Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo melakukan hal istimewa dalam Pidato Kenegaraannya pada 16 Agustus lalu: Ia menghimbau tentang pentingnya toleransi.
"Saya yakin jika masyarakat Indonesia ingin tetap bersatu, toleran, dan peduli terhadap sesama anak bangsa, maka Indonesia bukan lagi hanya nama atau gambar rangkaian pulau di peta dunia, melainkan sebuah kekuatan yang dihormati oleh negara lain di dunia," kata Jokowi.
Keterangan itu, dalam sebuah pidato yang didominasi ungkapan-ungkapan bergelora tentang komitmen pembelanjaan infrastruktur dan proyeksi-proyeksi pertumbuhan ekonomi, menunjukkan pengakuan publik yang langka--meski ambigu--atas ancaman dan diskriminasi yang semakin parah terhadap kelompok-kelompok minoritas seksual dan keagamaan di Indonesia. Kelompok minoritas keagamaan adalah yang paling rentan, karena ada pasal penodaan agama yang mematikan. Korban terakhir pasal itu adalah perempuan penganut Buddha yang terancam hukuman penjara hingga 18 bulan hanya karena mengeluhkan volume pengeras suara masjid dekat tempat tinggalnya.
Lonjakan retorika anti-LGBT oleh para pejabat pemerintah sejak 2016, juga upaya-upaya mengkriminalisasi hubungan sesama jenis, berkaitan dengan memburuknya epidemi HIV nasional. Himbauan toleransi Jokowi jadi semakin mengesankan mengingat selama ini ia memalingkan muka dari diskriminasi LGBT serta peran sejumlah pejabat pemerintah dalam mengobarkannya.
Jokowi juga memanfaatkan pidato itu untuk menyatakan kembali janji lamanya untuk "menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi di masa lalu serta memperbaiki perlindungan HAM agar hal serupa tak terjadi di kemudian hari." Namun, Jokowi tak menguraikan rincian atau rencana apa pun tentang resolusi tersebut.
Acuan pertama Jokowi kepada toleransi dalam Pidato Kenegaraan tahunan mungkin menunjukkan pengakuan bahwa ia telah gagal mewujudkan dukungan retorisnya kepada hak asasi ke dalam inisiatif-inisiatif kebijakan yang berarti. Atau, ia bermaksud menanggapi kritik-kritik para aktivis HAM terhadap keputusannya memilih Ma'ruf Amin, seorang ulama konservatif yang sangat berperan mengobarkan diskriminasi terhadap minoritas keagamaan dan gender, sebagai calon wakilnya dalam pemilu presiden mendatang.
Kini, Jokowi ditantang untuk membuktikan retorika toleransinya dengan kebijakan-kebijakan substantif yang akan melindungi kelompok masyarakat yang rentan dan menyeret para pelanggar hak-hak asasi ke hadapan keadilan.