(New York) – Kejaksaan Agung Malaysia seyogianya menarik semua kasus tertunda yang didasarkan pada Undang-Undang Penghasutan tahun 1948 yang keji di negara itu, kata Human Rights Watch hari ini. Pemerintahan Pakatan Harapan yang baru dibentuk semestinya segera mencabut undang-undang, yang telah lama digunakan untuk mengadili perbedaan politik yang disuarakan secara damai.
Kejaksaan Agung Malaysia telah menarik dakwaan dari beberapa kasus penghasutan dalam beberapa pekan terakhir, tetapi belum mengambil langkah terhadap kasus lain yang mengangkat masalah hak asasi, kata Human Rights Watch.
”Undang-undang Penghasutan Malaysia adalah undang-undang yang terlalu luas yang secara konsisten digunakan untuk tujuan politik melawan kritik terhadap pemerintah dan pengadilan. Itu harus dicabut," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. "Undang-undang itu benar-benar tidak konsisten dengan standar kebebasan berbicara internasional, yang mengakui hak untuk mengkritik semua pejabat pemerintah.”
Undang-undang Penghasutan Malaysia mengkriminalisasi setiap perbuatan dengan “kecenderungan menghasut,” seperti cenderung secara luas “membangkitkan ketakpuasan terhadap” atau “membawa kebencian atau penghinaan terhadap” pemerintah, lembaga peradilan, raja, atau penguasa di negara-negara bagian.
Pemerintah Malaysia sebelumnya di bawah Perdana Menteri Najib Razak menggunakan undang-undang ini secara agresif untuk menghukum para kritikus. Koalisi Pakatan Harapan, mengakui bahwa Undang-Undang Penghasutan itu “opresif dan tidak adil,” dan berjanji dalam manifesto pemilu 2018 mereka akan mencabutnya.
Pemerintahan sebelumnya mengajukan sejumlah kasus terhadap para pengkritik keputusan Pengadilan Federal yang menguatkan vonis soal sodomi terhadap Anwar Ibrahim pada Februari 2015 - sebuah vonis yang kini telah secara efektif dibatalkan oleh raja Malaysia.
Meski beberapa dari kasus-kasus itu, termasuk yang menimpa kartunis politik Zunar, pengacara N. Surendran, dan R. Sivarasa, seorang anggota Parlemen dan wakil menteri, kini telah ditarik, sementara yang lain masih menunggu keputusan dan semestinya dibatalkan juga, kata Human Rights Watch. Beberapa tuntutan masih tertunda termasuk tuduhan penghasutan yang dilakukan oleh S. Arulchelvan, karena mengkritisi keputusan yang dikeluarkan atas nama Parti Socialis Malaysia, dan tuduhan terhadap aktivis Lawrence Jayaraj, karena mengkritik keputusan itu di media sosial.
Kasus-kasus lain yang ditangguhkan di mana para terdakwa telah meminta pembatalan tuntutan termasuk yang dilakukan pengacara Eric Paulsen, yang menghadapi tuduhan penghasutan karena komentar yang mengkritik Departemen Pengembangan Islam Malaysia (JAKIM). Setidaknya tiga dari mereka yang dituduh melakukan penghasutan atas pernyataan yang dibuat dalam sebuah forum pada Mei 2013 setelah Pemilihan Umum 2013, juga menunggu keputusan dari Kejaksaan Agung. Tian Chua dan Haris Ibrahim, keduanya telah divonis dan kasusnya sedang banding, telah memohon agar pemerintah menarik penentangannya terhadap aksi banding mereka, sementara Tamrin Ghafar, yang kasusnya sedang berlangsung, juga berupaya membatalkan tuduhan terhadapnya.
“Pemerintah baru Malaysia tidak boleh melanjutkan penuntutan kejam yang diajukan oleh pemerintahan sebelumnya dengan menggunakan hukum yang tak adil ini,” kata Robertson. “Pemerintah seharusnya mencabut semua dakwaan dan banding yang melibatkan Undang-Undang Penghasutan, serta mengumumkan penangguhan penyelidikan dan penuntutan berdasarkan undang-undang itu, dan kemudian segera mencabutnya.”