Satu kelompok yang menentang komunitas Lesbian, Gay dan Transjender (LGBT) sedang bersiap untuk menghadapi kelompok pro-LGBT yang melakukan protes tandingan di Monumen Tugu, Yogyakarta, pada 23 Pebruari.

“Permainan Politik Ini Menghancurkan Hidup Kami”

Kelompok LGBT Indonesia dalam Ancaman

Satu kelompok yang menentang komunitas Lesbian, Gay dan Transjender (LGBT) sedang bersiap untuk menghadapi kelompok pro-LGBT yang melakukan protes tandingan di Monumen Tugu, Yogyakarta, pada 23 Pebruari. © 2016 Andreas Fitri Atmoko/Antara

Ringkasan

Hak-hak minoritas jender dan seksual di Indonesia telah mengalami serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2016 ini. Sekalipun kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) telah secara sporadik menghadapi retorika penuh kebencian dan serangan kekerasan selama tiga dekade sebelum ini, mereka masih mampu mendapatkan pijakan dan semakin mendapat pengakuan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Dan, sekalipun tidak ada undang-undang nasional yang secara spesifik melindungi mereka dari diskriminasi, pemerintah pusat tak pernah mengkriminalisasi mereka.

Akan tetapi, sejak awal Januari 2016, serangkaian pernyataan publik anti-LGBT yang dilontarkan oleh pejabat pemerintah, telah berkembang menjadi riam ancaman dan kebencian terhadap LGBT Indonesia, baik yang dinyatakan oleh komisi Negara, kaum Islamis militan, dan organisasi keagamaan arus utama. Derasnya arus intoleransi ini mengakibatkan pengusulan rancangan undang-undang yang akan menjadi ancaman jangka panjang yang serius untuk hak-hak dan keselamatan LGBT Indonesia.

Pada 24 Januari 2016, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengatakan, dia akan melarang organisasi mahasiswa LGBT di kampus-kampus universitas. Belakangan dia menarik kembali peryataannya di Twitter—namun sudah agak terlambat. Dalam beberapa minggu, pernyataan-pernyataan anti-LGBT, mulai dari yang tidak masuk akal hingga ke pewahyuan akan bencana, ramai mewarnai media-media di Indonesia. Dalam sebuah seminar kesehatan ibu hamil, seorang walikota mengingatkan ibu-ibu muda untuk berhenti makan mie instan. Menurut dia, para ibu harus memberikan waktu dan perhatian untuk memasak makanan bernutrisi untuk anak, bukan memberi makanan instan. Karena itu, menurut dia, tak heran jika saat ini banyak LGBT. Selain itu, Menteri Pertahanan melabeli aktivisme hak-hak LGBT sebagai proxy war terhadap bangsa Indonesia yang dipimpin oleh orang asing, dan perang itu lebih berbahaya dari bom nuklir: ”Itu bahaya karena kita tak bisa melihat siapa musuh kita, tahu-tahu dicuci otaknya. Kini (LGBT) ingin merdeka segala macam, itu benar-benar sebuah ancaman.. Dalam perang nuklir, jika bom jatuh di Jakarta, Semarang tak akan hancur—tapi dalam proxy war, semuanya bisa hilang dalam sekejap—itu berbahaya.”

Kelompok-kelompok organisasi massa keagamaan dan organisasi-organisasi non-pemerintah juga ikut dalam seruan anti-LGBT ini. Terdapat seruan yang menuduh adanya “propaganda oleh kaum gay” dan himbauan untuk melakukan sensor. Para psikiater menyatakan bahwa orientasi seksual sesama jenis dan identitas transjender adalah “penyakit kejiwaan”. Bahkan organisasi Muslim di negeri ini menyerukan pengkriminalisasian perilaku dan aktivisme LGBT, dan memaksa “rehabilitasi” bagi kaum LGBT. Dalam tiga bulan, hiruk pikuk ini mulai menurun, kepanikan moral menyurut, namun dampaknya tetap dirasakan orang-orang LGBT di Indonesia.

Laporan ini mencatat pasang naiknya retorika anti-LGBT pada awal 2016, serta ancaman dan serangan kekerasan terhadap lembaga swadaya masyarakat, aktivis, dan individu LGBT, terutama oleh Islamis militan, selama Januari hingga April 2016. Dalam beberapa kasus, ancaman dan kekerasan tersebut terjadi ditengah-tengah kehadiran, dan sepengetahuan pejabat-pejabat pemerintah atau aparat keamanan. Kelompok LGBT mengatakan pada Human Rights Watch bahwa peningkatan retorika anti-LGBT juga menyebabkan meningkatnyapermusuhan dari anggota keluarga dan lingkungan tetangga.

Sentimen anti-LGBT bukannya tidak dikenal di Indonesia. Dalam beberapa dekade belakangan ini, kaum Islamis militan telah menyerang kegiatan-kegiatan publik komunitas LGBT, dalam beberapa kasus bahkan menghentikan atau memaksa pembatalan acara yang terjadwal sebelumnya. Aktivis mengatakan mereka tidak percaya bahwa polisi akan melindungi mereka saat mereka menghadapi intimidasi atau kekerasan yang sudah dirancang sebelumnya. Secara khsuus, situasi di Provinsi Aceh sangat buruk. Aceh, satu-satunya wilayah di Indonesia yang diizinkan menerapkan Syariah (hukum Islam) sepenuhnya,, menetapkan hukuman 100 cambukan di depan umum bagi orang yang tertangkap melakukan hubungan seksual sesama jenis. Para pejabat Aceh secara terbuka memicu sentimen anti-LGBT, dengan menyebut orang LGBT sebagai “ancaman” yang “menyusup” kedalam provinsi ini.

Sebelum Januari 2016, di Indonesia, sebagian besar kaum minoritas gender dan seksual hidup di antara toleransi dan prasangka. Kehati-hatian dipakai untuk membeli keselamatan: banyak kaum LGBT Indonesia memilih untuk hidup tanpa mengungkapkan secara terbuka orientasi seksual atau identitas gender mereka, untuk melindungi diri dari diskriminasi atau kekerasan. Namun, pada awal 2016, kombinasi ucapan dan tindakan dari para pejabat pemerintah, kelompok-kelompok militan dan kelompok massa agama yang menyulut intoleransi terhadap kaum LGBT, telah membuat rusaknya hak asasi manusia individu LGBT. Apa yang dimulai dengan kecaman publik dengan cepat tumbuh menjadi himbauan kriminalisasi dan “penyembuhan”, yang menyingkap secara terbuka kedalaman dan keluasan prasangka-prasangka yang dimiliki oleh para pejabat sebagai individu.

Ketika para aktivis tetap tegar dalam komitmen untuk melindungi konstituen mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka, pemerintah telah gagal dalam menegakkan komitmen HAM internasional. Sebaliknya, para pejabat pemerintah mengipasi api kebencian dan intoleransi, dan prasangka anti-LGBT dilembagakan melalui serangkaian peraturan dan rancangan perundang-undangan.

Komunitas LGBT bukanlah satu-satunya kelompok minoritas yang diserang di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini. Seperti yang sudah didokumentasikan oleh kelompok-kelompok hak asasi Indonesia, seperti Human Rights Watch, dan lain-lain, kelompok-kelompok minoritas keagamaan telah mengalami peningkatan dalam hal pelecehan, intimidasi, dan kekerasan dari tangan kaum militan Islamis. Kegagalan pemerintah untuk merespon dengan tegas—dalam beberapa kasus bahkan secara aktif ikut memfasilitasi pelecehan dan intimidasi atau dengan menerbitkan peraturan dan keputusan diskriminatif—telah membuat kelompok keagamaan minoritas menjadi rentan. Kegagalan sebanding dalam menghadapi naiknya ancaman anti-LGBT, bisa memiliki konsekuensi mematikan bagi kaum LGBT Indonesia.

Langkah ke depan membutuhkan kepemimpinan dari pemerintah Indonesia. Alih-alih menghujat kaum LGBT, pejabat pemerintah harus membuat kebijakan publik untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia dari kekerasan dan diskriminasi. Keputusan-keputusan komisi-komisi negara yang diambil berdasarkan informasi yang salah, harus dibatalkan. Dan pemerintah harus berkomitmen untuk melindungi pertemuan aktivis-aktivis hak asasi manusia LGBT, termasuk meminta pertanggungjawaban aparat keamanan pada saat mereka lalai menjalankan tugasnya ketika menghadapi ancaman dari kaum Islamis militan.

Metodologi

Human Rights Watch melakukan penelitian untuk laporan ini antara September 2015 dan Juni 2016, termasuk wawancara mendalam dengan 70 orang LGBT dan aktivis hak asasi manusia di Jakarta, Yogyakarta, beberapa kota di Sulawesi Selatan, di Sumatera dan Aceh. Juga termasuk wawancara dengan 17 waria (atau perempuan transjender), delapan pria transjender, 13 lesbian, dan satu pria biseksual.

Kami melakukan wawancara-wawancara tersebut di lokasi yang aman, terkadang jauh dari lingkungan rumah dan kota narasumber, dan semua nama orang LGBT dalam laporan ini disamarkan. Dalam beberapa kasus, kami merahasiakan lokasi wawancara dan hal lain yang berpotensi diketahuinya karakteristik narasumber, untuk tujuan keamanan. Wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, dengan interpretasi bahasa Inggris secara berurutan. Narasumber diberitahu tentang bagaimana informasi yang dikumpulkan akan digunakan, dan diberitahu bahwa mereka bisa menolak wawancara atau mengakhiri wawancara kapanpun mereka inginkan. Penggantian biaya transportasi dibayar mulai 1USD hingga 5 USD, tergantung jarak masing-masing yang ditempuh narasumber. Tak ada bayaran lain yang dilakukan untuk wawancara.

Informasi yang disajikan dalam laporan ini, tentang serangan kekerasan tertentu pada sejumlah pertemuan, didasarkan pada wawancara berulang terhadap peserta dan mereka yang menyaksikan insiden-insiden tersebut atau, seperti yang akan ditunjukkan, pada sumber-sumber sekunder yang telah kami verifikasi pada aktivis atau saksi-saksi.

Selama meningkatnya “krisis LGBT” pada 2016 ini, Human Rights Watch berhubungan dengan pejabat pemerintah Indonesia lewat serangkaian pertemuan dan surat menyurat, seperti yang dijelaskan pada poin-poin yang relevan dalam laporan ini (semua surat dilampirkan dalam laporan ini).

Batas-batas Toleransi untuk Kaum LGBT di Indonesia

Minoritas gender dan seksual di Indonesia, termasuk kaum waria [1] dan mereka yang disebut sebagai lesbian, gay, biseksual, dan transgender, hidup dalam iklim yang relative toleran, berdasarkan kehati-hatian. Seperti yang dijelaskan antropolog Tom Boellstorff dalam bukunya tahun 2007 tentang kehidupan kaum Queer di Indonesia, “Toleransi’ terhadap homoseksualitas itu ada hanya karena orang Indonesia merahasiakan praktik-praktik homoseksual ini dan tidak menyatakan secara terbuka identitas homoseksual mereka.”[2]

Salah satu kelompok yang paling awal dibentuk adalah Lambda Indonesia, yang diluncurkan Maret 1982. Lantas diikuti oleh GAYa NUSANTARA, didirikan Agustus 1987 di Surabaya oleh sekelompok aktivis, termasuk akademisi Dede Oetomo. Pada 1990-an, Oetemo menulis bahwa “kelompok fundamentalis Islam tak agresif terhadap kita,” sambil menyampaikan anekdot:”Satu contoh di Bandung, ada seorang pria berujar seperti [‘kamu tempatnya di neraka’], maka dia akan diminta untuk duduk oleh hadirin lainnya. Dalam budaya Asia Tenggara ia dianggap lebih tak sopan ketika berbicara seperti itu kepada seseorang seperti saya, seorang gay, yang (saat itu) berbicara di depan publik.” [3]

Namun ketika gerakan ini berkembang, beberapa orang menjadi takut bahwa dengan membuka profil mereka pada publik bisa meningkatkan risiko diserang. Bahkan ketika situasi relatif stabil, pemerintah Indonesia menahan diri untuk terlibat dengan kelompok masyarakat sipil LGBT. Hal ini sering terjadi akibat tekanan organisasi keagamaan. Pada tahun 1996 Oetemo menulis:

Awalnya, ketika mulai terjadi epidemi AIDS, Kementerian Kesehatan cukup mendukung… Namun mereka dengan cepat menyesali apa yang telah mereka lakukan karena mereka dikecam oleh.. pemimpin agama Muslim, oleh beberapa pemimpin Kristen dan oleh kalangan kelas menengah. Lama-lama, kita kehilangan dukungan dari Kementerian Kesehatan Indonesia. Itu sampai pada titik di mana Komisi AIDS Nasional Indonesia secara tidak resmi mendorong lembaga-lembaga dana untuk mengurangi pendanaan proyek-proyek yang berhubungan dengan gay.[4]

Serangkaian politisasi homophobia termasuk didalamnya serangan terhadap pertemuan waria dan acara LGBT oleh kelompok-kelompok Islam garis keras, yang membingkai kaum LGBT dan aktivisme hak asasi manusia mereka sebagai ancaman terhadap Islam, bangsa Indonesia maupun keduanya. [5] Sekalipun diserang, kelompok-kelompok masyarakat sipil Indonesia yang bekerja dengan orang LGBT terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir; United Nations Development Programme (UNDP) melaporkan bahwa ada 120 lembaga swadaya masyarakat di negara ini yang bekerja bersama kelompok minoritas gender dan seksual. [6]

Seperti kata seorang pengamat, inti dari gagasan “pergerakan” inilah yang memicu kejengkelan kelompok-kelompok Islamis militan dan pendukung-pendukungnya di pemerintahan, yang mencurigai bahwa “gerakan LGBT kelihatannya adalah perjuangan melawan diskriminasi, namun ada sesuatu yang mungkin tersembunyi dibaliknya: yaitu sebuah grand design yang mengancam persatuan nasional. “[7]

