Presiden Filipina Rodrigo Duterte ketakutan.
Itulah sinyal yang dia kirimkan pekan lalu saat mengumumkan Filipina akan menarik diri dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) “secara efektif segera.” Duterte berusaha membenarkan penarikan itu dengan mengatakan langkah ICC bulan lalu yang meluncurkan pemeriksaan awal terhadap pembunuhan yang dikaitkan dengan “perang melawan narkotika” pemerintah Filipina telah melanggar prinsip “proses hukum dan praduga tidak bersalah.”
Namun di balik kecaman Duterte soal “dikejutkan” oleh keprihatinan ICC tentang kampanye anti-narkotika yang telah menewaskan ribuan orang, termasuk puluhan anak-anak, adalah ketakutan bahwa ia dan para pejabat senior pemerintahan pasti akan menghadapi pengadilan atas peran mereka dalam pembunuhan itu.
Duterte punya alasan kuat untuk takut terlibat dalam kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan karena menghasut dan menganjurkan pembunuhan atas nama “perang melawan narkotika.” Sumpahnya yang terang-terangan untuk memulai kampanye pembunuhan di penjuru negeri terhadap para pengedar dan pengguna narkotika adalah dasar dari platform saat pemilihan presiden yang menghantarkannya ke kursi kepresidenan. Saat dilantik pada 30 Juni 2016, ia mengatakan kepada masyarakat Filipina, “Jika Anda tahu ada pecandu, silahkan dan bunuh mereka dengan tangan Anda sendiri, karena akan terlalu menyakitkan kalau orangtua mereka yang melakukannya.” Itu bisa menjadi hasutan untuk melakukan pembunuhan.
Duterte telah berulang kali menyerukan Kepolisian Nasional Filipina untuk mengincar para terduga pengguna atau pengedar narkotika menggunakan kekerasan di luar proses hukum, yang dapat dianggap menghasut penegak hukum untuk melakukan pembunuhan. Pada Agustus 2016, ia memperingatkan para terduga pengedar narkotika: “Perintah saya adalah menembak mati Anda. Saya tak peduli dengan hak asasi manusia, Anda lebih baik mempercayai saya.” Pada bulan April 2017, Duterte menyambut kepulangan sekelompok pekerja migran Filipina dari luar negeri dengan mengatakan kepada mereka, “Jika Anda kehilangan pekerjaan, saya akan memberi Anda pekerjaan. Bunuh semua pecandu narkotika.”
Pesan konsisten dari Duterte untuk mengincar para pengedar dan pengguna narkotika tidak diabaikan begitu saja. Sejak dirinya menjabat, kampanye anti-narkotika Duterte telah mengakibatkan lebih dari 12.000 kematian. Dan pembunuhan terus berlanjut. Duterte dan beberapa menteri utamanya memuji pembunuhan itu sebagai bukti “keberhasilan” kampanye dan mendesak polisi untuk “memanfaatkan momentum ini.”
Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Human Rights Watch dan pihak lain telah mengungkap pola memberatkan perilaku polisi yang melanggar hukum serta dirancang untuk memberikan lapisan legalitas atas eksekusi mati dalam “perang melawan narkotika.” Sebagai balasannya, Duterte dan Direktur Kepolisian Nasional Filipina Jenderal Ronald dela Rosa telah memberikan kekebalan hukum yang dilembagakan bagi keterlibatan polisi dalam pembunuhan dalam waktu singkat itu. Dela Rosa menepis seruan untuk investigasi independen terhadap pembunuhan dalam perang melawan narkotika polisi itu sebagai “pelecehan hukum” dan mengatakan tuntutan itu “melemahkan moral” para polisi. Pada bulan Agustus, Duterte bersumpah untuk “mengampuni dan mempromosikan” setiap personel polisi yang terlibat dalam pembunuhan tidak sah tersebut.
Duterte juga berusaha secara sistematis menghilangkan penentangan yang berarti terhadap pembunuhan dalam perang melawan narkotika itu. Pada bulan Agustus, Duterte mendorong serangan polisi terhadap kelompok-kelompok hak asasi manusia dan advokat, menginstruksikan polisi untuk menembak mereka “jika mereka menghalangi keadilan.” Duterte secara terbuka mengutuk anggota Komisi Hak Asasi Manusia, bahkan mengancam akan menghapuskan lembaga yang diamanatkan oleh konstitusi itu. Ia juga berulang kali mengincar pakar PBB tentang pembunuhan tanpa melalui proses hukum, Agnes Callamard, dengan ejekan yang tak senonoh karena Agnes berulangkali berusaha untuk mendapatkan izin kunjungan resmi ke Filipina.
Senator Leila de Lima, mantan ketua komisi hak asasi manusia dan menteri kehakiman, telah dipenjara sejak Februari 2017 atas tuduhan terlibat kasus narkotika yang bermotif politik sebagai pembalasan terang-terangan atas penentangannya yang lantang terhadap pembantaian dalam perang melawan narkotika. Seiring meningkatnya tekanan internasional yang menuntut pertanggungjawaban atas kematian-kematian itu dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Duterte telah mengadopsi taktik penyangkalan dan pengalihan untuk meragukan integritas para pengkritik perang narkotika.
Duterte tampaknya berharap bahwa dengan mengumumkan penarikan Filipina dari ICC akan menutup kans untuk diadili di Den Haag. Ia seharusnya berpikir lagi. Bahkan jika pemerintah Filipina secara resmi memberi tahu Sekretaris Jenderal PBB tentang keluarnya Filipina dari ICC – di mana pernyataan Duterte tidak melakukannya – keabsahan dari pengunduran diri itu hanya akan berlaku efektif satu tahun kemudian. Bahkan pengadilan masih bisa mengadili kejahatan internasional yang dilakukan semasa Filipina masih menjadi anggota ICC.
Upaya penakut Duterte untuk menghindari penyelidikan ICC seharusnya meningkatkan urgensi untuk pemisahan, penyelidikan yang dipimpin oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap tragedi dalam perang narkotikanya. Pada sesi baru-baru ini di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Guðlaugur Þór Þórðarson, Menteri Luar Negeri Islandia, mengingatkan tanggung jawab Dewan untuk “mencoba dan memastikan Filipina memenuhi kewajiban hak asasi manusia yang disandangnya.” Sebuah penyelidikan PBB akan menambah tekanan internasional terhadap pemerintah Duterte untuk menghentikan pembunuhan dan bekerja sama dengan upaya menyeret mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan, termasuk ke hadapan ICC.
Duterte memenangkan pemilihan presiden tahun 2016 di Filipina dengan slogan “Perubahan telah datang.” Ketika ia menghadapi kemungkinan meningkatnya penyelidikan internasional terhadap “perang melawan narkotika,” Duterte jelas sekarang ketakutan kalau keadilan itu akan datang.