Lebih dari 530 orang di Provinsi Aceh telah menjalani hukuman cambuk di muka umum sejak Qanun Jinayat baru disahkan pada Oktober 2015. Mereka termasuk ratusan laki-laki dan perempuan yang dihukum cambuk karena “kejahatan tanpa korban” seperti perjudian, berciuman dengan orang yang bukan suami atau istri, serta berhubungan seksual di luar nikah.
Berdasarkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, yang merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Perdamaian Aceh tahun 1999 yang memberi provinsi itu “Status Khusus”, Aceh adalah satu-satunya dari 34 propinsi di Indonesia yang bisa secara hukum mengadopsi peraturan daerah yang berasal dari hukum Islam. UU ini tidak hanya berlaku bagi penduduk Aceh yang mayoritas penduduknya Muslim, melainkan juga bagi 90.000 penduduk non-Muslim, kebanyakan pemeluk Kristen dan Budha, serta para pengunjung domestik dan asing ke provinsi ini. Pada September 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh mengesahkan Prinsip Perda Islam dan hukum pidana Islam, yang menciptakan pelanggaran diskriminatif baru yang tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Qanun Jinayat ini kemudian juga diterapkan kepada penduduk non-Muslim dan mengkriminalkan hubungan seksual sesama jenis atas dasar suka sama suka serta semua bentuk perzinaan (hubungan seksual di luar nikah). Qanun ini juga membenarkan hukuman 100 cambukan dan 100 bulan penjara karena melakukan hubungan seksual sesama jenis, sementara untuk perzinaan bisa dihukum 100 cambukan. Prinsip-prinsip dalam Qanun ini melanggar hak kebebasan beragama yang tercantum dalam konstitusi Indonesia dan hukum internasional dengan secara efektif mewajibkan semua umat Islam untuk mempraktikkan tradisi Islam Sunni. Peraturan Daerah Syariah di Aceh ini juga melanggar komitmen terhadap “prinsip-prinsip universal hak asasi manusia” dalam Perjanjian Helsinki, yang secara resmi mengakhiri pemberontakan pro-kemerdekaan yang berlangsung puluhan tahun di Aceh, pada Agustus 2015. Sementara Presiden Joko “Jokowi” Widodo belum menentang peraturan ini.
Pemerintah Indonesia menuai kemarahan internasional atas pelaksanaan hukuman cambuk di muka umum pada 23 Mei di Aceh, terhadap dua pria gay yang dihukum karena hubungan sesama jenis. Pemerintah Provinsi Aceh menanggapi kecaman ini dengan mengusulkan untuk tidak melakukan pencambukan di muka umum. Jokowi seharusnya menjunjung tinggi kewajiban hukum internasional Indonesia dan menghapuskan Perda Syariah yang diskriminatif dan hukuman barbarnya.