Besok, awal tahun ajaran di Afghanistan, adalah hari berduka bagi anak-anak perempuan Afghanistan dan dunia. Anak-anak itu berduka karena hak mereka atas pendidikan dan kegagalan dunia mengambil tindakan untuk menghentikan pelarangan tersebut.
Hari ini adalah hari ke-550 di mana anak-anak perempuan itu tidak diperbolehkan menikmati hak untuk mengenyam pendidikan. Rezim misoginis Taliban telah menjadikan Afghanistan satu-satunya negara yang melarang anak perempuan untuk menempuh pendidikan di sekolah menengah.
Taliban menutup sekolah bagi anak-anak perempuan ketika mereka mengambil alih Afghanistan, tetapi mereka berjanji untuk menghormati hak anak perempuan atas pendidikan. Tetapi pada hari sekolah perempuan dibuka kembali, 23 Maret 2022, tanpa rasa malu Taliban mengingkari janji tersebut dan memulangkan mereka.
Cara Taliban sungguh kejam. Mereka membuat anak-anak perempuan itu menunggu hari sekolah dengan gembira tapi pada hari itu Taliban menyuruh mereka pulang. Anak-anak itu pulang sambil menangis, namun masih berharap untuk kembali bersekolah.
Namun, akhir tahun lalu, Taliban mengukuhkan pengabaian mereka terhadap perempuan dengan melarang pendidikan universitas bagi perempuan.
Berbagai aturan ini tidak hanya mengukuhkan reputasi Taliban karena mengabaikan perempuan dan anak perempuan sebagai pemegang hak, mereka juga membuktikan bahwa Taliban tak peduli pada kesejahteraan Afghanistan sebagai sebuah bangsa. Tidak ada negara yang bisa membayangkan masa depan sejahtera tanpa perempuan yang terpelajar, dan Afghanistan, dengan tingkat buta huruf tertinggi di dunia, sedang menghadapi masa depan yang kelam.
Taliban juga menutup sekolah perempuan dari tahun 1996 hingga 2001, merampas satu generasi perempuan dari setidaknya lima tahun belajar, berkembang, dan menjadi apa yang mereka inginkan. Sejarah kini berulang, dengan alasan, kebohongan, dan janji-janji palsu yang Taliban suarakan. Sementara itu, anak perempuan di Afghanistan kehilangan harapan dan tahun-tahun terbaik dalam hidup mereka.
Tahun lalu, saya mewawancarai Atefa (16 tahun), yang berusaha menjelaskan ketidakberdayaan yang dirasakannya, dan berkata, “Bagi anak-anak perempuan Afghanistan, bumi tak tertahankan, dan langit tak terjangkau.” Satu tahun kemudian kepada saya dia bilang: “Saya hanya punya satu pertanyaan, apakah para pemimpin dunia akan diam saja jika putri mereka dilarang sekolah?”
Taliban perlu segera membalikkan tatanan misoginis ini, kembali membuka sekolah dan universitas untuk perempuan dan anak perempuan, dan berhenti menyerang masa depan perempuan, anak perempuan, dan negara.
Sementara bagi para pemimpin dunia, pertanyaan Atefa seharusnya bisa memicu tindakan yang cepat, pragmatis, dan bermakna.