Semakin Sering Muncul Lebih Berisiko

Bagi Oetomo dan kawan-kawannya, pembukaan diri memang telah meningkatkan dukungan dari gerakan progresif pembela hak asasi LGBT di Indonesia yang mereka memang menjadi sekutu mereka, namun hal itu juga meningkatkan risiko yang mereka hadapi. Sebagian besar ancaman yang tercatat dengan baik dan tindak kekerasan terhadap orang LGBT dalam beberapa dekade terakhir dilakukan kelompok fundamentalis agama yang menargetkan pertemuan-pertemuan kaum LGBT dan pada aktivis;[8] dalam sejarahnya kelompok-kelompok ini memang tidak menyerang individu berdasarkan orientasi seksual.[9] Dengan kata lain, kecurigaan bahwa kelompok LGBT akan berserikat dan mempengaruhi publik lebih menjadi pemicu yang kuat untuk melakukan serangan daripada bias terhadap mereka yang dianggap menjadi bagian dari minoritas gender dan seksual. Seorang waria di Sulawesi Selatan mengatakan pada Human Rights Watch: “Fundamentalis tak pernah menyerang orang per orangan, hanya pertemuan- mereka tidak kuatir terhadao kami sebagai individu karena kami selalu ada di sini. Mereka gelisah terhadap ide-ide yang berkaitan dengan kami—misalnya pernikahan sesama jenis.”[10]

Barangkali, contoh paling gamblang tentang kegagalan negara dalam melindungi hak warga untuk berserikat dan berkumpul adalah ketika kongres Asosiasi Lesbian dan Gay (ILGA) tahun 2010 di Surabaya yang dibubarkan oleh polisi di bawah tekanan kelompok Islam militan. Setelah polisi mengatakan kepada wartawan bahwa mereka menolak mengeluarkan izin untuk acara “karena alasan keamanan” dan karena “banyak pihak yang melakukan protes”, [11] beberapa politisi, perwakilan dari Komnas HAM dan lembaga swadaya masyarakat Indonesia mengeluarkan pernyataan dukungan atas pertemuan tersebut.[12] Pemimpin agama menanggapi hal ini dengan menyatakan bahwa mereka sendiri yang akan mengantar peserta asing konferensi ini hingga ke bandara.[13]

Para staf ILGA dan GAYa NUSANTARA memutuskan untuk meminta peserta menghadiri pertemuan yang lebih kecil di sebuah hotel yang berbeda. Tak hanya beberapa jam pertemuan kecil dimulai, tim pengawas dari mahasiswa melaporkan ada delapan organisasi Islam—termasuk beberapa yang punya sejarah main hakim sendiri—berencana datang ke tempat tersebut. ILGA lantas membatalkan pertemuan tersebut dan mengevakuasi peserta. Front Pembela Islam (FPI) tiba di hotel tersebut dan menyerbu posko GAYa NUSANTARA—juga menulis pesan dengan cat semprot di dinding “Gay dan lesbian adalah teroris moral.” Untuk mengakhiri demontrasi di hotel, GAYa NUSANTARA memanggil Banser, pemuda pasukan keamanan Nahdhatul Ulama, dan meminta mereka datang ke hotel dan membubarkan demonstrasi (lihat catatan kaki di bawah,” The NU and political power”).[14]

Di tahun yang sama, kelompok-kelompok Islam mengancam akan membakar tempat dilaksanakannya Festival Film Q!, sebuah film LGBT yang diadakan di Jakarta.[15] Dalam insiden penting, lainnya pada Mei 2012 FPI menggagalkan dan mengancam kehadiran seorang penulis lesbian Muslim dari Kanada, Irshad Manji. Di Yogyakarta di bulan yang sama, peluncuran buku Irshad Manji terpaksa dihentikan setelah kelompok radikal Islam, Majelis Mujahidin Indonesia menyerang acara tersebut yang membuat sejumlah hadirin terluka. [16]

Dalam setiap insiden ini, yang oleh kelompok garis keras secara publik diklaim sebagai kemenangan agama dan bangsa, selalu terdapat dukungan diam-diam—baik melalui tindakan dan pengabaian—dari pemerintah Indonesia. Dalam banyak kasus, saat para aktivis dan pengacara bantuan hukum menekan pihak berwajib untuk menginvestigasi insiden-insiden kekerasan kekerasan, seringkali hanya penyelidikan asal-asalan saja yang dilakukan, dan sepanjang pengetahuan kami, tak ada satupun bisa diidentifikasi dan bisa dimintai pertanggungjawabannya.

Hal yang sama juga terjadi pada ancaman dan serangan yang terjadi belakangan. Misalnya, para aktivis di Yogyakarta menerangkan adanya serangan terhadap sebuah pertemuan untuk memperingati the Transgender Day of Remembrance tahun 2014, yang diserang oleh kelompok ekstremis agama tak dikenal; empat peserta terluka, dua diantaranya harus dibawa ke rumah sakit. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta meminta polisi setempat melakukan pengusutan, namun kesulitan untuk dapat tanggapan atau informasi tentang penyelidikan yang tengah berlangsung tersebut. Akhirnya mereka membujuk polisi untuk mendekati pihak bank, yang lokasinya berdekatan dengan tempat kejadian perkara, agar mereka bisa melihat kamera pengaman dan mencoba mengidentifikasi penyerang, ”tetapi mereka mengatakan (rekaman) telah dihapus, dan karena itu kita tak memiliki bukti yang cukup,” kata pengacara yang mendampingi korban pada Human Rights Watch.[17] Tak ada perkembangan lebih lanjut dalam penyelidikan ini dan tak ada pihak yang dimintai pertanggungjawaban untuk serangan ini.

Sebuah laporan pada tahun 2016 berjudul “Upaya Negara Menjamin Hak Minoritas di Indonesia (Sebuah Laporan Awal),” Komnas HAM Indonesia mengatakan bahwa kaum LGBT “sering menjadi sasaran diskriminasi dan penganiayaan.” Mengacu pada serangan terhadap konferensi ILGA-Asia tahun 2010 di Surabaya misalnya, Komnas HAM mengatakan “di Indonesia, Negara terlibat sebagai pelaku atau melakukan pelanggaran aktif” atas hak asasi manusia LGBT.[18]

Peraturan Daerah Diskriminatif

Indonesia tak pernah mengkriminalisasi perilaku seksual sesama jenis dalam hukum nasionalnya.[19] Namun sejak 1999, Indonesia telah mendesentralisasi sistem hukumnya, dan sekalipun pemerintah pusat memiliki kekuasaan atas urusan agama, pemerintah daerah dapat menetapkan dan menegakkan hukum atas berbagai isu. Di beberapa daerah, desentralisasi telah memungkinkan pejabat-pejabat daerah untuk membuat peraturan daerah (Perda) yang menyasar atau melanggar hak-hak asasi kaum LGBT. Penelitian Arus Pelangi, sebuah gabungan organisasi LGBT nasional, mengungkapkan adanya sejumlah Perda- yang dikeluarkan provinsi, kabupaten dan kota dalam beberapa tahun terakhir—yang mengklasifikasikan homoseksual sebagai “perilaku tak bermoral” dan memberlakukan hukuman atas pelanggaran tersebut.[20]

Peraturan daerah yang mendiskriminasi orang berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender harus dilihat dalam konteks meluasnya pola-pola Perda yang diinspirasi oleh Syariah yang bermunculan selama beberapa tahun terakhir ini. Sekalipun “Islamisasi” sering dianggap sebagai penyebabnya, dengan kelompok-kelompok konservatif agama yang menjadi pengusul dari Perda tersebut, namun sejumlah peneliti menilai bahwa sesungguhnya elit politik lokal yang oportunis, yang berusaha berkuasa dengan memeluk “nilai-nilai konservatif”, seringkali menjadi pemain kuncinya. Seperti yang dijelaskan peneliti Indonesia Elizabeth Pisani:”(Perda-perda) ini dikeluarkan sebagian besar untuk alasan kepentingan politik. Entah karena mereka membawa uang tunai, atau mereka menciptakan peluang patronase, atau politisi mengira bahwa dirinya populer dan ini akan membantu dalam kampanye pemilihan kembali.”[21]

Penelitian ilmuwan politik Michael Buehler memperlihatkan bahwa Perda Syariah di Indonesia telah memungkinakan para politisi untuk menumpuk kekayaan dan kekuasaan politik. Buehler menulis: ”ini dilakukan terutama oleh politisi-politisi yang berafiliasi dengan partai-partai sekuler seperti Golkar dan PDI-P, yang sebelumnya biasanya memiliki karir panjang di birokrasi, militer, atau polisi, yang menyusun, mengadopsi dan menerapkan peraturan Syariah tersebut.”[22] Menurut Buehler, Perda syariah merupakan “ekspresi dari perubahan” dalam dinamika kekuasaan politik pasca-1998, termasuk dampak dari pemilihan kepala daerah langsung untuk walikota, bupati dan pejabat daerah lain yang sebelumnya ditunjuk oleh Jakarta, dan dari meningkatkan persentase penerimaan pajak yang dikembalikan ke daerah. Dengan kata lain, karena pemerintah secara resmi terdesentralisasi, demikian pula politik patronase dan korupsi politik, dengan lebih banyak kesempatan bagi para pejabat daerah untuk masuk dalam aliran pendapatan pemerintah atau pendapatan lain dari masyarakat. Dan karena lemahnya partai politik di tingkat lokal karena beberapa dekade kediktatoran yang brutal, elit-elit politik lokal di berbagai daerah melihat peluang untuk mendukung penerapan Perda-perda keagamaan, agar terlihat sebagai pilar penyangga moralitas, yang membantu mereka memenangkan pemilu, dan untuk menggalang dukungan keuangan. [23]

Aktivis LGBT di daerah dengan Perda Syariah mengatakan pada Human Rights Watch bahwa ketentuan-ketentuan —bahkan bila tidak secara spesifik menyebut homoseksualitas— telah memberdayakan kelompok-kelompok ekstrimis agama di wilayah itu, memberikan mereka kekuatan politik yang lebih besar dan perasaan bahwa mereka boleh menyerang minoritas tanpa dikenai hukuman. Seorang waria 32 tahun di Sulawesi Selatan mengatakan pada Human Rights Watch: “Yang paling menakutkan dari kelompok-kelompok Islamis di Makasar adalah… Bahkan jika kami ingin bikin pertemuan kecil untuk waria tentang pendidikan soal HIV atau lainnya, kami tahu FPI akan muncul dan mengganggu kami.”[24] Waria lain yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat mengatakan pada Human Rights Watch bahwa ruang publik untuk mengadakan pertemuan semakin berada di bawah ancaman selama beberapa tahun terakhir: “Tak mungkin lagi untuk mengadakan acara di Makasar. Jika kami ingin melakukan itu, kami harus dapat izin FPI.”[25]

Pada tahun 2016, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo memberikan harapan palsu bahwa pemerintah akan mencabut perda-perda yang melanggar konstitusi.[26] Namun, setelah mengetahui bahwa banyak perda di seluruh negeri yang tak kondunsif untuk pembangunan, dia kemudian menjelaskan,”(Perda-perda yang dibatalkan) adalah perda-perda tentang investasi. Kami tidak mengganggu perda Syariah Islam.”[27] Sehingga, ketika menegaskan bahwa pemerintah akan membatalkan 3.143 perda bermasalah “yang menjadi halangan bagi investasi,” pemerintah akan mengabaikan perda Syariah diskriminatif lainnya.

Meningkatnya Intoleransi di Indonesia

Reaksi penentangan yang kuat terhadap kaum LGBT yang dianggap sebagai ancaman bagi bangsa mungkinmengejutkan, namun ia tak terjadi begitu saja. Khusus untuk isu homoseksualitas, Boellstorff, pada 2007, menyatakan bahwa,”Saat bangsa dianggap terancam terdisintegrasi, upaya dari orang-orang yang berada di luar norma untuk masuk ke dalam masyarakat sipil bisa dianggap sebagai ancaman untuk bangsa itu sendiri.” [28] Indonesia telah menyaksikan adanya peningkatan yang ajeg dalam intoleransi terhadap minoritas-- terutama agama minoritas-- selama beberapa tahun terakhir, dan serangan-serangan terhadap kaum LGBT terjadi ditengah-tengah manuver politik antara para pejabat dan kelompok-kelompok radikal keagamaan. Editor enior The Jakarta Post Endy Bayuni, menulis pada Maret 2016,"Beberapa suara yang membela hak-hak LGBT, telah tenggelam, atau lebih tepatnya digertak (bullied), oleh suara yang makin kencang bahwa komunitas LGBT adalah musuh masyarakat nomor satu di Indonesia," sambil menyesali "LGBT tak bisa berpaling kepada orang-orang yang biasanya bersuara untuk kaum minoritas yang teraniaya.”[29] Atau seperti yang dikatakan veteran analis Indonesia, Sidney Jones pada 2015: "Dulu pernah ada kontes-kontes kecantikan waria, hal yang tidak akan bisa lagi Anda saksikan di Indonesia dalam jutaan tahun ke depan. Ada upaya dari beberapa kelompok untuk memaksakan penegakan moralitas oleh negara, sesuatu yang tidak pernah kita lihat sebelumnya di Indonesia.”[30]

Dalam sebuah laporan tahun 2013, Human Rights Watch mencatat terjadinya serangan sistematis terhadap keoompok minoritas agama dan hak milik mereka yang dilakukan oleh kelompok militan Islam, serta keengganan pemerintah untuk campur tangan mencegah kekerasan tersebut.[31] Dalam investigasi tahun 2016, Human Rights Watch menemukan bahwa para pejabat Indonesia dan aparat keamanan telah terlibat dalam penggusuran paksa dengan kekerasan terhadap lebih dari 7.000 anggota komunitas agama Gafatar dari rumah-rumah mereka di Kalimantan[32] antara Januari dan Maret 2016.[33] Hubungan yang dekat antara kelompok militan Islam seperti FPI dengan aparat penegak hukum telah memperluas sanksi sosial dan kekebalan hukum bagi penyerangan terhadap kaum minoritas ini. Semangat nasionalis telah membuka ruang untuk mencaci kaum minoritas dan ini dipakai sebagai cara untuk mencari perhatian.[34]

Sebagian dari tindakan tersebut dimungkinkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan yang diskriminatif, termasuk undang-undang penistaan agama yang secara resmi hanya mengakui enam agama, dan peraturan rumah ibadah yang secara signifikan menaikkan pengaruh warga mayoritas terhadap kelompok minoritas.

