Skip to main content

Indonesia: Hentikan Penyiksaan Terhadap Gay di Hadapan Publik

Presiden Seharusnya Menolak Hukuman 85 Cambuk atas Sodomi di Aceh



(New York) – Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo harus segera turun tangan untuk mencegah penyiksaan di hadapan publik yang rencananya akan dilaksanakan pada 23 Mei 2017 terhadap dua pemuda yang terbukti berhubungan seks sesama jenis, kata Human Rights Watch hari ini. Dua pria tersebut diadili berdasarkan Qanun Jinayah di Provinsi Aceh dan dihukum 85 cambuk dengan sebilah tongkat, yang menurut hukum internasional tergolong penyiksaan.

Pada 28 Maret, sejumlah preman tak dikenal memaksa masuk ke sebuah kamar kost di Banda Aceh, ibu kota provinsi tersebut, dan membawa dua orang berusia 20an ke polisi Syariah Islam karena diduga melakukan hubungan seks sesama jenis. Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh menyatakan mereka bersalah atas sodomi pada 17 Mei. Meski Mahkamah Syariah di Aceh telah memberlakukan hukuman cambuk di hadapan publik, ini adalah pertama kalinya Mahkamah Syariah memvonis seseorang dengan hukuman cambuk atas perilaku homoseksual.

“Presiden Jokowi telah secara terbuka menyatakan dukungannya bagi hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender di Indonesia, oleh karena itu hukuman cambuk di muka publik bagi dua laki-laki atas hubungan seks sesama jenis adalah momen krusial untuk bertindak,” ujar Phelim Kine, wakil direktur divisi Asia di Human Rights Watch. “Jokowi perlu memberi kejelasan kepada pihak berwenang di Aceh bahwa cambuk merupakan penyiksaan dan mereka akan diminta pertanggungjawaban atas pelaksanaan hukuman tersebut.”

Berbagai qanun Aceh  mendorong masyarakat dan juga Wilayatul Hisbah untuk secara publik mengidentifikasi dan menahan siapapun yang diduga melanggar peraturan tersebut. Dalam rekaman video lewat ponsel mengenai penggerebekan tersebut, yang direkam oleh seorang preman, menunjukkan satu dari dua laki-laki dalam kamar indekos tersebut terlihat tertekan dan PBB meminta pertolongan lewat telepon.

Menurut Qanun Jinayah, peraturan pidana Islam di Aceh, kedua laki-laki tersebut menghadapi ancaman hukuman 100 cambuk di hadapan publik sebagai hukuman atas perilaku seks sesama jenis. Jaksa penuntut merekomendasikan hukuman 80 cambuk karena keduanya masih muda dan dilaporkan telah mengakui kesalahan mereka.

“Putusan pengadilan yang menghukum keduanya di bawah tuntutan maksimum sebanyak 85 cambuk bukan tindakan belas kasih. Hal tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa hukuman cambuk adalah penyiksaan abad pertengahan yang sadis,” kata Kine.

Pejabat pemerintahan Aceh telah sejak lama memicu diskriminasi pada kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), menurut Human Rights Watch. Pada 2012, Wakil Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin menganjurkan hukuman keras terhadap homoseksualitas, dengan mengatakan kepada media: “Bahkan satu kasus homoseksualitas ditemukan, itu sudah menjadi masalah.” Pada 2013, selaku Walikota Banda Aceh, Illiza menyampaikan kepada para wartawan, bahwa “Banda Aceh mulai dirambah oleh kaum gay.” Pada Februari 2016, dia mengumumkan akan menciptakan “tim khusus” untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan “ancaman LGBT” dan untuk “membina” kaum LGBT supaya “kembali bisa hidup normal” sambil mempublikasikan foto dirinya di instagram sambil membidikkan pistol dan bersumpah untuk mengusir kalangan LGBT dari Aceh.

Wilayatul Hisbah Banda Aceh sebelumnya pernah menahan kalangan LGBT. Pada Oktober 2015, Wilayatul Hisbah menangkap dua perempuan, masing-masing berusia 18 dan 19 tahun, karena berpelukan sehingga dicurigai sebagai lesbian. Keduanya ditahan selama tiga malam di kantor Wilayatul Hisbah Banda Aceh. Para polisi Syariah ini berulang kali memaksa mereka untuk mengidentifikasi warga-warga Aceh yang LGBT dengan menunjukkan foto-foto perorangan dari media sosial - memicu kekhawatiran di kalangan kelompok LGBT di Aceh bahwa polisi Syariah bisa mengincar mereka di masa mendatang.

Pada April 2016, pelapor khusus PBB menulis kepada pemerintah Indonesia kekhawatirannya tentang penegakan Syariah yang diskriminatif terhadap warga LGBT di Aceh. Pada Oktober 2016, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memecah keheningan panjangnya dalam hal meningkatnya retorika anti-LGBT dengan membela hak-hak warga LGBT di Indonesia, dan mengatakan “tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapa pun.”

“Waktu semakini sempit bagi Jokowi untuk menunjukkan bahwa dukungannya terhadap persamaan hak untuk semua orang bukanlah retorika kosong. Ia perlu memulainya dengan melindungi kedua pemuda ini dari penyisaan,” kata Kine.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Topic