(New York) – Pemerintah Indonesia semestinya segera mengusut penggerebekan polisi terhadap pesta pribadi yang dihadiri 56 laki-laki di Jakarta, sebab tindakan tersebut mencerminkan ancaman terhadap hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia, menurut Human Rights Watch hari ini. Pada 29 Agustus 2020, polisi membubarkan paksa sebuah pesta yang digelar di sebuah hotel, dan menangkap sembilan orang laki-laki atas dugaan tindak pidana “mengadakan tindakan cabul” berdasarkan UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang diskriminatif terhadap kelompok LGBT.
Tuduhan tersebut melanggar hak atas privasi, hak berkumpul, dan hak atas perlakuan yang setara di mata hukum, dan seharusnya segera dicabut oleh aparat.
“Penggerebekan terakhir ini hanyalah satu dari sekian tindakan yang menunjukkan pola aparat, dengan memanfaatkan UU Pornografi sebagai senjata untuk menyasar kelompok LGBT,” kata Kyle Knight, peneliti senior di Human Rights Watch untuk hak-hak LGBT. “Pemerintah telah melancarkan serangan terhadap komunitas LGBT selama bertahun-tahun, dan hingga kini tidak ada pertanggungjawaban atas pelanggaran seperti yang dilakukan polisi dalam menggerebek ruang-ruang privat.”
Pasal 296 KUHP melarang seseorang yang “mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain.” Ancaman hukumannya adalah paling lama 16 bulan penjara.
Penggerebekan di Jakarta ini merupakan bagian dari pola selama bertahun-tahun dari rentetan aksi aparat yang sewenang-wenang menahan warga LGBT di ruang-ruang privat. Pemerintah pusat tidak pernah mengkriminalisasi perilaku seksual sesama jenis, tapi tidak ada payung hukum yang khusus mengatur perlindungan warga LGBT dari diskriminasi. Meningkatnya retorika dan serangan anti-LGBT sejak 2016 telah mengakibatkan penerapan sejumah klausul diskriminatif dalam UU Pornografi yang mengincar kelompok LGBT untuk ditangkap dan dikenai tuntutan.
UU Pornografi 2008 melarang “pembuatan, penyebaran, atau penyiaran pornografi yang mengandung perbuatan seksual menyimpang,” yang mencakup: hubungan seks dengan mayat, seks dengan binatang, seks oral, seks anal, seks lesbian, dan hubungan seks sesama laki-laki. Selain itu, Pasal 36 UU Pornografi melarang orang memudahkan tindakan cabul untuk tujuan komersil, dengan hukuman pidana paling lama 10 tahun penjara.
Sekelompok aktivis, termasuk mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi LGBT, mencoba menggugat UU Pornografi itu ke Mahkamah Konstitusi pada 2009, namun gugatan tersebut ditolak.
Meski sebelumnya UU tersebut tidak ditujukan secara khusus untuk mengincar warga LGBT, dalam beberapa tahun terakhir pihak kepolisian menggunakan UU ini sebagai dalih untuk secara sewenang-wenang melakukan penggerebekan dan penangkapan. Pengadilan pun telah menjatuhkan sanksi pidana kepada sejumlah laki-laki gay hanya karena mereka berkumpul di ruang privat.
Pada September 2017, Pengadilan Negeri Surabaya memutus bersalah tujuh orang laki-laki yang ditangkap dalam sebuah penggerebekan polisi di sebuah pesta pada April 2017. Ketujuh orang tersebut dihukum penjara antara 18 hingga 30 bulan berdasarkan UU Pornografi.
Pada Oktober 2017, Polres Jakarta Pusat menggerebek sebuah klub yang populer di kalangan laki-laki gay, dan menangkap 58 orang. Polisi membebaskan sebagian besar orang pada hari yang sama, namun menahan lima pegawai klub –empat laki-laki dan seorang perempuan– dan mengancam akan menuntut mereka karena melanggar UU Pornografi. Mereka kemudian dibebaskan tanpa dakwaan.