Lembaga pemerintahan Indonesia juga berperan dalam pelanggaran hak dan kebebasan mereka yang beragama minoritas di negara itu. Lembaga-lembaga tersebut, yang meliputi Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) di bawah Kejaksaan Agung, dan lembaga semi resmi, Majelis Ulama Indonesia, telah mengikis kebebasan beragama dengan mengeluarkan peraturan dan fatwa (putusan agama) terhadap agama minoritas dan menggunakan otoritas posisi mereka untuk menuntut “penista agama”.

Kasus Aceh

Jika ada satu contoh tindakan pemerintah daerah yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban Indonesia menegakkan hukum internasional, maka itu ada di Provinsi Aceh. Aceh menikmati otonomi relative dari pemerintah pusat sebagai Daerah Administrasi Khusus, termasuk didalamnya sebuah sistem hukum yang semi independen.[35] Pada 27 September 2014, DPRD Aceh menyetujui Qanun Jinayah, sebuah peraturan daerah yang menggantikan unsur hukum pidana dengan ketentuan Syariah bagi Muslim, dan dalam kasus tertentu, juga non-Muslim. Diantaranya, peraturan ini mengkriminalisasi tindakan seksual konsensual sesama jenis serta semua zina (hubungan seksual di luar nikah). Ia melarang liwath (sodomi) dan musahaqah (lesbianism), dan mengancam hukuman hingga 100 cambukan dan 100 bulan penjara karena tindakan seksual sesama jenis.[36]

Ketentuan Syariah di Aceh ditegakkan oleh polisi Syariah kota, atau Wilayatul Hisbah (dikenal dengan singkatan, WH), dan juga oleh tetangga dan anggota masyarakat, yang diberi kuasa oleh ketentuan hukum ini untuk menindak tersangka pelanggar. [37] Pemimpin Aceh telah memicu homophobia. Pada tahun 2012, sementara perda ini masih diperdebatkan di DPRD Provinsi, Wakil Walikota Aceh, Illiza Sa'aduddin mengusulkan hukuman yang lebih keras untuk homoseksualitas. Dia mengatakan pada media: "Jika kita mengabaikannya, ia akan jadi seperti gunung es... Bahkan jika satu kasus homoseksual ditemukan, itu sudah masalah... Kita benar-benar khawatir dengan perilaku dan kegiatan komunitas gay, karena perilaku mereka yang menyimpang dari syariat Islam."[38] Pada 2013, setelah Illiza terpilih jadi Walikota Banda Aceh (yang menjalankan pemerintahan), dia mengatakan pada wartawan bahwa "homoseksual telah merambah kota kami.”[39] Pada Februari 2016, Illiza mengumumkan dia akan membentuk tim khusus untuk membuat masyarakat lebih waspada terhadap "ancaman LGBT" dan untuk "melatih" orang LGBT "kembali ke kehidupan normal.”[40]

WH menjadikan orang LGBT sebagai target di tempat umum.[41] Beberapa hari setelah Qanun Jinayah berlaku, WH menangkap dua perempuan muda, usia 18 dan 19 tahun, karena berangkulan di depan umum, menuduh mereka lesbianisme, dan menahan mereka selama tiga malam di kantor WH di Banda Aceh.[42] Saat interogasi, WH menunjukkan serangkain foto dan menanyakan apakah mereka mengenal orang-orang tersebut dan apakah mereka orang-orang LGBT. Foto-foto yang ditunjukkan pada mereka diambil petugas WH selama sweeping dan penangkapan. Beberapa lainnya diambil langsung dari media sosial, termasuk Facebook. Salah satu foto tersebut adalah teman dekat mereka, dan melihat itu mereka bereaksi yang membuat petugas WH curiga. Teman mereka yang fotonya ditunjukkan oleh WH tersebut mengatakan pada Human Rights Watch:"Sejak saya tahu bahwa WH punya foto saya di file mereka, sekarang saya hanya meninggalkan rumah dalam keadaan darurat-- tak aman untuk pergi keluar jika tak benar-benar harus, misalnya untuk membantu seseorang yang telah diserang atau diganggu.”[43] Ketika WH melepaskan mereka pada hari keempat, mereka dibawa ke fasilitas rehabilitasi yang dijalankan pemerintah untuk konseling agama selama tujuh hari.

Saat situasi nasional memburuk pada 2016, orang LGBT di Aceh terus mengalami tekanan.[44] Pemerintah kota di Bireuen, sebuah kota pantai, mengeluarkan surat pada 7 Maret menyerukan semua pemilik usaha menolak mempekerjakan orang LGBT. [45] Sejumlah LSM yang sudah beroperasi secara diam-diam, terpaksa meninggalkan kantor dan menghancurkan data mereka—juga ikut meninggalkan pelayanan-pelayanan seadanya untuk kaum LGBT yang ada di propinsi ini. Aktivis di luar Aceh mengevakuasi beberapa pembela hak asasi LGBT dari provinsi tersebut.

Anatomi Krisis

Apa yang membuat 'krisis LGBT' sekarang ini memprihatinkan adalah peran yang dimainkan para pejabat dan organisasi kenegaraan, dan seiring dengan itu ancaman untuk menerapkan kebijakan dan undang-undang anti-LGBT— sebuah ancaman yang dalam beberapa kasus sudah dilakukan dengan kecepatan mengagumkan.

—Antropologis Tom Boellstorff, Maret 2016[46]

Gencarnya Serangan Retorik, Realitas Kekerasan

Pada 24 Januari, koran kanan Republika, menerbitkan headline halaman depan "LGBT Ancaman Serius". Isinya berdasarkan "penelitian" Republika yang menemukan bahwa "jumlah penganut gaya hidup LGBT berkembang pesat" dan menjelaskan bahwa "anggota komunitas LGBT secara terbuka muncul di media sosial, khususnya lewat twitter,"di mana mereka menjadikan anak-anak sebagai target informasinya. Klaim bahwa populasi LGBT sedang berkembang pesat, dan para aktivis LGBT merusak anak-anak melalui informasi yang disebarkan oleh media sosial, mencerminkan kesalahpahaman umum tentang kaum LGBT di Indonesia.

Meskipun nada keseluruhan artikel itu tak mengejutkan, namun rincian informasinya justru berpotensi menimbulkan kerusakan yang nyata. Artikel ini mengutip Muhammad Nasir Djamil, seorang politisi Aceh dan mantan wartawan yang berbasis di Banda Aceh, yang menyalahkan modernitas sebagai penyebar homoseksualitas di Indonesia, dan seorang "mantan lesbian" yang tidak disebutkan namnya, yang memperingatkan bahwa homoseksualitas dapat menyebar lebih cepat daripada obat bius—hampir setiap hari ada lesbian baru."[47]

Surat kabar Islam konservatif Republika menerbitkan headline “LGBT Ancaman Serius,” di halaman depan pada 26 Januari 2016, mengikuti komentar-komentar Menristek yang mengatakan dia ingin melarang kelompok-kelompok mahasiswa LGBT.  © 2016 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Di hari yang sama dengan terbitnya artikel di Republika ini, Menristek Mohammad Nasir,[48] mengecam Support Group and Resource Center on Gender and Sexuality Studies (SGRCGSS) di Universitas Indonesia,[49] sebuah kelompok yang menyediakan informasi tentang jender dan seksualitas kepada para mahasiswa dan akademisi. Menteri ini mengecamnya karena tidak "sesuai dengan nilai-nilai dan moral bangsa Indonesia."[50] Nasir menambahkan bahwa dia melarang keberadaan kelompok akademik berorientasi LGBT di universitas.[51] Nasir kemudian memodifikasi pernyataannya melalui media sosial, mengatakan bahwa "sebagai warga negara, orang LGBT harus menerima perlakuan sama di mata hukum," tapi ia kemudian segera menambahkan bahwa "ini tak berarti negara harus melegitimasi status LGBT."[52]

Hingga tanggal 20 Maret, dalam waktu hanya dua bulan, ada 17 pejabat dan lembaga pemerintah di seluruh negeri yang mengeluarkan pernyataan mengutuk kaum LGBT, kampanye hak asasi manusia untuk orang LGBT, atau keduanya. Seperti yang dikatakan salah satu aktivis di Medan:"Saya tahu LGBT adalah isu sensitif, tapi saya tak menyangka itu menjadi besar secepat ini." [53]


Kecaman Nasir terhadap kelompok LGBT di Universitas Indonesia (SGRCGSS) tak terjadi begitu saja. Pada bulan-bulan sebelumnya memang telah ada pernyataan dan tindakan dari orang-orang yang kurang begitu terkenal yang menyerang kaum LGBT. Misalnya, pada November 2015 pihak berwenang di Universitas Brawijaya membatalkan acara bertema LGBT dan mengklaim bahwa mereka menerima ancaman serangan dari sumber yang tak disebutkan namanya.[54] Pada bulan yang sama Rektor Univeritas Lampung mengancam akan memecat mahasiswa atau dosen yang terlibat dalam pengorganisasian atau karya akademik yang berhubungan dengan LGBT.[55] Komentar Nasir juga didahului oleh beberapa laporan dari perwakilan lembaga swadaya masyarakat internasional pada akhir 2015 dan awal 2016 bahwa pihak intelijen meminta mereka untuk menghentikan semua kegiatan yang berhubungan dengan LGBT demi "keamanan nasional". Sumber tersebut mengatakan pada Human Rights Watch karena hal itu akan "menghindari provokasi kelompok agama untuk melakukan kekerasan."

Yang sangat menjadi masalah dari kecaman Nasir adalah bahwa ia berasal dari seorang menteri, jabatan tertinggi di pemerintah, meningkatkan bahaya bagi kelompok yang memang sudah rentan. Pernyataan-pernyataan selanjutnya dari pejabat tinggi pemerintah telah membangkikan keberanian kelompok-kelompok yang membenci kaum LGBT dan membuat mereka bertindak tanpa merasa bersalah. Seperti yang dikatakan seorang aktivis di Medan:

Masalahnya bahwa pemerintah menyatakan bahwa kita itu berdosa atau sakit, telah membikin kelompok yang tak tahu apa-apa tentang LGBT belajar tentang kita lewat cara ini- dan lantas jika mereka butuh orang untuk diserang, mereka bisa datangi kami, karena pada dasarnya mereka dapat dukungan pemerintah.[56]

Penghinaan-penghinaan yang terjadi selanjutnya memperlihatkan bahwa para pejabat ini tidak segan-segan untuk mengeksploitasi isu LGBT lebih jauh untuk kepentingan politik mereka. Misalnya, beberapa analis melihat komentar Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 23 Februari, bahwa pergerakan perjuangan hak-hak LGBT adalah "jenis perang modern", sebagai usaha untuk meniup-niupkan kecemasan terhadap keamanan nasional Indonesia.[57] Departemen Pertahan dan militer mengadakan sebuah program yang bernama "Bela Negara," yang dimulai tahun 2016, dan bertujuan melatih warga untuk membela bangsa dari “proxy wars "dan “ancaman-ancaman seperti komunisme, narkoba, dan homoseksual." [58]

Warga mengendarai sepeda motor melewati spanduk yang dipasang oleh Front Pembela Islam yang meminta para gay meninggalkan wilayah Cigondewah Kaler di Bandung, Jawa Barat, Indonesia, 27 Januari 2016, di foto yang diambil oleh Antara Foto. Kota terbesar ketiga di Indonesia memerintahkan kelompok Muslim garis keras untuk menurunkan spanduk "provokatif" yang ditujukan pada kelompok gay dan meminta mereka pergi, kata pejabat pemerintah pada Jum'at. Di spanduk tertulis,"Lesbi dan Homo Dilarang Masuk ke Wilayah Kami". 27 Januari 2016.  © 2016 Agus Bebeng/ Antara Foto/ Reuters

Semakin Tak Aman

[Kelompok ekstremis] mengatakan mereka menyerang kami karena agama mereka, tetapi pada akhirnya penyerangan ini hanya membuat mereka senang karena mereka merasa kuat ketika bahkan polisi tidak beraning menghadapi mereka.

—Aktivis waria, Makasar, 7 Maret 2016.

Pernyataan publik Nasir dan suara pejabat lain yang mengikutinya menjadi sanksi sosial untuk penyerangan berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender seseorang. Pada 28 Januari, hanya empat hari setelah pernyataan Nasir, kelompok pria yang berafiliasi dengan Front Pembela Islam (FPI), yang punya reputasi melakukan kekerasan, menggerebek rumah kos di Bandung untuk mencari orang yang diduga lesbian— yang paling tidak menurut satu media dan aktivis bahwa itu dilakukan dengan bantuan aparat polisi lokal.[59] FPI memasang spanduk di beberapa wilayah kota bertuliskan "Lesbi dan Homo Dilarang Masuk ke Wilayah Kami."

