Dalam sebuah keputusan penting, Mahkamah Agung (MA) pekan ini memerintahkan pemerintah mengembalikan pengelolaan layanan air bersih kepada penduduk Jakarta setelah menemukan bahwa perusahaan swasta “gagal melindungi” hak warga atas air.
MA memerintahkan pemerintah untuk segera mencabut kontraknya dengan dua pihak swasta dan menyerahkan tanggung jawab penyediaan layanan air bersih publik kembali kepada Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya).
Keputusan ini mengutip pernyataan sejumlah penghuni kawasan padat dan berpenghasilan rendah di Jakarta Utara yang menyalahkan terbatasnya akses pada layanan air bersih dan sanitasi karena perusahaan swasta tidak bisa menyediakan layanan memadai di lingkungan mereka. Mereka menggambarkan bagaimana perusahaan-perusahaan itu, PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta, hanya menyediakan layanan air secara sporadis, yang sebagian besar terbatas pada malam hari. Kedua perusahaan juga menolak untuk memberikan akses layanan air ke warga yang tidak mampu membayar tagihan. Para warga ini terpaksa harus membeli air minum yang mahal dari pedagang kaki lima dan mandi di sumur umum yang tercemar. “Pemutusan layanan air karena ketidakmampuan membayar karena kurangnya sarana merupakan pelanggaran hak asasi manusia atas air dan hak asasi manusia internasional lainnya,” demikian disimpulkan tiga ahli air Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2014.
Privatisasi air di Jakarta bermula pada 1997 di bawah pemerintahan Presiden Suharto, yang memerintahkan privatisasi pada tahun 1995, dengan alasan kebijakan ini akan meningkatkan layanan. Suharto memerintahkan pengelolaan air untuk warga Jakarta dibagi menjadi dua operasional, satu diberikan kepada usaha patungan antara perusahaan Inggris Thames Water dan sebuah perusahaan Indonesia yang dimiliki oleh putranya. Sementara operasional satunya pemerintah berikan kepada perusahaan patungan antara perusahaan Prancis Suez dan Grup Salim asal Indonesia, sebuah perusahaan pimpinan teman lama Suharto, yaitu Liem Sioe Liong.
Kontrak swastanisasi ini mencakup jaminan bahwa konsumen berpendapatan rendah akan membayar tarif air yang lebih murah. Namun, 12 warga dan organisasi yang mengajukan gugatan class action yang berujung pada keputusan Mahkamah Agung berargumen bahwa perusahaan swasta tersebut secara sengaja menurunkan kualitas layanan bagi para konsumen berpenghasilan rendah, guna memprioritaskan layanan prima untuk konsumen yang lebih kaya.
Tanggung jawab sekarang ada di pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk melaksanakan putusan MA ini dan memastikan masyarakat berpenghasilan rendah tidak lagi kehilangan hak atas air dan sanitasi. Pemerintah juga harus mengkaji kontrak privatisasi air serupa di wilayah lain termasuk Batam, Palembang, dan Banten guna memastikan apakah pelanggaran diskriminatif serupa masih terjadi di sana.