Pada 15 Desember 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan hukuman penjara antara dua hingga tiga tahun kepada 10 orang laki-laki atas dakwaan melanggar UU Pornografi. Polisi menangkap kesepuluh orang tersebut, bersama dengan 131 lainnya, dalam sebuah penggerebekan di Atlantis Gym, sebuah fasilitas sauna yang sering didatangi laki-laki gay di Jakarta, pada Mei 2017. Kesepuluh orang tersebut dihukum karena dituduh sedang tidak mengenakan busana ketika digerebek, sehingga mereka dianggap melanggar pasal yang melarang pornoaksi.
Pada Januari 2018, Polres Cianjur, Jawa Barat, menggerebek rumah pribadi di mana lima laki-laki sedang berkumpul. Dengan mengutip UU Pornografi, polisi menyampaikan kepada para wartawan bahwa kelima laki-laki tersebut ditangkap saat sedang menggelar “pesta seks”, dan menggunakan kondom serta pelumas sebagai barang bukti.
Serupa dengan aksi aparat yang memanfaatkan UU Pornografi untuk mengincar kelompok LGBT, pada Januari 2020, Walikota Depok, Jawa Barat, memerintahkan polisi untuk menggerebek rumah-rumah pribadi dan mencari “aksi tidak bermoral” untuk “mencegah penyebaran LGBT.” Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam perintah tersebut, dan menyatakan bahwa retorika dari pejabat publik semacam ini akan meningkatkan risiko persekusi terhadap warga LGBT.
Berdasarkan laporan kepolisian mengenai penggerebekan terakhir di Jakarta, unit pasukan yang terdiri dari 31 anggota kepolisian di bawah pimpinan Ajun Komisaris Polisi Jerry Raimond Siagian ternyata telah memantau acara pribadi tersebut sebelum mereka melangsungkan penggerebekan.
Hak atas privasi merupakan perlindungan mendasar yang menjamin otonomi fisik dan identitas setiap manusia, termasuk perlindungan atas perilaku seksual antara orang dewasa atas dasar suka sama suka, menurut Human Rights Watch. Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia, lembaga ahli independen yang bertugas menafsirkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia menjadi salah satu pihaknya, menyatakan, “Tidak dapat disangkal bahwa kegiatan seksual antara orang dewasa atas dasar suka sama suka tercakup dalam hal yang pribadi dan dilindungi oleh konsep ‘privasi.’”
Di tingkat global, Indonesia telah memperjuangkan hak-hak privasi dengan mensponsori bersama sebuah resolusi Dewan HAM PBB tentang hak atas privasi. Dalam laporan tentang resolusi tersebut, Kantor Komisioner Tinggi PBB tentang Hak Asasi Manusia mengingatkan pemerintah negara-negara di dunia bahwa hak atas privasi (yang tertuang dalam pasal 17 ICCPR) semestinya ditegakkan bersama dengan hak atas non-diskriminasi (ICCPR, pasal 26).
Polri sepatutnya menghentikan penggerebekan sewenang-wenang di ruang-ruang privat, mengusut berbagai aksi penggerebekan yang telah dilakukan, dan menghukum mereka yang terlibat di dalam penggerebekan tersebut serta pihak-pihak yang memerintahkannya, menurut Human Rights Watch. Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang sebelumnya telah menyuarakan dukungannya terhadap warga LGBT di Indonesia, semestinya kembali menegaskan larangan atas tindakan diskriminatif oleh kepolisian.
Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya merevisi substansi RUU KUHP agar memenuhi standar hak asasi manusia internasional. RUU tersebut mengandung pasal-pasal yang melanggar sejumlah hak warga LGBT. Salah satu ketentuan dalam RUU KUHP akan menghukum tindakan seks di luar nikah dengan ancaman pidana hingga satu tahun penjara. Meski tidak secara khusus menyebutkan perilaku seks sesama jenis, namun hubungan sesama jenis tidak diakui secara sah di Indonesia, sehingga ketentuan tersebut secara praktis mengkriminalisasi semua perilaku sesama jenis.
“Kombinasi dari eksploitasi UU Pornografi yang diskriminatif dengan minimnya akuntabilitas atas pelanggaran polisi terbukti berbahaya sekaligus bertahan lama,” ujar Kyle Knight. “Selama pemerintah membiarkan penggerebekan warga yang berkumpul di ruang-ruang privat oleh kepolisian atas dasar hukum yang diskriminatif, negara akan tetap gagal membendung pelecehan dan intimidasi terhadap warga LGBT.”