Walikota Bandung, Ridwan Kamil, memerintahkan FPI melepas spanduk tersebut, tapi selama jumpa pers di kediamannya pada 26 Januari, dia mengatakan bahwa orang LGBT seharusnya tidak menunjukkan identitas mereka di media sosial atau mereka berisiko jadi sasaran sensor pemerintah.[60] Minggu berikutnya pada 3 Februari, anggota FPI didampingi polisi mengganggu peserta seminar aktivis LGBT di Jakarta, mereka lantas mengklaim di media sosial bahwa intervensi mereka membubarkan seminar tersebut sebagai kemenangan.[61] Acara tersebut dikoordinir oleh lembaga swadaya masyarakat internasional, OutRight Action. Seperti yang diungkapkan salah satu peserta pada Human Rights Watch:

Ada tiga orang dari FPI dan tiga polisi- saya bertemu mereka di lobi hotel (seminar diadakan di lantai 5). Polisi menanyakan apa yang kami kerjakan , lantas saya menunjukkan pada mereka modul pelatihan— lalu mereka minta kami untuk menghentikan acara. "Lebih baik Anda mengatakan pada FPI untuk berhenti mengganggu," kata saya. Polisi tersebut menjawab: "Itu bagus FPI datang melaporkan Anda kepada kami dari pada langsung menyerang Anda. Anda harus menghentikan acara ini."[62]

Pada 7 Februari di Surabaya, Provinsi Jawa Timur, organisasi kesehatan dan perusahaan hiburan mengadakan sebuah acara tentang kesadaran untuk tes HIV. Polisi memberitahu penyelenggara bahwa mereka tak bisa melindungi acara mereka dari serangan kelompok ekstrimis.[63] Penyelenggara mencoba menjelaskan secara terbuka bahwa itu bukan khusus acara LGBT, tapi juga dihadiri oleh pihak pemerintah termasuk Dinas Kesehatan Surabaya. Komisi Pencegahan HIV/AIDS dan petugas dari tiga puskesmas.[64] Pada akhirnya panitia membatalkan acara tersebut. Mengenai pembatalan tersebut, Soekarwo, Gubernur Jawa Timur menulis di twitter: "Terima kasih untuk semua warga Indonesia. Saya memastikan bahwa rencana pesta komunitas Gay di Surabaya malam ini DIBATALKAN."[65]

Retorik dan intimidasi anti LGBT tampkanya juga berpengaruh pada penampilan dan keterlibatan UNDP, yang telah menjalankan program "Menjadi LGBT di Asia" sejak 2014, dan memicu kejengkelan dari pihak pemerintah Indonesia. Pada September 2015, UNDP bersama 11 lembaga PBB lainnya mengeluarkan pernyataan yang menyebut kekerasan dan intimidasi terhadap kaum LGBT “telah menjadi peringatan dini – dan ajakan untuk bertindak.” Seperti yang diungkapkan oleh lembaga-lembaga ini, “Kegagalan untuk menegakkan HAM untuk kaum LGBT dan melindungi mereka dari pelecehan seperti kekerasan dan praktek-praktek serta hukum yang diskiriminatif, merupakan pelanggaran serius terhadap hukum HAM internasional dan akan memiliki dampak meluas di masyarakat.”[66]

Namun, dalam krisis 2016, UNDP berusaha untuk tidak muncul di depan publik, dan para aktivis yang bekerja dengan UNDP dalam pelaksanaan program “Menjadi LGBT di Asia”
mengatakan pada Human Rights Watch bahwa komunikasi dengan UNDP semakin jarang. Lantas pada 15 Februari media Indonesia melaporkan bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla memanggil koordinator residen PBB di Jakarta dan meminta dia menghentikan semua kegiatan yang berhubungan dengan LGBT di negara ini.
[67] Para aktivis yang diwawancarai Human Rights Watch mengungkapkan perasaan mereka ditinggalkan oleh UNDP. Salah satunya mengatakan: "UNDP mungkin telah melakukan diplomasi diam-diam, namun kami tak punya komunikasi dengan mereka."[68] Yang memprihatinkan adalah bahwa para aktivis ini merasa ditinggalkan olehUNDP, yang telah mendorong agar LGBT menjadi terbuka, namun mereka tidak ada di sana untuk saat insiden-insiden anti-LGBT meningkat.

Human Rights Watch melakukan korespondensi dan pertemuan dengan UNDP di New York serta mendiskusikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh LGBT Indonesia serta tanggapan dari lembaga tersebut.[69] UNDP menjelaskan dalam surat tertulis bahwa,"pada awal Februari 2016, UNDP mengadakan diskusi dengan rekan kerja program di pemerintahan dan dengan Komnas HAM soal isu LGBT di Indonesia, termasuk soal keamanan." Lembaga ini akhirnya mengakui bahwa "dalam diskusi-diskusi selanjutnya dengan pemerintah Indonesia, dan dengan mempertimbangkan masalah keamanan, UNDP menangguhkan kegiatan (Menjadi LGBTI di Asia) di wilayah Indonesia untuk saat ini." [70]

Gangguan dan Intimidasi terhadap Aktivis

Sudah tak aman bikin acara di sini. Kami harus minta izin FPI, bukan pemerintah atau polisi—karena bukan mereka yang sesungguhnya memegang wewenang.

—Seorang aktivis di sebuah kota yang dirahasiakan, 6 Maret 2016.

Hari Jumat kini menakutkan bagi kami karena (beberapa) Imam memasukkan sentiment anti-LGBT dalam khotbah-khotbah mereka yang membuat kelompok-kelompok radikal gatal ingin menyerang. Hari Jumat biasanya berarti akhir pekan datang, namun kini itu artinya khotbah-khotbah yang memberitahu orang-orang untuk membenci kami.

—Seorang aktivis di Jakarta, 2 Maret 2016.

Pada Februari dan Maret 2016, Human Rights Watch melakukan lebih dari 50 wawancara dengan minoritas gender dan seksual dan pembela hak asasi manusia LGBT di Indonesia soal dampak meluasnya peraaan anti-LGBT pada tahun 2016, yang berkisar mulai dari ancaman langsung hingga ke pelecehan-pelecehan yang yang lebih halus.

Aktivis pembela hak-hak LGBT dan pekerja lembaga swadaya masyarakat yang melayani orang LGBT mengatakan pada Human Rights Watch bahwa mereka mengalami gangguan secara sporadis dan umumnya kurang percaya melaporkan kasus kepada pihak berwenang,,[71] namun kondisi ini memburuk secara signifikan sejak awal 2016. Retorik anti-LGBT mulai meningkat sejak Januari 2016 bertepatan dengan peningkatan intimidasi dan ancaman— beberapa diantaranya secara khusus terkait dengan wacana kebencian secara publik.

Kata seorang pemimpin LSM LGBT di Jakarta:"Pemilik kontrakan datang pada kami dan bertanya 'apakah ini organisasi LGBT?" Kami katakan ya, dan dia bilang:'Saya tak ada masalah dengan LGBT, namun sekarang ini ramai dibahas di media, jadi tetangga di sini datang pada saya karena mereka khawatir dengan keberadaan Anda di sini.”[72] Seorang aktivis gay di Medan yang mengatakan pihak bank memaksanya menutup akun bank lembaganya pada Februari 2016 karena registrasi mereka menggunakan “LGBT”, dia mengatakan:

Setelah Nasir membikin pernyataan itu, saya mendapat dua panggilan—satu dari orang yang mengancam saya karena profil saya yang terbuka sebagai mahasiswa gay dan aktivis. Dan satunya lagi dari kawan-kawan yang tiba-tiba mendapat permintaan secara acak yang menanyakan alamat rumah saya.[73]

Seorang petugas lapangan HIV transjender di Sulawesi Selatan mengatakan bahwa suatu kali ada sebuah kelompok yang terdiri dari 20 pria yang mengklaim berasal dari kelompok fundamentalis mengancam dia pada Januari 2016 karena membagikan kondom di tempat waria biasa berkumpul. Itu adalah pengalaman pertama dia diganggu setelah sekian lama bekerja di sana.[74]

Saat kami mewawancarainya pada pertengahan Maret, seorang aktivis transjender di Yogyakarta mengatakan bahwa sejak awal Februari dia menginap di rumah beberapa teman atau keluarga berbeda setiap malam untuk menghindari deteksi kelompok fundamentalis. "Di sini jadi seperti di Aceh," kata dia. "Kami tak punya perda Syariah disini, namun dalam beberapa minggu terakhir ini rasanya seperti kami punya."[75] Beberapa orang lain mengatakan pada Human Rights Watch bahwa mereka hidup dalam ketakutan. Seperti yang diungkapkan seorang aktivis hak-hak LGBT di Yogyakarta: "Sekarang ini, setiap kali saya melihat orang dengan pakaian tampilan relijius, saya cemas dan berbalik."[76] Kata seorang waria di Yogyakarta: “Sekarang kami tahu bahwa menghadapi perlakukan kejam oleh massa itu merupakan bagian dari keberadaan kami. Itu bagian dari aturan sosial yang harus kami hadapi”.[77]

Kekerasan di Yogyakarta

Pada 23 Febuari 2016, koalisi organisasi pro-demokrasi, perempuan, hak asasi manusia merencanakan aksi damai di Yogyakarta, sebuah kota pelajar di Jawa, untuk menunjukkan solidaritas terhadap LGBT Indonesia.

Aksi ini mewakili koalisi yang telah dibangun berthaun-tahun oleh kelompok-kelompok LGBT dan sekutunya. Seorang aktivis menjelaskan, “Kepercayaan dibangun lama. Orang-orang akan bertemu dalam solidaritas saat pemutaran film ‘Senyap’ atau kegiatan kontroversial lainnya—itu semua menyadarkan kami bahwa kami harus saling mendukung satu sama lain.”[78] Kelompok progresif ini punya kesamaan. Semuanya jadi korban penyerangan oleh ekstrimis keagamaan. Dan polisi gagal memberikan perlindungan memadai terhadap mereka. Dari waktu ke waktu, hal-hal inilah yang menjadi dasar solidaritas dan pembentukan koalisi.

Para demonstran berencana kumpul pada sore di pusat kota; untuk keamanan, mereka baru mengumumkan lokasi beberapa hari sebelumnya, dan membuat pemberitahuan ke polisi pas pada hari acara. Namun acara itu dibocorkan di media sosial, membuat kelompok militan Islam melancarkan kampanye ancaman dan intimidasi.

Di hari demonstrasi, Angkatan Muda Forum Ukhuwah Islamiyah, atau “FUI” mengeluarkan pernyataan meminta pemerintah dan rakyat Yogyakarta untuk menolak kegiatan itu, aktivisme hak-hak LGBT, dan orang-orang LGBT. Pernyataan FUI, yang disebarkan di media sosial dan selebaran, menuntut agar “lembaga pemerintah, polisi, militer, pemerintah kota, dan lembaga-lembaga terkait untuk melakukan upaya bersama untuk memberantas penyakit LGBT.”

Selanjutnya pernyataan bilang bahwa “LGBT adalah upaya jahat dari musuh-musuh agama dan bangsa untuk menghancurkan tatanan sosial moral bangsa” dan berjanji bahwa FUI akan melaporkan semua “kegiatan amoral LGBT” pada pihak berwenang. Jika pemerintah gagal menghukum orang LGBT, pernyataan itu memperingatkan, “kami akan melaksanakan apa yang sudah ditetapkan dalam Islam dengan hukuman pembakaran, rajam, atau pemberlakuan hukuman tertinggi (mati) pada pelaku LGBT.” Menghadapi ancaman itu, polisi menghubungi beberapa tokoh aktivis progresif dan minta kepastian agar demonstrasi dibatalkan. Kata seorang pengacara hak asasi manusia yang mengunjungi kantor polisi pada jam 1 siang hari itu. “Polisi menanyai saya apakah ini aksi hak-hak LGBT, dan saya bilang tidak—saya jelaskan demo ini diorganisir oleh berbagai kelompok. Mereka menjawab, ‘kelompok agama melakukan demonstrasi anti-LGBT, jadi ini pasti demonstrasti LGBT.’”[79]

Menurut saksi dan peserta yang diwawancarai Human Rights Watch, sekitar 150 orang berkumpul sekira pukul 3 siang pada 23 Febuari untuk demonstrasi. Sekitar 100 polisi sampai di lokasi. “Kami merencanakan pawai satu kilometer, namun baru lima langkah, , polisi sudah menghentikan kami,” kata seorang peserta. Peserta berusaha negosiasi dengan polisi, namun polisi bilang pada mereka untuk menghentikan demonstrasi karena akan “menciptakan kekacauan di Yogyakarta.”[80] Dalam waktu 90 menit dari upaya pertama para demonstran berjalan, truk polisi lainnya datang—membawa perlengkapan anti huru-hara dan bersenjata.

Saat demonstran berusaha maju, polisi mendorong mereka kembali. Dua perempuan di garis depan mengatakan pada Human Rights Watch bahwa beberapa polisi meraba payudara mereka dan menggunakan hinaan homopobik; beberapa laki-laki melaporkan bahwa polisi menusuk kelamin mereka dengan tongkat sebagai upaya untuk menghentikan mereka berdemonstrasi. Seorang peserta mengatakan, “Kami baru lima langkah, didorong secara fisik dan dipukuli polisi, dan kemudian duduk 10 menit dan menolak pindah saat mereka meneriaki kita.”[81]

Rekaman yang disiarkan jaringan berita televisi Indonesia menunjukkan polisi berseragam menarik demonstran, menyeret mereka ke lingkaran polisi lain, dan menendangi mereka di tanah. Demonstran yang diwawancarai Human Rights Watch mengatakan polisi memukuli mereka dengan tongkat, dan dalam beberapa kasus menarik mereka keluar kerumunan dan meneriaki “ini provokatornya, penyelenggaranya,” dan membentuk dua lingkaran di sekitar mereka untuk menutupi kekerasan dari penonton, dan menendangi mereka.[82] Satu demonstran yang dipukuli polisi memutuskan untuk menolak pergi setelah disiksa polisi:

“Kami diberitahu bahwa kelompok fundamentalis sedang menunggu di gang-gang sekitar untuk menangkap kami dan menyerang begitu kami sampai—maka lebih aman untuk kembali ke kerumunan dan beresiko dipukuli polisi lagi.”[83] Dia disambar petugas berseragam beberapa jam kemudian, diseret keluar dari kerumunan, dan ditendangi lagi.

