(New York) – Petugas imigrasi Thailand secara paksa memulangkan tiga aktivis oposisi Myanmar kembali ke negara asal mereka, sehingga menempatkan ketiganya pada risiko penganiayaan dan pelanggaran lainnya, kata Human Rights Watch hari ini. Otoritas junta Myanmar seharusnya segera mengungkap keberadaan para aktivis – Thiha (38 tahun), Htet Nay Win (31), dan Saw Phyo Lay (26) – dan apa pun yang dituduhkan kepada mereka.
Pada 1 April 2023, pihak berwenang Thailand menangkap tiga anggota kelompok oposisi Lion Battalion Commando Column (Kolom Komando Batalyon Singa) di kota perbatasan Mae Sot wilayah Provinsi Tak dengan tuduhan masuk secara ilegal. Pada 4 April, petugas imigrasi Thailand menyerahkan mereka kepada Pasukan Penjaga Perbatasan yang bersekutu dengan junta di Kota Myawaddy, di Negara Bagian Karen, Myanmar.
“Para pejabat Thailand berkolusi dengan junta Myanmar dan secara tidak sah memulangkan ketiga aktivis oposisi ini, yang nyawa dan kebebasannya terancam,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch. “Otoritas Thailand mengabaikan bahaya besar yang dihadapi para pria ini di Myanmar.”
Media Myanmar melaporkan bahwa sejumlah anggota Pasukan Penjaga Perbatasan menembak dan melukai orang-orang itu ketika mereka mencoba melarikan diri. Berbagai sumber informasi mengatakan mereka kemudian diserahkan kepada pasukan keamanan junta.
Pemerintah Thailand telah meningkatkan kerja samanya dengan junta Myanmar dan pasukan yang bersekutu untuk melecehkan, menangkap, dan secara paksa memulangkan para pencari suaka, termasuk anggota kelompok oposisi yang melarikan diri ke Thailand sejak kudeta militer pada Februari 2021. Pada 22 Maret 2023, otoritas Thailand menggerebek 40 gedung di Mae Sot yang digunakan oleh anggota Pasukan Pertahanan Rakyat anti-junta dan para pencari suaka dari Myanmar.
Sejak kudeta, junta Myanmar telah melakukan kampanye nasional pembunuhan massal, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan serangan tanpa pandang bulu, yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Mengingat meluasnya pelanggaran hak asasi manusia oleh junta, pemulangan paksa pencari suaka dan pengungsi ke Myanmar melanggar prinsip hukum internasional nonrefoulement, yang melarang negara mengembalikan siapa pun ke suatu negara di mana mereka menghadapi risiko nyata penganiayaan, penyiksaan, atau bahaya serius lainnya. Meskipun Thailand bukan pendukung Konvensi Pengungsi tahun 1951, negara itu terikat pada prinsip nonrefoulement berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
Selain itu, Thailand telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dan menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Thailand telah memasukkan sejumlah ketentuan dari kedua perjanjian tersebut ke dalam Undang-Undang tentang Pencegahan dan Penghapusan Penyiksaan dan Penghilangan Paksa yang baru saja disahkan. Undang-undang itu melarang tindakan mendeportasi atau mengekstradisi seseorang ke negara lain di mana ada alasan kuat untuk percaya bahwa mereka akan disiksa atau dihilangkan secara paksa.
“Otoritas Thailand dan Myanmar tampaknya telah membuat kesepakatan yang menempatkan pencari suaka dalam risiko besar,” kata Elaine. “Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah yang terkait seharusnya secara terbuka menekan Thailand agar mengakhiri pelanggaran serius terhadap hukum internasional ini dan menuntut Myanmar agar segera mempertanggungjawabkan tiga aktivis oposisi yang dideportasi ini.”