pertemuan berikutnya di Indonesia pada 9 hingga 11 Mei seharusnya mengisyaratkan dukungannya terhadap langkah-langkah yang lebih kuat guna memutus aliran dana militer dan mendesak junta untuk menjalankan reformasi.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa seharusnya menindaklanjuti resolusi bulan Desember tentang Myanmar dan pengarahan tindak lanjut bulan Maret dengan segera mempertimbangkan resolusi baru guna mencegah militer melakukan pelanggaran lebih lanjut, termasuk mengadopsi embargo senjata, merujuk Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan menjatuhkan sanksi yang menyasar para pemimpin junta dan perusahaan milik militer.
“Operasi militer junta Myanmar yang kejam bergantung pada kemampuannya untuk membeli senjata dan material,” kata Elaine. “ASEAN dan Dewan Keamanan PBB perlu mempertimbangkan kembali pendekatan omong kosong mereka terhadap junta Myanmar dan mengambil tindakan yang lebih tegas.”