Para demonstran mengendor di bawah tekanan polisi dan bubar saat matahari terbenam. Pemantau dari berbagai organisasi hak asasi manusia membantu memastikan (keamanan) daerah sekitar dan memastikan para peserta bisa mengambil jalan tertentu untuk pulang—tak ada orang yang menunggu untuk menyerang mereka. Pada minggu selanjutnya, aktivis yang ikut demonstrasi mendapat telepon gelap mencari tahu siapa penyelenggaranya. “Mereka menyebut nama kawan-kawan kami,” seorang aktivis menyatakan pada Human Rights Watch. “Mereka akan menelpon dan menyebut nama orang-orang yang mereka curigai—bilang ‘di mana orang ini’—dan ketika saya tetap diam mereka akhirnya memutusnya.”[84]


“Sejauh ini kami percaya ucapan polisi bahwa mereka Yogyakarta damai. (Namun) kami tak percaya mereka punya kemauan politik untuk melindungi orang-orang LGBT,” kata seorang aktivis yang ikut demonstrasi.[85] Seorang aktivis waria yang mengatakan dia ditelepon polisi empat kali setelah demonstrasi mengatakan pada Human Rights Watch: “Polisi hanya keluar untuk menjebak saya sekarang, bukan melindungi saya. Mereka mengundang saya, katanya untuk diskusi, namun saya tak percaya. Setelah demonstrasi, saya diberitahu bahwa polisi ada di kantor [NGO] kami hari berikutnya—saya tinggal saja di rumah untuk menghindari ketemu dengan mereka.”[86]

Menurut aktivis, pada pagi hari 24 Febuari, hanya beberapa jam setelah pembubaran demonstrasi solidaritas LGBT, segerombolan tujuh orang tak dikenal menyerang seorang waria ketika dia berjalan pulang di pusat kota Yogyakarta. “Yang kami tahu adalah bahwa mereka menyerangnya dan lari sambil meneriakkan Allahuakbar,” kata seorang aktivis yang menemani korban untuk menjahit luka di kepala akibat serangan itu. “Insiden seperti ini menyebarkan ketakutan di seluruh komunitas—karena kami tak tahu apakah ini adalah kelompok ekstrimis yang mendalangi serangan seperti yang mereka lakukan saat demontrasi sehari sebelumnya, atau hanya orang biasa yang melawan kami karena pejabat pemerintah telah mengatakan tak apa-apa untuk membenci kami.”[87]

Penutupan Pesantren Waria

“Ini adalah tempat untuk berdoa bersama, untuk belajar Islam bersama,” kata Shinta Ratri, pendiri pesantren untuk waria di Yogyakarta. “Waria tak nyaman beribadah di masjid umum, karenanya saya pikir akan lebih baik bagi kami untuk bersama daripada sendiri di rumah dengan pertanyaan spiritual di hati kami,” katanya pada Human Rights Watch.

Shinta, 54 tahun, memulai pesantren pada 2008 pada sebidang properti milik keluarganya. Dia memberitahu keluarganya tentang identitasnya sebagai waria ketika usia 18 tahun, dan dia segera mulai mengenakan jilbab dan pakaian perempuan. “Tak pernah ada persoalan dengan saya di keluarga atau masyarakat,” kata Shinta, “termasuk saat saya buka pesantren—kami bahkan dapat dukungan dari ulama setempat.” Selama delapan tahun, sekelompok kecil waria (paling banyak 30 orang) berkumpul pada hari Minggu untuk berdoa bersama dan belajar bagaimana membaca Quran.

Pada pagi 18 Febuari 2016, di tengah meningkatnya retorika anti-LGBT dari pejabat publik Indonesia, kelompok fundamentalis Front Jihadis Islam, atau FJI, mengirim surat pada Shinta menuntut dia menutup pesantren.

Shinta Ratri, pendiri pesantren dan masjid untuk perempuan transgenjer di Yogyakarta, Indonesia, memilih untuk menutup lembaganya karena ancaman dari kelompok fundamentalis pada Februari 2016. © 2016 Kyle Knight/Human Rights Watch

Shinta segera pergi ke kantor polisi untuk meminta perlindungan. Pukul 7:30 pagi hari berikutnya, polisi datang ke pesantren. “FJI mungkin menyerang, karenanya kami ke sini untuk memperingatkan kalian tentang ini,” Shinta ingat mereka memberitahunya sebelum mereka cepat-cepat pergi. Tiga puluh menit kemudian sekelompok orang dari FJI datang dan meminta Shinta untuk menutup pesantren. Jam 10 pagi, staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) membantu empat waria pergi dan mendampingi pemusnahan semua barang yang berisi nama-nama anggota dari gedung. Shinta, ditemani LBH, pergi ke kantor polisi untuk melaporkan pelecehan tersebut. Para polisi itu mengopernya dari satu meja ke meja lain hingga akhirnya ada seorang perwira yang bilang padanya: “Oh kamu bisa pulang ke rumah, orang-orang yang datang pagi ini hanya mau berkunjung. Anda harus memperlakukan mereka sebagaimana orang Jawa yang baik menerima tamu.” Perwira lainnya lalu masuk untuk mengatakan dia akan mengunjungi pesantren untuk memeriksa situasi sebelum Shinta pulang, dan lalu pergi. Saat dia kembali sejam berikutnya, dia bilang pada Shinta untuk tidak khawatir—FJI hanya mampir untuk “berdialog.”

Saat Shinta kemudian kembali ke rumah hari itu, dia tahu dari seorang tetangga bahwa perwira polisi itu, ditemani oleh perwira militer, datang untuk bicara dengan FJI, dan FJI telah menyampaikan permintaan penggusuran Shinta pada pemimpin masyarakat. “Semua orang di masyarakat takut—mereka tak suka melihat fundamentalis, dengan polisi, dengan militer di lingkungan mereka,” tutur Shinta pada Human Rights Watch. Menurut tetangganya, polisi telah mengusulkan sebuah “dialog masyarakat” tentang pesantren, menjelaskan bahwa “kami juga harus menjamin keselamatan FJI untuk menjaga ketertiban umum.” Shinta diundang untuk menghadiri sebuah pertemuan, yang dijadwalkan pada 24 Febuari, namun dia juga diperintahkan untuk tidak ditemani oleh LBH atau LSM lainnya karena mereka bukan bagian dari masyarakat lokal.

Pada malam 24 Febuari, Shinta bersama dengan tiga waria lainnya dari pesantren sampai tepat waktu untuk pertemuan jam 8 malam di balai desa setempat. “Semua orang menyapa dengan ramah, sebagaimana yang selalu mereka lakukan, senyum,” katanya. “Lantas FJI datang—mungkin 20 orang—dan situasi berubah. Mata anggota masyarakat jadi dingin dan takut.”

Pada pertemuan, Shinta bicara pertama—menceritakan kisahnya pada hadirin, dan menjelaskan bagaimana prinsip Islam terhadap waria. “Saya katakan pada mereka saya menjadi waria sejak kecil dan saya tak pernah melakukan kejahatan apa pun,” katanya. “Saya menjelaskan bagaimana Islam mengajarkan tentang waria, tentang penyandang disabilitas—untuk menunjukkan ada orang yang berbeda dari kebanyakan, yang tidak pernah dipikirkan orang sebelumnya, dan agama kami menampung semuanya.”

Ketika dia selesai, anggota FJI berdiri dan bilang: “Ibu Shinta sakit jiwa seperti semua waria, namun dia masih cerdas.” Anggota FJI selanjutnya menuntut segera ditutupnya pesantren, mengatakan “LGBT haram (dilarang oleh Syariah) dan harus dikutuk, termasuk waria,” dan “Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, tak ada di antaranya—ini bukan persoalan hak asasi manusia.” Orang-orang bersorak bersama untuk mendukung pernyataan itu. Di jalan keluar, Shinta mendengar seorang tetangga dan teman mengatakan, “Kita perlu memanggil Shinta ‘mas’ (panggilan laki-laki di Indonesia) sekarang.”

Shinta hancur, tapi untuk keselamatannya dan untuk melindungi pengikutnya, dia memutuskan untuk mematuhi keputusan bersama itu. “Saya tak pernah merasa takut seperti ini sebelumnya—saya tak pernah diserang atau diganggu karena jadi waria sampai sekarang, ini hal yang baru,” katanya.

Keputusan penutupan adalah pukulan telak bagi komunitas waria yang memang sudah terpinggirkan itu. Seorang waria di Yogyakarta yang jadi pengunjung sesi doa Shinta mengatakan: “Kami menghadapi begitu banyak penolakan dari para pemimpin Islam yang terkadang membuat saya berpikir untuk mengganti agama saya. Namun saya kenal Tuhan saya dan saya ingin menemuiNya setelah saya meninggal, sehingga saya tak ingin pindah agama. Saya merasa begitu kehilangan sekarang. Kami hanya berdoa di sana sekali seminggu—apa yang sangat salah dari itu?[88] Waria lain, yang tak pernah datang di sesi doa pesantren, menegaskan simbolisme penutupan: “Sejak penutupan pesantren, semua orang takut.”[89]

Gangguan dan Intimidasi dalam Masyarakat dan Keluarga

Pemerintah dan kelompok ekstrimis memainkan permainan politik mereka dan mengendalikan hidup kami—permainan politik ini merusak hidup kami. Hanya Tuhan yang tahu siapa sesungguhnya kami ini di dalam jiwa kami. Bukanlah pekerjaan pemerintah untuk mencari tahu siapa yang disalahkan atas keberadaan kami—tugas mereka adalah melindungi kami dari bahaya.

—Waria di Yogyakarta

Saya tak merasa aman dengan menyaksikan semua pernyataan “hentikan LGBT” di media sosial. Saya merasa seperti anjing. Polisi dan pemerintah harus melindungi kami—bukan malah ikut-ikutan di dalamnya.

—Seorang pria gay berusia 25 tahun di Sulawesi Selatan, 7 Maret, 2016.

Kerentanan yang baru ditemukan pada 2016 memiliki arti bahwa keterbukaan (identitas) adalah sangat beresiko. Para aktivis segera menyembunyikan identitas mereka sendiri dan orang dari konstituen mereka; orang-orang yang sudah terlanjur membuka identitas orientasi seksual atau identitas gender mereka pada keluarga atau anggota masyarakat mengalami peningkatan pelecehan secara pribadi, dan beberapa harus dipindah demi keamanan.

Misalnya, satu pasangan lesbian dilecehkan di rumah mereka. Human Rights Watch mewawancarai tiga orang di Medan yang menjelaskan yang terjadi. Pada pertengahan Febuari, sekelompok laki-laki dari kelompok keagamaan tak dikenal mengintimidasi pasangan yang berbagi ruang kontrakan. “Dua perempuan tersebut cukup maskulin untuk menarik perhatian,” kata seorang aktivis teman mereka yang datang saat penyerangan pada Human Rights Watch. “Mereka teriak ‘vagina anda tidak pernah kena kontol karenanya anda bisa jadi seperti ini,’ dan ‘Amerika membayar anda untuk berlaku seperti ini—untuk berbuat dosa pada Islam dan Indonesia.’”[90] Dua aktivis berusaha mencegah lelaki ini memasuki ruangan di mana pasangan ini tinggal. “Mereka punya polisi berserangam dengan mereka, berdiri di belakang mengawasi aksi mereka, jadi kami tak yakin apa yang bisa kami buat,” kata seorang aktivis.[91] “Lantas mereka mengatakan pada kami: ‘jika anda tak membiarkan kami masuk ruangan, kami akan memaksa masuk dan memperkosa anda.’”[92]

Setelah melontarkan hinaan dan ancaman lebih lanjut, para laki-laki tersebut pergi. Para aktivis mendiskusikan insiden dengan NGO hak asasi manusia di Medan seminggu setelahnya, namun disarankan untuk tak melaporkannya ke polisi karena takut memprovokasi polisi terhadap mereka. “Polisi jelas-jelas telah memata-matai kami jika mereka datang dengan kelompok tersebut ke ruang pribadi, karenanya tak banyak yang bisa diharapkan—bagaimana kita melaporkan polisi pada polisi?” tutur seorang aktivis.[93]

Seorang waria di Sulawesi Selatan mengatakan pada Human Rights Watch bahwa pada 15 Febuari 2016, sekelompok pria tak dikenal melempar batu pada waria di ruang publik di satu kota di Sulawesi Selatan yang populer untuk pertemuan informal para waria. “Mereka memukul kami dengan tongkat, mengancam kami dengan pedang. Satu dari mereka melemparkan petasan ke arah kami,” katanya, menambahkan bahwa kawan-kawannya mengatakan bahwa sejak saat itu terjadi banyak serangan, namun dia memutuskan untuk tinggal di rumah sejak serangan pertama. “Saya tak percaya polisi akan membantu kami. Mereka benci kami, ditambah polisi tak berdaya melawan orang-orang yang menyerang kami dengan kekerasan,” katanya.[94]

Seorang pemimpin komunitas waria di Yogyakarta mengatakan penutupan pesantren Islam waria telah menjadi taktik “intimidasi halus” yang sangat efektif dari kelompok ekstrimis. “Saya kuatir kelompok Islamis akan mengintimidasi tetangga kami setelah melihat apa yang mampu mereka lakukan terhadap pesantren,” katanya. “Jika mereka mulai melecehkan kawan kami, maka tidak perlu banyak hal untuk mereka untuk melakukannya juga terhadap kami,” katanya. Untuk meletakkan gangguan pelecehan dan intimidasi dalam konteks, dia menambahkan pada Oktober 2015 seorang perwira militer mengunjungi daerah kota di mana ia dan sekitar dua lusin waria tinggal dan bertanya kepada para tetangga, “apakah kami mengganggu masyarakat.” Katanya: “Rasanya sama seperti sejarah kita pada 1965—pertama militer atau fundamentalis datang dan memberi pertanyaan, lantas para tetangga menendang kami keluar.”[95]

Liputan negatif media yang intensif terhadap topik “LGBT” juga telah meningkatkan ketegangan di ruang publik dan pribadi. Hampir semua orang LGBT yang diwawancarai Human Rights Watch menjelaskan terjadinya pelecehan intensif di komunitas mereka, termasuk di tempat dan situasi di mana mereka secara sebelumnya merasa aman dan mendapat dukungan. “Saya lebih sering dilecehkan akhir-akhir ini karena penampilan saya yang maskulin,” tutur seorang lesbian di Sulawesi Selatan. “Keluarga saya bilang kalau saya membuat mereka malu karena saya tampak tak normal, penjaga kafe menolak saya masuk karena mereka bilang saya akan mengganggu pelanggan lainnya, serta orang-orang di jalan menunjuk pada saya kemudian berbisik-bisik, itu terjadi pada minggu-minggu ini,” katanya.[96]

Seorang pria transgender 26 tahun di Medan mengatakan bahwa pada Febuari 2016 sebanyak dua kali dia dihentikan di jalan—sekali oleh bibinya seorang teman, dan sekali lagi oleh orang yang tak dia kenal—dan bertanya: “Di mana lainnya yang sepertimu? Berdosa berpenampilan seperti ini dan kita akan cari kamu.”[97] Seorang gay 22 tahun di Medan yang bekerja untuk sebuah LSM LGBT mengatakan pada Human Rights Watch:

