(New York) - Pemerintah Malaysia menindak keras para aktivis dan politisi oposan yang kritis pada pemerintah pada 2017, papar Human Rights Watch hari ini saat merilis World Report 2018-nya. Dengan tuduhan korupsi yang masih membayangi Perdana Menteri Najib Razak dan pemilu nasional yang dijadwalkan pada 2018, pemerintah memperketat undang-undang yang represif saat menyerang dan mengkriminalisasi para kritikus damai.
Dalam World Report setebal 643 halaman, edisi ke-28, Human Rights Watch mengulas berbagai praktik hak asasi manusia di lebih dari 90 negara. Dalam esai pengantarnya, Direktur Eksekutif Kenneth Roth menuliskan bahwa para pemimpin politik yang bersedia membela prinsip-prinsip hak asasi manusia menunjukkan ada kemungkinan untuk membatasi agenda kaum populis yang otoriter. Ketika dikombinasikan dengan publik yang dimobilisasi dan aktor multilateral yang efektif, para pemimpin ini menunjukkan bahwa kebangkitan pemerintah anti-hak asasi manusia bukanlah sesuatu yang tak dapat dihindari.
“Perdana Menteri Malaysia Najib telah berusaha keras sepanjang tahun lalu untuk memadamkan komentar-komentar kritis terhadap pemerintahnya,” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia. “Ketakutan akan represi lanjutan terhadap para aktivis akan meningkat saat pemilu 2018.”
Klaim Perdana Menteri Najib pada April 2017 bahwa kebebasan berbicara “berkembang” di Malaysia tidak mencerminkan kenyataan, kata Human Rights Watch. Pemerintah berulang kali menggunakan Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia untuk menyelidiki dan mengadili mereka yang mengkritik para pejabat pemerintah di media sosial. Di antara mereka yang dituntut adalah petinggi portal berita online Malaysiakini terkait sebuah video yang mengkritik jaksa agung karena membersihkan perdana menteri dari tuduhan korupsi.
Para pembela hak asasi manusia terus menghadapi serangan hukum dan pembatasan hak-hak secara sewenang-wenang. Pada bulan Maret, pihak berwenang menginvestigasi tiga anggota Kelompok Aksi Warga untuk Penghilangan Paksa (Citizen Action Group on Enforced Disappearances - CAGED) karena membuat pernyataan dengan “maksud menimbulkan ketakutan dan kewaspadaan di dalam masyarakat” setelah mereka merujuk pada “penghilangan paksa” beberapa anggota gereja Kristen yang hilang. Pada bulan Mei, pengadilan menghukum aktivis Lena Hendry untuk membayar denda sebesar RM10.000 (Rp 27 Juta) atau menjalani hukuman satu tahun penjara karena mengatur pemutaran film dokumenter “No Fire Zone.” Pada bulan Juni, pengacara Siti Kassim didakwa “menghalangi pegawai negeri” karena menantang otoritas pejabat agama negara bagian yang menggerebek kontes kecantikan transgender pada April 2016.
Diskriminasi terhadap kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) terjadi secara luas di Malaysia. Kekerasan terhadap kalangan LGBT menjadi sorotan pasca pembunuhan terhadap perempuan transgender Sameera Krishnan pada bulan Februari serta pemerkosaan dan pembunuhan terhadap T. Nhaveen, 18 tahun, di mana sang penyerang mengejek laki-laki itu dengan hinaan anti-LGBT, pada bulan Juni.
Pemerintah memberlakukan sejumlah undang-undang kejam yang mengizinkan penahanan tanpa peradilan. Di antaranya adalah Undang-Undang Gangguan Keamanan (Tindakan Khusus), yang memungkinkan penahanan 28 hari tanpa judicial review untuk serangkaian “pelanggaran keamanan.” Pemerintah juga telah melakukan amendemen terhadap Pencegahan Tindak Pidana yang ketat, yang secara efektif menghilangkan hak seorang tahanan untuk didengar.
Pemerintah Malaysia terus beralih ke arah Islam yang lebih konservatif, agama mayoritas. Sebuah Rancangan Undang-Undang yang memungkinkan pengadilan Syariah (Hukum Islam) negara bagian untuk menjatuhkan hukuman lebih tinggi masih menunggu keputusan di Parlemen. Pada bulan Juli, Negara Bagian Kelantan mengeluarkan undang-undang yang mengizinkan pengadilan Syariah menjatuhkan hukuman cambuk di depan umum. Pada bulan September, Kementerian Agama Islam Wilayah Federal menahan dan menginterogasi akademisi Turki Mustafa Akyol, penulis sebuah buku yang mempromosikan Islam liberal, karena memberikan ceramah tentang Islam tanpa surat keterangan resmi dari otoritas keagamaan. Penyelenggara acara dituduh bersekongkol dengan Akyol dan terancam hukuman tiga tahun penjara. Menteri Dalam Negeri kemudian melarang buku Akyol, bersama dengan kumpulan artikel ilmiah yang diterbitkan oleh organisasi G25, yang mendukung pendekatan yang lebih moderat terhadap Islam.
“Pejabat pemerintah Malaysia seharusnya bersuara menentang meningkatnya gelombang intoleransi agama bukan malah berkontribusi terhadapnya,” kata Robertson. “Di negara multi-etnis dan multi-agama, Perdana Menteri Najib seharusnya membela hak semua orang di negara tersebut agar bisa berbicara secara bebas dan menjalankan agama mereka tanpa rasa takut.”