Pada 27 November, kelompok militan Islamis menyerang Lembantongoa, sebuah desa dengan penduduk mayoritas beragama Kristen di Sulawesi Tengah, membunuh tetua desa dan menewaskan tiga petani Kristen lainnya. Para pelaku penyerangan juga membakar gereja Bala Keselamatan dan enam rumah setempat. Akibatnya, sekitar 750 warga desa terpaksa meninggalkan rumah mereka demi menyelamatkan diri. Serangan keji ini merupakan gambaran meningkatnya ancaman yang dihadapi kelompok minoritas agama di Indonesia.
Warga desa yang berhasil menyelamatkan diri menyampaikan kepada polisi bahwa Ali Kalora, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT), beserta 10 orang lainnya mendatangi desa mereka dan menuduh tetua desa, Yasa, telah melaporkan keberadaan kelompok mereka kepada polisi. Ali Kalora dikabarkan menikam Yasa dengan sebilah pisau di hadapan keluarganya, lalu menyerang menantu prianya dan dua anggota keluarga Yasa yang mencoba menghentikan serangan tersebut.
Presiden Joko Widodo mengutuk pembunuhan ini sebagai “tindakan yang berada di luar batas kemanusiaan,” dan memerintahkan pihak kepolisian dan militer untuk menemukan mereka yang bertanggung jawab. Meski seruan tersebut penting, serangan ini mencerminkan permasalahan yang jauh lebih dalam.
Sebagai organisasi yang berafiliasi dengan Negara Islam (ISIS), MIT sebelumnya telah melakukan penyerangan yang menyasar orang-orang yang mereka klaim sebagai “non-Muslim” dan “Muslim yang menyembah selain Allah.” Sejak 2012, organisasi ini telah menewaskan setidaknya 20 orang. Korban mereka termasuk para petani dan warga Muslim, Kristen, dan Hindu yang dituduh telah membantu polisi.
Dalam pertemuan dengan DPR pada tahun lalu, Kapolri Idham Azis menyampaikan bahwa polisi kesulitan menangkap para anggota MIT karena mereka “didukung oleh penduduk setempat. Hampir sebagian masyarakat di sana itu simpatisan kelompok Ali Kalora.” Pada 2016, polisi membunuh Santoso, pendahulu Ali Kalora, dalam sebuah aksi baku tembak. Ribuan pelayat menghadiri pemakamannya sebagai seorang “syahid”.
Penyerangan terhadap kelompok minoritas di Indonesia telah menjadi krisis yang sebagian besar terabaikan selama sepuluh tahun terakhir. Setiap tahunnya, Human Rights Watch mendokumentasikan ratusan serangan yang semakin kejam yang dilancarkan oleh para militan. Solusi atas permasalahan ini tidaklah mudah, namun kondisi ini hanya akan menjadi semakin buruk selama pemerintah tidak memiliki strategi koheren yang mencakup pendidikan, peningkatan kesadaran, penindakan terhadap ujaran kebencian oleh para pejabat, pemberantasan perdagangan senjata ilegal, dan memastikan bahwa tindakan polisi tetap menghargai hak asasi. Pemerintah negara-negara asing seyogianya secara terbuka mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan pelindungan hak bagi kelompok minoritas agama.