Tiga minggu lalu, setelah semua liputan negatif media mulai, ibu saya menemukan beberapa brosur tentang isu LGBT di ruangan saya dan menginterogasi saya. Saya sebelumnya bilang padanya saya bekerja di NGO HIV. Saya terpaksa harus jujur padanya kemudian. Orang tua saya sangat kecewa, mengancam saya untuk keluar dari rumah. Selama tiga minggu ini, setiap kalisaya pikir kami mengalami kemajuan kalau bicara soal ini, ada berita datang dan itu adalah berita buruk soal orang LGBT—dan pandangan mereka menjadi negatif lagi.[98]

“Dampak retorika anti-LGBT dari pejabat pemerintah sangat besar bagi kami sebagai individu. Bagi kami yang telah bekerja sangat keras dan mempertaruhkan begitu banyak membuka identitas, retorika anti LGBT ini merupakan langkah mundur yang sangat besar,” tutur seorang aktivis lesbian di Makassar. Dia kuatir peningkatan retorika anti-LGBT akan menyebabkan lebih banyak kasus perkawinan paksa lesbian pada laki-laki—sebuah situasi yang dia pernah terlibat untuk berusaha mencegahnya: “Dengan semua kebencian dari pemerintah ini, para orang tua mulai berpikir tentangnya dan menjadi curiga bila anak-anak mereka tampak sedikit berbeda. Dan bagi para lesbian muda, ia berarti kawin paksa dini pada laki-laki.”[99]

Lesbian lain di Sulawesi Selatan menjelaskan bahwa sebelumnya penampilan maskulinnya justru telah melindunginya di hadapan publik—“kebanyakan orang berfikir saya laki-laki jadi mereka membiarkan saya begitu saja,” katanya. Namun keadaan ini berubah. Memanasnya wacana publik anti-LGBT telah memberi kosakata permusuhan yang baru serta penerapan sanksi sosial. Sejak riuh rendah retorika anti-LGBT dia tidak lagi merasa terlindungi. “Bahkan kini saat saya berjalan di jalan, orang meneriaki ‘LGBT, LGBT’—mereka bahkan tak tahu arti singkatan itu, mereka hanya melihatnya di media dan tahu mereka harus melecehkan orang yang tampak beda.”[100] Seorang Lesbian di Medan bilang pada Human Rights Watch: “Saya selalu makan di warung yang sama selama bertahun-tahun dan baru dalam dua minggu terakhir mendengar orang menengok, menunjuk saya dan bilang, ‘oh, itu LGBT”…. Saya tak tahu apa yang mereka tahu sebelum hiruk pikuk di media itu, dan jika mereka tahu apa yang baru mereka dengar itu, maka tak aman bagi saya berada di sekitar mereka.”[101]

Beberapa individu mengatakan pada Human Rights Watch bahwa permusuhan itu telah membuat mereka kian takut dan sangat berhati-hati dalam penampilan mereka bahkan juga hati-hati berbicara di depan umum. Seorang pemimpin waria di Yogyakarta mengatakan: “Saya bilang pada kawan-kawan waria untuk tak bicara LGBT di depan umum.Jangan membikin perhatian mengarah pada kita pada saat perdebatan memanas. Kita tak bisa dihubungkan dengan aktivisme atau kita harus pergi bersembunyi.”[102]

Pelembagaan Homophobia

Peningkatan pelecehan dan insiden kekerasan terhadap orang LGBT terjadi setelah dilontarkannya berbagai pernyataan anti-LGBT oleh para pejabat publik. Namun itu bukan satu-satunya dampak. Dua komisi negara telah mengeluarkan informasi yang salah dan pernyataan diskriminatif, sedang beberapa asosiasi keagamaan dan profesional menyerukan kriminalisasi terhadap hidup LGBT dan aktivisme hak asasi terkait LGBT. Lembaga-lembaga pemerintahan dengan mandat yang relevan dengan dengan perlindungan dan promosi hak-hak asasi seharusnya bisa bereaksi untuk melawan perkembangan ini, namun mereka tetap diam.

Larangan pada Informasi dan Ekspresi

Pada 1 Febuari 2016, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang seharusnya berdedikasi untuk melindungi hak asasi manusia,[103] mengeluarkan pernyataan keras yang secara ketat melarang “penyebaran propaganda LGBT atau informasi [tentang isu LGBT] kepada anak-anak atau mereka yang di bawah umur.”[104] Pernyataan KPAI tak hanya mencampuradukkan antara fakta informasi dasar tentang gender dan seksualitas dengan “propaganda” namun juga mengklaim bahwa pelarangan itu berdasar pada ketentuan hukum pidana Indonesia yang melarang pelecehan seksual terhadap anak-anak, secara pandir dan berbahaya menyamakan pemberian informasi sosial yang sangat penting kepada kaum muda dengan tindakan perkosaan dan tindakan kriminal lainnya. [105]

Kurang dari dua minggu kemudian, pada 12 Febuari, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang didukung KPAI, mengeluarkan pernyataan larangan penyiaran informasi yang terkait dengan kaum LGBT di radio dan televisi dan menyebut pelarangannya itu sebagai “perlindungan pada anak-anak dan orang dewasa yang rentan meniru perilaku menyimpang LGBT.”[106] Seperti yang disampaikan KPI dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh komisioner KPAI Asrorun Ni’am:

Aturan dalam P3 & SPS [Standar Program Penyiaran KPI] itu sudah jelas, baik tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesopanan, atau tentang perlindungan anak dan remaja yang melarang [informasi] yang mendorong anak dan remaja belajar tentang perilaku tak pantas dan/ atau membenarkan perilaku tersebut.[107]

Dalam mempromosikan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan hak atas informasi yang sesungguhnya tidak perlu dan tidak proporsional itu, KPAI dan KPI bertindak bertentangan dengan pasal 28 Undang-Undang Dasar dan kewajiban Indonesia di bawah artikel 19 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.[108] Pada laporan tentang perlindungan pemerintah terhadap kaum minoritas 2016, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat bahwa kaum muda LGBT sering mencari nasehat tentang seksualitas dari pemuka agama—sebuah proses berisiko, yang disebut oleh komisi sebagai “kekerasan simbolik” karena masyarakat memandang orang LGBT sebagai “menyimpang, abnormal, sakit, tidak beradab dan tidak moral.”[109]

Larangan KPI 12 Febuari menyasar pada “siaran-siaran di mana kampanye LGBT disajikan di layar.” Komisi pusat KPI menegaskan bahwa pelarangan adalah bentuk “perlindungan bagi anak dan remaja yang rentan meniru perilaku menyimpang LGBT.[110] Seorang anggota KPI daerah mengatakan pada Human Rights Watch bahwa setelah KPI mengeluarkan larangan, dia bertanya pada kantor pusat di Jakarta apa yang dimaksud “promosi”. “Mereka menjawab: ‘Jika topik LGBT itu ada di TV, maka itu adalah ‘promosi.’ Jadi ia berarti semua,” katanya.[111] “Jadi pembahasan di dalam KPI sangat dangkal—mereka benar-benar bicara bagaimana mereka ingin melindungi anak-anak dari empat huruf, L, G, B, dan T. Mereka takut singkatan,” katanya.[112]

Dalam dengar pendapat pada 3 Maret, Komisi I DPR merekomendasikan Menteri Komunikasi dan Informasi agar merancang undang-undang yang akan menyensor konten terkait dengan kaum LGBT. Komisi parlemen, yang bertanggungjawab atas pertahanan, urusan luar negeri, dan informasi, menyatakan dukungannya terhadap “usaha-usaha [KPI] dalam memperketat kontrol atas konten siaran yang terkait LGBT, serta sanksi tegas bagi pelanggar penyiaran konten LGBT tersebut.” Secara spesifik, Komisi I merekomendasi kementerian dan KPI untuk “menutup situs-situs online yang mempromosikan dan mempropagandakan konten Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dan membuat aturan tentang hal tersebut.” Kementerian Komunikasi dan Informasi secara publik mengindikasikan untuk memenuhi rekomendasi ini.[113] Pada 23 Febuari, kementerian juga mengumumkan panduan larangan penyiaran yang memperlihatkan pria yang mengenakan “baju feminin” atau bicara dengan gaya feminin.[114]

Intervensi Salah Informasi dari Psikiater Terkemuka

Pada 16 Febuari, Dr. Fidiansjah, seorang psikiater dan direktur kesehatan mental di Kementerian Kesehatan menyatakan saat program langsung televisi bahwa homoseksualitas dan biseksualitas adalah “penyakit gangguan psikiatris,” dan adalah tugas para praktisi kesehatan mental profesional untuk merawat orang-orang LGBT.[115]

Lalu pada 19 Febuari, Asosiasi Psikiater Indonesia (PDKSJI) mengeluarkan nota pemberitahuan yang menyatakan bahwa “orang yang homoseksual dan biseksual dikategorikan sebagai orang dengan masalah psikiatris” dan “seorang yang transeksual dikategorikan sebagai orang dengan gangguan mental.”[116] Pernyataan ini bertentangan dengan praktik medis internasional, sebagaimana dirinci di bawah, dan berbahaya karena bisa mudah digunakan sebagai bahan bakar melakukan stigmanisasi dan pelanggaran hak asasi manusia.[117]

Pada 24 Maret, Dr. Fidiansjah membuat statemen pada media seraya meminta maaf atas berbagai masalah yang mungkin dihadapi oleh banyak orang karena statemennya soal homoseksualitas, namun pada saat bersamaan dia tetap bersikukuh pada pandangannya bahwa identitas LGBT adalah “gangguan kejiwaan dan mental.”[118] Penjelasan posisi Fidiansjah ini bersandar pada tafsirnya yang sangat sempit atas nasionalisme dan keyakinan keagamaannya tentang kesanggupan untuk “menyembuhkan” homoseksulitas. Dia berkata:

[K]ita harus tetap teguh [untuk] konsisten menyampaikan kebenaran ini dalam rangka mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat menuju cita-cita negara yang berdaulat di atas landasan dasar Pancasial dan UUD 1945… Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menyembuhkan akan senantiasa memberikan pertolongan bagi hamba-Nya yang ingin kembali kepada fitrahnya.[119]

Menurut laporan Jakarta Post 24 Maret, Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan dia akan menginvestigasi pernyataan Dr. Fidiansjah. Dalam pertemuan dengan Human Rights Watch pada 12 April, menteri ini mengatakan bahwa dia tidak tahu soal komentar-komentar Dr. Fidiansjah itu.[120]

Lembaga-lembaga kesehatan internasional serta banyak asosiasi nasional kesehatan profesional di seluruh dunia semakin membangun kebijakan non diskriminasi sehubungan dengan pengobatan untuk orang LGBT.[121] Misal, World Psychiatric Association (WPA), dimana PDKSJI juga menjadi anggotanya, menyatakan bahwa “sudah puluhan tahun dunia pengobatan modern menanggalkan anggapan bahwa orientasi dan tingkah laku seks sejenis adalah penyakit ” dan menegaskan bahwa, “[p]sikiatris punya tanggungjawab sosial untuk mengadvokasi pengurangan kesenjangan sosial untuk semua individu, termasuk kesenjangan yang terkait identitas jender dan orientasi seksual.” WPA menyimpulkan:

Tak ada bukti ilmiah yang memadai bahwa orientasi seksual bawaan dapat diubah. Terlebih lagi, apa yang disebut pengobatan untuk homoseksual bisa menciptakan keadaan dimana prasangka dan diskriminasi berkembang, dan itu berpotensi membahayakan. Ketentuan bahwa setiap intervensi yang mengaku bisa “mengobati” sesuatu yang bukan sebuah gangguan adalah sepenuhnya tak etis.[122]

Asosiasi Psikiater Amerika, yang menetapkan standar kesehatan mental yang dipakai secara global, langsung menyurati PDJSKI dan mengingatkan bahwa menafsirkan homoseksualitas sebagai “gangguan mental” adalah “sama sekali tak didukung ilmu pengetahuan” dan bahwa (tafsiran tersebut) “tak memiliki dasar rasional, ilmiah, atau sebaliknya bisa dipakai untuk menghukum atau mendiskriminasi orang LGBT.[123]

Namun komentar Fidiansjah dan statemen PDKSJI tersebut cocok dengan wacana yang relative populer tentang penyimpangan dari heteroseksual di Indonesia. Seorang peneliti mengamati bahwa: “dalam acara infotainmen, sebagaimana juga di banyak media di Indonesia, homoseksual sering digambarkan sebagai individu yang ‘sakit’ atau ‘berbahaya’…. Homoseksualitas sering digambarkan sebagai ‘penyimpangan seksual.’”[124]

Penegasan keyakinan dari pejabat kesehatan mental ini dengan cepat punya dampak negatif. Sebagaimana dikatakan seorang aktivis di Makassar pada Human Rights Watch:

Ada sebuah artikel di koran mengatakan bahwa LGBT adalah penyakit mental. Beberapa hari setelah publikasi artikel itu kami mendapat banyak telepon dari komunitas kami—utamanya kaum muda—yang ingin tahu benar tidaknya. Mereka benar-benar takut bahwa mereka sakit mental.[125]

Senada dengan keputusan KPI dan KPAI yang menyerukan sensor informasi terkait LGBT, pernyataan Fidiansjah dan PDKSJI tentang kesehatan jiwa LGBT telah menguatkan ancaman pada kebebasan mengekspresikan orientasi seksual dan identitas gender di Indonesia, termasuk kemungkinan bahwa orang LGBT bisa dipaksa masuk ke dalam rumah sakit jiwa dan dipaksa untuk menjalani pengobatan yang bertentangan dengan kehendak mereka. Menurut pasal 20 dan 21 Undang-Undang Kesehatan Jiwa Indonesia 2014, jika seorang memiliki disabilitas psikososial “dianggap tidak memiliki kemampuan” oleh seorang spesialis kejiwaan atau dokter medis yang memberikan perawatan saat itu, maka anggota keluarga, wali, atau “pejabat berwenang” boleh memberi persetujuan perawatan medis atas nama orang tersebut. Sekalipun undang-undang tersebut tidak menjelaskan siapa dan apa kriteria yang digunakan untuk menentukan kompetensi tersebut.[126]

Dalam sebuah laporan 2016, Human Rights Watch mendokumentasikan ratusan kasus orang dengan disabilitas psikososial yang dipasung atau ditaruh di ruang pengasingan secara paksa bertentangan dengan kehendak mereka pada fasilitas-fasilitas milik pemerintah.[127]

