Suatu hari pada April 2018, saat hujan turun seharian, saya mengendarai speedboat kecil di sepanjang Sungai Kapuas di Provinsi Kalimantan Barat, menuju tiga desa rawa pasang surut, yang penduduknya memprotes perluasan perkebunan kelapa sawit di lahan pertanian dan pemukiman milik mereka.
Pemerintah telah mengizinkan sebuah perusahaan kelapa sawit untuk mendirikan dan memperluas perkebunannya di daerah tersebut. Perusahaan telah membuka dan mengeringkan lahan gambut, penyerap karbon yang penting, dan menanam pohon kelapa sawit di lahan yang telah digunakan penduduk desa selama berpuluh-puluh tahun. Dalam prosesnya, perusahaan itu sama sekali mengesampingkan bagaimana sejumlah tindakannya yang melanggar hak tanah penduduk desa, menyebabkan hilangnya mata pencarian bagi para perempuan desa, yang sebagian besar bekerja sebagai petani, dan berkontribusi pada krisis iklim global.
Penduduk desa memiliki informasi yang terbatas tentang di mana perkebunan kelapa sawit bermula atau berakhir dan bagaimana atau di mana perkebunan itu tumpang-tindih dengan tanah mereka. Kalangan perempuan bahkan memiliki lebih sedikit informasi daripada laki-laki, dan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk bernegosiasi langsung dengan perusahaan tentang kerugian mereka. Selama kunjungan saya itu, para perempuan ini mengatakan kepada saya bahwa ketika mereka mulai memprotes perluasan perkebunan kelapa sawit, perusahaan hanya bertemu dengan laki-laki desa guna membahas kemungkinan kompensasi.
Hilangnya mata pencarian membuat para perempuan di desa semakin rentan terhadap perubahan iklim, karena telah memengaruhi ketahanan pangan dan sumber pendapatan mereka. Para perempuan itu akan menghadapi lebih banyak kesulitan dalam mengatasi atau beradaptasi dengan berbagai efeknya dan bakal menjadi salah satu kelompok yang paling terpukul.
Di seluruh dunia, ada banyak cerita serupa. Perempuan berjuang setiap hari supaya hak mereka atas tanah dan hak milik mereka diakui dan dihormati. Pada saat yang sama, pemerintah gagal memprioritaskan partisipasi perempuan dalam mengembangkan dan melaksanakan rencana aksi iklim yang ambisius guna memenuhi tujuan menjaga suhu agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celcius dan untuk menghindari efek paling dramatis, termasuk untuk hak atas tanah dan hak-hak perempuan.
Seiring rencana aksi iklim yang mendesak dibuat, kita juga perlu mempertimbangkan bagaimana diskriminasi gender mempermudah degradasi lingkungan dan melemahkan inisiatif tata kelola hutan dan bagaimana perempuan masih menanggung beban kerusakan lingkungan dan perubahan iklim lokal. Kita perlu memastikan agar perempuan dan komunitas yang terkena dampak iklim mendapatkan kekuatan dan suara.
Perempuan sering kali tidak dapat berpartisipasi secara bermakna dalam pengambilan keputusan di sekitar sumber daya alam – seperti air, hutan, dan lahan – tempat mereka tinggal. Sebagian besar perempuan pedesaan tidak memiliki akses dan kontrol yang setara atas sumber daya alam dengan laki-laki di komunitas mereka.
Pengecualian ini dapat menghancurkan perempuan dan keluarga mereka. Secara global, kesepakatan lahan berskala besar dan pertanian komersial yang disebut-sebut sebagai peluang pembangunan telah memperburuk kemiskinan dan kerawanan pangan di komunitas lokal yang mereka pengaruhi. Hutan dibuka atau ditutup, membatasi akses untuk mencari makan. Warga desa kehilangan akses ke lahan pertanian untuk penghidupan dan pendapatan dari penjualan tanaman. Praktik-praktik ini secara tidak proporsional berimbas pada perempuan pekerja, yang dipaksa untuk mengambil pekerjaan kasar dan berat di pertanian atau perkebunan komersial atau bermigrasi ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan.
Pada saat yang sama, perempuan harus menggabungkan jam kerja mereka di perkebunan dengan pekerjaan di rumah seperti mengambil air, menyiapkan makanan, pengasuhan, yang meningkatkan beban kerja mereka tanpa kompensasi yang adil. Perubahan iklim hanya akan membuat tugas-tugas ini semakin sulit, semakin memperburuk ketidaksetaraan gender.
Orang-orang di desa-desa yang saya kunjungi di Kalimantan Barat mengakui bahwa beberapa orang mendapatkan pekerjaan bergaji ketika perkebunan tiba. Namun mereka mengeluh karena tidak punya pilihan lain untuk menghidupi keluarga mereka, sementara sebelumnya mereka sanggup hidup dari tanah dan akses ke hutan. Beberapa penduduk desa mengatakan bahwa persyaratan kerja tidak adil, dengan target kerja harian yang mustahil dicapai.
Semua anggota keluarga terkadang harus bekerja, termasuk anak-anak, untuk memenuhi target perusahaan meskipun hanya satu anggota keluarga yang dipekerjakan dan dibayar oleh perkebunan. Bethari, seorang perempuan berusia 44 tahun dengan bayi berusia delapan bulan, mengatakan kepada saya: “Suami saya bekerja di perkebunan. Saya dan putra-putra kami harus membantunya untuk mencapai target. Saya bekerja sambil menggendong bayi, sebab dia tidak mungkin ditinggal di rumah..”
Sering kali, perluasan perkebunan berkontribusi pada degradasi lingkungan, yang lebih lanjut membahayakan kehidupan dan kesehatan penduduk. Perusahaan kelapa sawit menggali parit besar untuk mengeringkan lahan gambut untuk persiapan penanaman. Tindakan mereka merusak struktur gambut dan lingkungan sekitarnya, dan melepaskan ke atmosfer sejumlah besar gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida, dari karbon yang tersimpan selama berabad-abad di dalam tanah gambut. Pengeringan lahan gambut yang berlebihan merupakan penyebab utama kebakaran hutan di Indonesia pada 2015.
Jika pemerintah tidak memantau bagaimana perusahaan mendapatkan lahan dan mengelola operasi mereka, orang-orang dan lingkungan terdekat berada dalam risiko. Ketika lahan gambut dan hutan terlibat, kita semua menderita karena emisi karbon dari perusakan penyerap karbon ini mendorong krisis iklim secara global.
Seminggu setelah mengunjungi desa-desa yang terkena dampak budi daya kelapa sawit, saya kembali ke Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat. Saya menyaksikan hutan bakau berkerumun di sepanjang tepian Kapuas dengan kecepatan tinggi. Saya tak bisa menahan marah karena pemerintah Indonesia tidak berbuat cukup untuk melindungi lahan dan masyarakat, banyak hutan bakau mungkin juga sudah ditebangi untuk membuka jalan bagi perkebunan.
Indonesia hanyalah salah satu dari banyak negara yang perlu meningkatkan upaya untuk melindungi hak atas tanah masyarakat lokal, memastikan kesetaraan gender, dan melindungi lingkungan. Pemerintah perlu menegakkan komitmen untuk mengurangi emisi secara drastis, memastikan bahwa strategi untuk melestarikan penyerap karbon seperti hutan dan lahan gambut juga melindungi hak atas tanah dan hak asasi manusia lainnya yang disandang masyarakat pedesaan, serta memastikan agar perempuan bisa berpartisipasi secara bermakna dalam keputusan terkait sumber daya alam dan iklim di semua tingkatan.