(Rangoon) - Pada 23 Mei 2017, Militer Burma telah mengumumkan bahwa penyelidikan mereka atas dugaan perlakuan semena-mena militer di Negara Bagian Rakhine tak menyingkapkan kejahatan apa pun selain dua insiden kecil, kata Human Rights Watch. Kegagalan militer dalam menemukan keterlibatan pasukan mereka dalam pelanggaran HAM serius terhadap etnis Rohingnya sejak Oktober 2016 di sisi utara Negara Bagian Rakhine menggarisbawahi kebutuhan mendesak bagi pemerintah Burma buat memberikan akses penuh kepada misi pencari fakta internasional bentukan PBB.
"Penyangkalan militer Burma atas pelanggaran-pelanggaran yang terdokumentasikan dengan baik itu menunjukkan penghinaan sebesar-besarnya terhadap kebenaran, keterbukaan, dan rasa hormat kepada HAM," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. "Pendekatan militer itu menyoroti kebutuhan pemerintahan Aung San Suu Kyii untuk mengizinkan misi pencari fakta PBB memasuki Burma serta memerintahkan tentara agar menyediakan akses penuh ke kawasan-kawasan konflik."
Tim investigasi militer, dipimpin Letjen Aye Win dari Kantor Panglima Tinggi, dilaporkan telah mewawancarai sekitar 2.875 warga di 29 desa di Kotapraja Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, antara 10 Februari hingga 4 Maret. Mereka mengaku merekam pernyataan 408 warga serta mewawancarai lebih dari 200 serdadu dan anggota-anggota polisi perbatasan. Namun, untuk mewawancarai warga sebanyak yang mereka klaim, tim itu harus mewawancarai sedikitnya 125 orang setiap hari selama berada di Negara Bagian Rakhine.
Penyelidikan militer dilaporkan menemukan dua kasus pelanggaran: satu kasus pencurian sepeda motor, dan karenanya serdadu yang melakukannya divonis penjara selama setahun serta mesti membayar denda. Kasus lainnya ialah pemukulan beberapa warga oleh para tentara yang menganggap mereka ogah membantu memadamkan kebakaran, karenanya seorang perwira telah "diberikan sanksi dan peringatan" dan dua serdadu divonis penjara masing-masing selama setahun. Tim penyelidikan ini juga menyimpulkan bahwa tuduhan-tuduhan terhadap militer Burma dalam sebuah laporan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia "sepenuhnya keliru" atau "tidak benar karena tudingan-tudingan palsu dan berlebih-lebihan."
PBB, Human Rights Watch, dan lain-lain telah melaporkan sejumlah pelanggaran HAM serius oleh pasukan-pasukan keamanan Burma terhadap masyarakat Rohingya di Negara Bagian Rakhine setelah penyerangan pos-pos polisi pada 9 Obrober. Human Rights Watch mendokumentasikan pembunuhan di luar proses peradilan, pemerkosaan terhadap para perempuan dan gadis, serta pembakaran sekurangnya 1.500 bangunan. Warga Rohingnya kepada Human Rights Watch mengatakan bahwa pasukan-pasukan keamananlah yang membakar bangunan-bangunan tersebut. Rangkuman laporan Komisi Investigasi Nasional mencatat bahwa pelontar granat digunakan dalam pertempuran, menguatkan pernyataan orang-orang Rohingnya bahwa militer menggunakan "senjata pelontar" untuk menghancurkan rumah-rumah. Operasi-operasi militer itu menciptakan ketelantaran massal, dengan 70 ribu warga Rohingnya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, serta membikin 20 ribu lainnya kocar-kacir di dalam negeri. Sebuah laporan yang diterbitkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia pada 3 Februari menyimpulkan bahwa serangan-serangan terhadap masyarakat Rohingnya "sangat mungkin" menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pemerintah Burma telah menggelar empat penyelidikan terpisah atas kekerasan di kawasan itu, tetapi tiada satu pun di antaranya yang netral atau dapat dipercaya. Pada bulan Maret, Dewan HAM PBB mengeluarkan sebuah resolusi untuk membentuk misi pencari fakta internasional yang independen dengan mandat menyelidiki dugaan-dugaan pelanggaran HAM terbaru di Burma, khususnya di Negara Bagian Rakhine. Pemerintah Burma belum menyatakan apakah mereka akan memberikan akses kepada misi ini.
Penyelidikan-penyelidikan bikinan pemerintah Burma sebelumnya telah menunjukkan kecacatan metodologis yang parah, dan kurangnya kepedulian terhadap para korban serta pengumpulan kesaksian yang akurat. Komisi penyelidikan tingkat nasional, dipimpin oleh Wakil Presiden Myint Swe, menggunakan metode-metode yang membuahkan informasi-informasi tak lengkap, melenceng, atau keliru belaka. Menurut sejumlah laporan, testimoni, dan rekaman video yang beredar luas, para penyelidik Burma malah mengganggu warga, mendebat mereka, menyuruh mereka bungkam, menuduh mereka berdusta, dan mewawancarai para korban--termasuk para penyintas korban perkosaan --dalam kelompok-kelompok besar di mana kerahasiaan sama sekali tak ada.
Komisi nasional ini menerbitkan laporan interim pada 3 Januari, yang secara ringkas menyangkal tuduhan-tuduhan genosida dan persekusi berdasarkan keyakinan religius, serta menyatakan bahwa mereka tak dapat menemukan bukti-bukti memadai dari sejumlah pelanggaran lain. Mereka belum menerbitkan laporan lengkap dan tak ada kepastian kapan laporan itu akan diterbitkan.
"Meski bukti-bukti kekejian massal ada begitu banyak, militer Burma, sekali lagi, membuktikan bahwa mereka tak sanggup menyelidiki diri sendiri secara benar," ujar Robertson. "Jika hendak menyingkapkan kebenaran, militer Burma tak boleh lagi menghalangi jalan misi pencari fakta internasional yang sungguh-sungguh."