Kurangnya pengakuan dan perlindungan hukum telah mengurangi kesempatan bagi LGBT Indonesia untuk menikmati hak-hak dasarnya. Pergeseran penafsiran yang dilakukan secara terbuka oleh pemerintah pada tahun 2016 dengan menafsirkan orientasi seksual dan identitas genjer sebagai “sakit mental” kemudian berakibat pada keamanan orang LGBT, kebebasan berserikat, dan kebebasan berekspresi. Sebagaimana dikatakan oleh seorang aktivis lesbian Sulawesi Selatan pada Human Rights Watch: “Jika pemerintah mulai menyensor informasi, maka itu akan benar-benar merugikan kami. Itu juga berarti pemerintah menciptakan informasi kebencian tentang kami, dan bahkan menutup akses kami sendiri terhadap informasi tentang diri kami sendiri.”[128]

Pengaruh Institusi Keagamaan

Pada 17 Febuari, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan menyerukan pemerintah untuk menetapkan undang-undang guna mengakhiri “akivitas kampanye LGBT” di Indonesia.[129] Ketua MUI Maruf Amin[130] berkata pada reporter: “Kami ingin larangan keras terhadap aktivitas LGBT dan aktivitas seksual menyimpang lainnya dan undang-undang yang mengkategorikan mereka sebagai kriminal…. [gerakan LGBT] adalah ancaman nyata terhadap undang-undang perkawinan di Indonesia yang tak menerima pernikahan sesama jenis.”[131] Pada waktu hampir bersamaan, satu kantor berita melaporkan bahwa MUI sedang “menyiapkan fatwa” untuk melawan kaum LGBT—sesuatu yang sebenarnya telah dikeluarkan MUI: pada awal 2015 MUI mengeluarkan fatwa yang meminta agar hubungan sesama jenis dihukum mulai dengan dicambuk hingga ke hukuman mati, serta menyamakan homoseksualitas dengan penyakit yang bisa disembuhkan.[132]

Lalu pada 22 Febuari 2016, Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar Indonesia, mengeluarkan pernyataan tentang “penyimpangan perilaku seksual dan pengobatan.” Di sana, NU mengatakan bahwa “[Orang LGBT] adalah bentuk penyimpangan dan praktik LGBT adalah penodaan martabat manusia,” dan bahwa “kecenderungan LGBT sering diputarbalikkan dan mereka yang mengidapnya harus direhabilitasi.” NU meminta pemerintah untuk menghimpun sumber daya untuk merehabilitasi orang LGBT dan membuat proses rehabilitasi ini sebagai sebuah kewajiban menurut hukum. NU juga meminta agar pemerintah menghentikan aktivitas LSM-LSM yang telah “berkampanye untuk menormalkanLGBT.” Ia juga meminta pemerintah untuk mengkriminalisasi baik “perilaku LGBT” maupun kampanye terkait dengan hak asasi manusia LGBT.[133]

Nahdlatul Ulama (NU, yang secara harafiah berarti, “Kebangkitan Cendekiawan Muslim”) menempati posisi unik di masyarakat Indonesia. Mengklaim memiliki lebih dari 50 juta anggota, NU sejak berdirinya pada 1926 berkembang menjadi kekuatan sipil, politik, dan agama yang tak tertandingi di Indonesia.[134]

Meski tak secara resmi aktif dalam politik sejak 1984, NU telah menjalin hubungan dekat dengan sistem politik, dan punya afiliasi jelas dengan empat partai politik, termasuk Partai Kebangkitan Bangsa, PKB, yang didirikan oleh Presiden NU Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang kemudian menjadi Presiden Indonesia 1999-2001.[135] Sebagai partai Islam terbesar di Indonesia dan lima besar dari semua partai, PKB bergabung dengan koalisi pendukung pencalonan Joko “Jokowi” Widodo menjadi presiden 2014, yang hasilnya adalah empat posisi menteri diduduki PKB pada kabinet Jokowi.[136]

Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, NU bergerak di bidang politik, sosial dan budaya, dengan pengaruh yang luas  pada politik lokal dan nasional. Jangkauan dan dampak politik NU pada opini publik lahir lewat berbagai lembaga yang ada di bawah payungnya. NU menjalankan struktur organisasi formalnya  di tingkat provinsi, kabupatan, kecamatan, dan desa; menjalankan ribuan pesantren, dan mengoperasikan lembaga-lembaga di berbagai bidang termasuk, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan hukum. Garis misi NU didefinisikan, “untuk mempengaruhi sistem hukum dan mempromosikan kebijakan yang menjamin keadilan sosial dan tatanan demokrasi, serta penguatan masyarakat.”[137]

Sekalipun secara prinsip NU mendukung ekspresi Islam yang toleran dan pluralis, ketaatan NU pada idealisme nondiskriminasi tidaklah konsisten. Misalnya, mereka gagal memberi dukungan pada Ahmadiyah, satu minoritas keagamaan yang dipersekusi, dan manuver politiknya dilihat sebagai faktor penentu pada peraturan Anti-Ahmadiyah yang dikeluarkan pemerintah pada 2008.[138] Pada 2014 NU tercatat menyatakan penolakan bahwa intoleransi agama memainkan peranan dalam berbagai kasus kekerasan.[139] Sebelum pengumuman soal LGBT pada 22 Febuari, NU tak pernah mengeluarkan pernyataan yang benar-benar bertentangan dengan misinya tentang toleransi dan keberagaman, atau begitu terus terang menyasar komunitas tertentu dengan retorika tak manusiawi.
 

Sebagai organisasi sipil terbesar di Indonesia, NU menerima hibah dari penyandang dana internasional seperti USAID dan Global Fund untuk pelaksanaan kegiatan penguatan masyarakat dan pelayanan sosial melalui jaringan pedesaannya yang kuat. Dalam pengkajiannya soal strategi untuk mendukung pencegahan kekerasan ekstrimisme di Indonesia, USAID menegaskan bahwa NU adalah “pusat keberhasilan dari usaha-usaha untuk  melakukan respon kelembagaan yang luas  terhadap [kekerasan ekstrimisme dan pemberontakan].”[140]

NU mewakili kekuatan pemandu tidak hanya dalam soal praktik keagamaan, namun juga dalam aktivisme masyarakat sipil, pembangunan sosial ekonomi, dan pembuatan kebijakan; sedemikian rupa, karena NU menempati landasan yang unik di satu sisi menyebarkan ideolagi toleran dan keadilan sosial – atau, sebagaimana pernyataannya tentang orang LGBT pada 22 Febuari yang menunjukkan, kebalikannya. Pada Agustus 2015, kongres NU memilih Ma’ruf Amin menjadi ketuanya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, NU memiliki pengaruh politik yang cukup.

dipertimbangkan di Indonesia. Kapasitas operasionalnya telah dikenal oleh masyarakat internasional. Mulai dari 2013, Global Fund mendukung NU dengan dana sebesar $13 juta dollar untuk untuk pekerjaan penanganan HIV/AIDS selama tiga tahun (bantuan berakhir pada 2015). Hasil-hasil proyek ini termasuk pembentukan pusat informasi kesehatan masyarakat dan penyediaan dukungan psikososial; target populasi kunci untuk menerima “paket layanan pendamping” ini termasuk orang-orang transjender (waria) dan pria yang berhubungan seks dengan pria (MSM).[141]

Pada 5 Maret, departemen kesehatan NU mengeluarkan pernyataan kedua yang menggariskan kerja kesehatan publik organisasi ini dengan populasi minoritas seksual dan ender. Departemen kesehatan menegaskan bahwa ia setuju dengan pengurus NU sejauh “LGBT merupakan prilaku yang menyangkal sifat manusia,” namun menyatakan bahwa kerja-kerjanya dalam soal HIV/AIDS berarti bahwa ia mendekati semua masyarakat berdasarkan “prinsip kemanusiaan universal.” Bagaimanapun juga pernyataan ini menekankan bahwa divisi kesehatan NU “tidak membuat atau terlibat dalam agenda kampanye dan propaganda untuk memperjuangkan pengakuan keberadaan LGBT” dan meminta “semua pihak untuk tidak mempolitisasi dan mengambil keuntungan atas kerjasama yang dibangun oleh [NU] untuk kepentingan politik, selain untuk kepentingan kesehatan.”[142]

Seruan sangsi kriminal NU terhadap orang LGBT dan aktivisme terkait LGBT merupakan ancaman berbahaya bagi keamanan, kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi, dan hak atas privasi. Sekarang, lembaga politik non pemerintah paling berkuasa ini secara terbuka mendukung legislasi undang-undang diskriminatif dan mempromosikan model palsu intervensi “kuratif”, sebuah posisi yang menolak ilmu pengetahuan dan penghormatan terhadap hak dasar orang LGBT.

Sulitnya Pencabutan Separuh Jalan

Pada 15 Febuari, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan diundang dalam pertemuan bersama antar pejabat pemerintah dan DPR. Dia mengatakan dia memahami homoseksualitas dilarang oleh agama, “bagi saya orang LGBT punya hak asasi manusia sebagai warga Indonesia.”[143]

Komentar Pandjaitan muncul sebagai bantahan terhadap serangan gencar retorika anti-LGBT yang sudah sampai pada tingkat puncak, serta beberapa media menurunkan berita utama menyoroti sikap Luhut yang tampaknya mendukung (LGBT).. Meski demikian, komentar Pandjaitan ini juga berisi pemahaman mengganggu dan tak akurat soal homoseksualitas. Pandjaitan selanjutnya memperingatkan bahwa “tak ada jaminan bahwa keluarga normal bisa menghindar dari [punya anak LGBT],” dan bahwa homoseksualitas “adalah penyakit kromosom, dan karenanya harus mendapat perawatan.”[144]

Keluar hanya empat hari sebelum PDKSJI mendeklarasikan identitas LGBT sebagai “penyakit mental,” pernyataan Pandjaitan ini mengisyaratkan model medis yang berasal dari kubu yang telah usang dan tidak sah tentang orientasi seksual dan identitas gender. Pemahaman seperti ini secara khusus mengganggu karena mengingat kondisi mengerikan yang dihadapi oleh banyak orang dengan kondisi kesehatan mental di Indonesia.[145]

Kewajiban Hukum Indonesia

Pada 2012 Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia mempublikasikan panduan ringkas beberapa kewajiban hukum utama negara sehubungan dengan perlindungan hak asasi manusia terhadap orang LGBT[146] Ia termasuk kewajiban untuk:

  • Melindungi individu dari kekerasan homophobia dan transphopia.
  • Melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.
  • Menjamin kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai untuk semua orang LGBT.

Indonesia adalah satu pihak dari beberapa  pakta dan protokol hak asasi manusia yang mengatur banyak dari kewajiban ini.  Pakta yang relevan termasuk Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,  Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak Anak (CRC).[147]

Hak Atas Perlindungan dan Keamanan

Dalam penegakan hak untuk hidup dan untuk keamanan dan kebebasan dari perlakuan kejam, tak manusiawi, atau merendahkan martabat, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mewajibkan Indonesia untuk melindungi semua orang di wilayah atau yurisdiksinya, termasuk anggota kelompok-kelompok yang terpinggirkan , dari kekerasan. Negara punya tanggungjawab untuk menginvestigasi dan menuntut kekerasan, baik yang dilakukan oleh aktor negara atau non-negara.[148] Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) juga mensyaratkan negara untuk melindungi perempuan dan anak perempuan dari kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan berbasis pada prasangka-prasangka yang diskriminatif, yang artinya semua negara “punya kewajiban melakukan uji kelayakan untuk mencegah, menginvestigasi, menuntut dan menghukum berbagai aksi kekerasan berbasis gender.”[149]

Untuk memenuhi kewajiban di bawah ICCPR dan CEDAW, Indonesia harus mengambil langkah-langkah lebih efektif untuk mencegah dan lebih konsisten menginvestigasi dan menghukum serangan-serangan terhadap anggota komunitas LGBT khususnya yang dimotivasi oleh kebencian terhadap orientasi seksual dan identitas gender mereka.

Kebebasan Berkumpul

Pasal 21 ICCPR secara eksplisit melindungi hak berkumpul secara damai. Pada laporan 2016, Pelapor Khusus PBB tentang hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat merinci bahwa “kegagalan negara untuk melindungi peserta aksi damai dari kekerasan dalam protes tandingan dari para fundamentalis, misalnya, merupakan pelanggaran terhadap hak kebebasan berkumpul secara damai.” Pelapor Khusus mengklarifikasi; “tidak masalah jika negara tidak secara resmi mempromosikan ideologi para pemrotes tandingan itu; negara memiliki tugas positif untuk melindungi mereka yang menggunakan hak mereka untuk berkumpul secara damai, bahkan jika mereka mempromosikan posisi tak populer (misalnya, hak untuk orang LGBT atau orang-orang dari agama minoritas).[150]

Indonesia harus memastikan orang-orang LGBT bisa menggunakan hak mereka untuk berkumpul secara damai dengan aman dan meminta tanggungjawab pejabat polisi yang menolak untuk melindungi pertemuan orang LGBT dari serangan terlepas dari apakah pertemuan itu sudah mendapatkan izin dari kepolisian atau tidak.

Kebebasan Berekspresi

Keputusan KPI dan KPAI untuk menyensor konten LGBT melanggar kewajiban Indonesia di bawah pasal 19 ICCPR. Penyensoran juga bertentangan dengan pasal 28 Undang-Undang Dasar Indonesia. Komite Hak Asasi Manusia PBB, badan ahli independen yang menafsirkan ICCPR, menyatakan dalam Komentar Umum No. 34 bahwa “[h]ukum tak boleh melanggar ketentuan non-diskriminasi” ICCPR, dan bahwa setiap pembatasan hak kebebasan berekspresi “harus dipahami dalam pertimbangan universalitas hak asasi manusia dan prinsip non diskriminasi.”[151]

Hak untuk Mengakses Informasi

Bagi orang LGBT dan orang yang menanyakan gender dan seksualitas mereka, termasuk anak-anak, informasi akurat tentang orientasi seksual dan identitas gender adalah sangat penting untuk perasaan wajar terhadap diri sendiri, memajukan pemahaman (agar diperlakukan secara wajar) di antara rekan, dan menikmati hak-hak seperti hak atas kesehatan.

