Tentara Nasional Indonesia (TNI) akhirnya mengakhiri apa yang disebut “tes keperawanan” sebagai bagian dari proses perekrutan prajurit perempuan.
Pekan lalu, Kepala Pusat Kesehatan TNI Mayor Jenderal TNI Budiman, mengumumkan bahwa ketiga matra TNI – Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara – telah “secara efektif mengakhiri tes keperawanan” untuk perekrutan.
Tindakan pertama militer menentang praktik kekerasan ini bermula pada Juni 2021 ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) saat itu Jenderal TNI Andika Perkasa mengeluarkan perintah kepada para komandan di jajaran TNI AD bahwa perekrutan prajurit perempuan semestinya hanya boleh dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk mengambil bagian dalam pelatihan fisik. Saat itu ia juga memerintahkan agar tunangan para prajurit laki-laki yang mengajukan izin menikah tidak perlu lagi menjalani pemeriksaan kesehatan, termasuk “tes keperawanan”.
Tapi meski ada perintah dari (KASAD) itu, pada Agustus 2021 pihak TNI mengatakan bahwa "tes keperawanan" masih menjadi aturan, menyiratkan bahwa Angkatan Laut dan mungkin Angkatan Udara tidak mau mengikuti larangan yang diberlakukan di Angkatan Darat tersebut. Ini baru berubah setelah Presiden Joko Widodo mengangkat Andika sebagai Panglima TNI yang membawahi ketiga matra tersebut pada November tahun lalu.
Apa yang disebut "tes keperawanan" itu adalah bentuk kekerasan berbasis gender. Tes tersebut mencakup praktik invasif memasukkan dua jari ke dalam vagina untuk menilai apakah seorang perempuan sebelumnya pernah berhubungan seks. Pada November 2014, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan pedoman yang menyatakan, “Tidak ada tempat untuk tes keperawanan (atau tes ‘dua jari’); tes itu tidak memiliki validitas ilmiah.”
Human Rights Watch untuk kali pertama mengungkap penggunaan "tes keperawanan" oleh pasukan keamanan Indonesia pada 2014. Tetapi, meski Kementerian Dalam Negeri dan Polri telah menghentikan tes itu, pemerintah gagal menghentikan praktik tersebut di jajaran TNI.
Pemerintah Indonesia sepatutnya menyelidiki trauma puluhan tahun yang kebijakan ini hadirkan pada para perempuan serta memberikan dukungan bagi mereka yang terdampak. Ini penting bagi militer dan bangsa pada umumnya untuk memahami kerugian yang ditimbulkan dan mencegah perlakuan buruk serupa di masa depan. Perempuan yang ingin bergabung dengan angkatan bersenjata di negara ini tidak seharusnya mengatasi diskriminasi dan pelecehan untuk bisa menjadi personel militer.