Hukum Perlindungan Anak Indonesia menyatakan bahwa “hak-hak anak akan dilindungi dan bahwa mereka tidak akan mengalami perlakukan diskriminatif” dan secara khusus menyebutkan: “Setiap anak berhak untuk bicara dan memiliki pendapat untuk didengar, dan menerima, mencari, dan menyampaikan informasi.” Hukum ini menegaskan bahwa: “Perlindungan anak harus berdasar Pancasila (ideologi nasional), UUD 1945 dan prinsip dasar yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak, termasuk yang berikut: a. Tanpa diskriminasi; b. Kepentingan terbaik anak; c. Hak untuk hidup, melanjutkan hidup dan berkembang; d. Menghormati pendapat anak-anak.”[152]


Hak mengakses informasi, diatur dalam pasal 19 ICCPR, saling berhubungan dengan hak-hak lainnya, termasuk hak atas kesehatan. Pelapor Khusus PBB tentang hak atas pendidikan mencatat pada 2010 bahwa seksualitas, kesehatan, dan pendidikan adalah “hak interdependen,” penjelasannya, “Kita harus bisa menjaga kesehatan, berurusan dengan seksualitas kita secara positif, bertanggungjawab, dan dengan rasa hormat, dan oleh karenanya kita harus sadar akan kebutuhan dan hak-hak kita.”[153] Organisasi Kesehatan Dunia menjelaskan bahwa “kesehatan seksual tak dapat didefinisikan, dipahami atau dibuat operasional tanpa pertimbangan meluas dari seksualitas, yang mendasari perilaku penting dan hasil yang berkaitan dengan kesehatan seksual,” dan termasuk dalam definisi seksualitasnya “seks, identitas dan peran gender, [dan] orientasi seksual.”[154]

Hak atas informasi termasuk informasi tentang orientasi seksual dan identitas gender. Komite PBB tentang Hak Anak, badan ahli independen yang memonitor dan menginterpretasi Konvensi Hak Anak, telah mendesak pemerintah untuk mencabut undang-undang yang membatasi informasi LGBT dan “memastikan bahwa anak-anak dari kelompok LGBT atau anak dari keluarga LGBT tidak dikenai berbagai bentuk diskriminasi dengan meningkatkan kesadaran publik tentang kesetaraan dan non diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.”[155]

Komite PBB Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengatakan bahwa hak atas kesehatan terkait dengan hak-hak lain, termasuk hak atas “privasi, akses terhadap informasi, dan kebebasan berserikat, berkumpul, dan terlibat dalam pergerakan”—hak-hak yang akan berada dalam bahaya bila kekerasan atau ancaman kekerasan, sebagaimana didokumentasikan di laporan ini, menghambat petugas kesehatan, aktivis LGBT, dan lainnya yang bersama-sama berbagi informasi tentang HIV dan kesehatan seksual.[156] Hak kesehatan secara spesifik mencakup “akses terhadap pendidikan dan informasi yang terkait dengan kesehatan, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi.”[157] Hak untuk mencapai standar kesehatan tertinggi dijamin di bawah ICESCR dan CEDAW.[158] Pemerintah tidak boleh melakukan diskriminasi atas dasar orientasi seksual atau identitas gender dalam pemenuhan hak atas kesehatan.[159]

Menyensor informasi tentang kehidupan LGBT dapat memiliki konsekuensi buruk, termasuk meningkatnya stigma yang bisa mendorong kekerasan, pelecehan, dan hasil kesehatan mental yang buruk. Dalam pernyataan tahun 2015 dari 12 Lembaga PBB—termasuk UN Children’s Fund, UNICEF—pemerintah didesak untuk melaksanakan kewajiban hak asasinya dengan “[m]elarang diskriminasi terhadap LGBT dewasa, remaja dan anak anak dalam semua konteks—termasuk dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, perumahan, perlindungan sosial, peradilan pidana, dan pengaturan suaka dan penahanan, “dan” [m]emerangi prasangka terhadap orang LGBT melalui dialog, edukasi publik dan pelatihan.”[160] UNICEF mengatakan daripada memblokir informasi tentang kehidupan LGBT dari anak, pemerintah harus “mencabut undang-undang yang menjadi sumber diskriminasi, dan khususnya yang mengkriminalisasi…’dukungan’ terhadap homoseksualitas, perkumpulan  anak dan individu LGBT.”[161]

Pada Mei 2016, Komite PBB tentang Hak Anak bergabung dengan kelompok ahli hak asasi manusia PBB, Komisi Inter-Amerika tentang Hak Asasi Manusia, Komisi Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat dan Komisioner Hak Asasi Manusia Dewan Eropa mendesak pemerintah seluruh dunia untuk mereformasi klasifikasi medis dan untuk mengadopsi langkah-langkah untuk mencegah semua bentuk perawatan dan prosedur paksa terhadap orang LGBT. Pernyataan itu bunyinya: “Kami menyambut kemajuan dalam depatologisasi ketertarikan sesama jenis sejak Organisasi Kesehatan Dunia berhenti memperlakukan homoseksual sebagai penyakit dan menghapusnya dari Klasifikasi Internasional Penyakit dua puluh tahun lalu, namun kita tetap prihatin bahwa homoseksualitas terus dipatologisasikan oleh beberapa asosiasi medis nasional.”[162]

Jalan Kedepa

Bukanlah pekerjaan pemerintah untuk mencampuri kehidupan pribadi kami dengan menyensor media sosial dan hal-hal semacamnya. Pemerintah harus menyadari bahwa kami tidak menjadi provokatif dan meminta pernikahan sesama jenis, kami hanya meminta kebebasan yang paling dasar, privasi, dan keamanan.

—Seorang Gay 33 tahun di Sulawesi Selatan

Ketika komentar Menteri Nasir pada 24 Januari membuka gerbang air untuk arus  retorika penuh kebencian dari pemerintah terhadap kaum LGBT dan organisasinya yang tidak pernah terjadi sebelumnya, , maka ia mengungkap kerentanan dalam lingkungan di mana para aktivis dan golongan minoritas seksual dan gender itu hidup dan bekerja—serta daya tahan mereka. Sejak Febuari, beberapa LSM telah mengajukan berbagai keberatan atas keterlibatan pejabat tinggi dalam gelombang retorika dan pembuatan kebijakan anti-LGBT, dan para aktivis telah berusaha untuk mendapat dukungan dari berbagai aktor hak-hak asasi penting lainnya di Indonesia. Hampir segera setelah komentar Nasir, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengutuk retorika anti-LGBT pejabat pemerintah, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengecam statemen tersebut pada awal Febuari.[163]

Pada 5 Febuari, ketika retorika anti-LGBT masih di tahap awal, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan statemen semacam Menteri Nasir tak sejalan dengan doktrin Nawa Cita pemerintah Jokowi, yang menegaskan pluralisme Indonesia. Yang terakhir dari sembilan prinsip Nawa Cita termasuk menyerukan toleransi, pendidikan keragaman, dan penciptaan ruang dialog antar warga negara.[164]

Sekalipun hiruk pikuk itu agak mereda pada bulan April, beberapa orang masih berusaha melanjutkan kampanye anti LGBT tersebut – dengan mendemonstrasikan perlunya tindakan cepat dari pemerintah untuk memerangi, ketimbang menyumbang pada bias anti LGBT. Pada Juli 2016, sekelompok 12 pakar yang dipimpin oleh Euis Sunarti, seorang professor di Institut Pertanian Bogor, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan menuntut agar semua orang LGBT dipenjara selama 5 tahun karena melanggar hukum pidana Indonesia.  Pada saat penerbitan, sidang kelima dijadwalkan akan berlangsung pada 23 Agustus, 2016.[165]

Aktivis Indonesia telah memetakan jalan ke depan dengan fokus pada perbaikan retorika publik soal orientasi seksual dan identitas gender, menyibak hambatan birokrasi dan berjuang kembali melawan diagnosa untuk homoseksualitas, dan menyelamatkan hidup melalui penguatan perlindungan jaminan konstitusional atas kebebasan berekspresi dan berserikat. Arus Pelangi, federasi nasional organisasi LGBT, menulis pada Dewan Pers Indonesia untuk memprotes liputan menghasut Republika tentang isu LGBT. Organisasi ini juga menyurati Dr. Fidiansjah, dan bertemu secara resmi pada April 2016 menuntut ia menarik kembali ucapan tentang homoseksualitas sebagai “penyakit mental.” Dia telah setuju untuk membuat penjelasan publik atas pernyataannya pada 22 Juli 2016.

Rekomendasi

Pada Presiden Joko Widodo

  • Secara publik mengutuk semua insiden besar kekerasan anti-LGBT yang terjadi di Indonesia, termasuk penyerangan terhadap individu, organisasi, atau pertemuan;
  • Secara publik mengakui lingkup dan kegawatan persoalan kekerasan dan pelecehan terhadap orang LGBT di Indonesia, dan berkomitmen mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri pelanggaran tersebut;
  • Menginstruksikan pejabat pemerintah untuk tidak membuat pernyataan publik yang menyasar orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender dengan cara diskriminatif dan kejam.

Kepada Menteri Hukum dan HAM

  • Meninjau semua perda tingkat provinsi dan kabupaten untuk memastikan bahwa perda-perda ini sesuai dengan jaminan konstitusional dan kewajiban HAM internasional Indonesia untuk tidak diskriminatif dan menghormati kehidupan pribadi individu, termasuk identitas seksual atau jenis kelamin mereka.

Menteri Dalam Negeri

  • Perintahkan semua pemerintahan provinsi, kabupaten, dan pemerintah kota untuk mencabut semua perda diskriminatif yang melanggar standar internasional atau bertentangan dengan konstitusi Indonesia;
  • Dalam konsultasi dengan LSM-LSM, mengembangkan pelatihan non-diskriminasi untuk semua anggota polisi di seluruh negeri, termasuk pelatihan tentang keragaman seksual dan gender.

Pada Kementerian Kesehatan

  • Memastikan bahwa semua pelatihan untuk dokter, perawat, dan pekerja kesehatan lainnya menyampaikan pesan-pesan non-diskriminatif dan isu kesehatan lain menimpa orang LGBT;
  • Secar publik menolak pernyataan Asosiasi Psikiater Indonesia bahwa homoseksualitas dan “tranjenderisme” adalah kondisi kesehatan mental;
  • Bekerjasama dengan LSM-LSM yang mewakili minoritas gender dan seksual dalam membuat panduan untuk penyedia layanan kesehatan jiwa berdasarkan prinsip non diskriminasi yang mengakui bahwa perbedaan orientasi seksual dan identitas gender adalah aspek alami dari kehidupan manusia;
  • Melarang penahanan paksa dan pengobatan terhadap siapa saja yang diklaim bisa “diobati” dari homoseksualitas, biseksualitas, atau identitas gender, dan secara ketat menegakkan pelarangan ini;
  • Melakukan peninjauan yang menyeluruh terhadap pendanaan yang terkait dengan kesehatan yang disalurkan kepada organisasi-organisasi keagamaan untuk memastikan bahwa mereka menjunjung standar non-diskriminasi yang dilindungi oleh konstitusi.

Komisi Nasional Perlindungan Anak

  • Segera dan secara publik mencabut pernyataan komisi pada 1 Febuari tentang “propaganda LGBT” dan menolak larangan KPI tentang hak penyiaran LGBT.
  • Bekerja dengan KPI untuk mengeluarkan arahan yang memastikan bahwa regulasi siaran tidak membatasi hak-hak dasar dan kebebasan berbagai kelompok, termasuk orang LGBT.
  • Secara publik menegaskan kembali mandat komisi untuk melindungi anak-anak, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender, atau orang tua mereka.

Kementerian Komunikasi dan Informasi

  • Segera dan secara terbuka mencabut larangan siaran terkait-LGBT dari Komisi Penyiaran Indonesia pada 12 Febuari;
  • Secara publik menentang seruan Komisi I DPR untuk menyensor informasi terkait-LGBT dan menolak berpartisipasi dalam penyusunan hukum-hukum yang sejenis;

Perserikatan Bangsa Bangsa dan Partner Pembangunan Indonesia Lainnya

  • Meninjau semua hibah pada pemerintah Indonesia dan organisai non pemerintah, termasuk organisasi agama, untuk memastikan semua penerima menegakkan prinsip-prinsip non-diskriminasi;
  • Menginvestigasi semua penerima hibah yang membuat pernyataan diskriminatif atau menentang mereka yang dilaporkan telah melakukan diskriminasi dan pelecehan dan memastikan semua layanan disediakan untuk semua penduduk bebas dari rasa takut;
  • Mendesak Indonesia untuk melindungi hak kebebasan berekspresi dan berserikat, termasuk mendesak pihak kepolisian untuk melindungi pertemuan kelompok marjinal yang mendapat ancaman;
  • Mengkomunikasikan dengan partner masyarakat sipil tentang protokol keamanan dan sumber daya yang tersedia pada saat krisis, dan berkomitmen untuk membela kelompok dan individu yang terancam atau diserang dengan kekerasan.

Ucapan Terima Kasih

Kyle Knight, peneliti dalam program LGBT menulis laporan ini utamanya berdasarkan penelitian yang lakukannya bersama Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia, antara September 2015 dan Maret 2016. Associate dari Divisi Asia, Shayna Bauchner, ikut meneliti dan menulis beberapa bagian dari laporan ini. Aron LeFevre, pemagang dalam program hak-hak LBGT, membantu sepanjang proyek penelitian ini.

Graeme Reid, direktur LGBT, and Phelim Kine, wakil direktur Asia, menyunting laporannya. Diederik Lohman, direktur pelaksana kesehatan dan hak asasi manusia, Kriti Sharma, peneliti hak-hak disabilitas, dan Aruna Kayshap, peneliti hak-hak perempuan, mengkaji/review laporan ini. Aisling Reidy, penasehat hukum senior dan Joseph Saunders, wakil direktur program, memberikan kajian/review tambahan.

Human Rights Watch mengucapkan terima kasih pada Yuli Rustinawati dan rekan-rekannya di Arus Pelangi yang telah membantu mengkoordinasi penelitian untuk laporan ini, juga pada Dédé Oetomo dan lusinan LGBT Indonesia yang berbagi ceritanya dengan kami.

Region / Country
Topic